Usia menikah, sumber foto: dokpri.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, ijab kabul yaitu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang senang dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang perlu digarisbawahi dalam pengertian tersebut yaitu bahwa menikah itu yaitu sebuah ikatan lahir dan batin.
Ikatan lahir dan batin ini mempunyai makna yang sangat dalam, alasannya yaitu seberapa intim jarak dua orang berpelukan, itu hanya terbatas oleh jarak tubuhnya. Namun, dalam hal ikatan lahir dan batin, ini merupakan ikatan yang suci tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata, tetapi juga menyangkut seluruh jiwa dan raga terikat sebuah perjanjian suci yang disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan biologis, dengan melangsungkan pernikahan, insan sanggup menjaga keberlangsungan keturunannya. Tidak hanya itu, insan juga mempunyai kehendak untuk menjaga kualitas keturunannya. Dengan menikah, aspek bilogis insan sanggup tersalurkan secara baik dan benar sehingga tidak mengakibatkan keburukan. Dalam aspek keagamaan, ijab kabul juga dipakai sebagai media penyebaran agama. Begitu pula bila ditinjau dari aspek lainnya.
Di Indonesia sendiri, imbas domino dari proses ijab kabul terletak pada besarnya populasi penduduknya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 saja memperlihatkan bahwa jumlah populasi penduduk Indonesia yaitu 252,2 juta jiwa. Secara sederhana, kondisi ini memperlihatkan bahwa ijab kabul merupakan prosedur utama peningkatan populasi penduduk. Kalau ditelisik lebih dalam, pertumbuhan penduduk pada tahun 2014 saja sekitar 1,35 persen. Angka ini secara eksklusif merupakan dampak dari prosedur ijab kabul yang terjadi selama tahun 2013 sampai 2014.
Akan tetapi, di balik kondisi tersebut, sampai sekarang masih terdapat banyak sekali macam permasalahan yang timbul di Indonesia, terutama hal-hal yang menjadi dampak dari sebuah proses pernikahan. Di beberapa kawasan masih didapati pasangan nikah usia dini. Usia dini yaitu usia dimana seseorang belum matang secara medis maupun secara psikologis. Masih tergolong usia belum dewasa ternyata sudah menikah, atau menikah dalam situasi belum cukup usia.
Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Indonesia masih menduduki peringkat 37 negara dengan jumlah status ijab kabul usia dini di dunia. Peringkat ini tentu bukanlah sebuah prestasi yang baik bagi Indonesia, apalagi ketika ini pemerintah terus berupaya menekan jumlah populasi penduduk secara nasional.
Data BPS tahun 2013 memang memperlihatkan bahwa median usia menikah penduduk Indonesia mengalami peningkatan sepanjang tahun 1991 – 2012. Lebih jelasnya sanggup mengamati grafik berikut:
Grafik median usia menikah penduduk Indonesia tahun 1991 - 2012 (sumber: dok.Pri)
Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa median usia menikah penduduk Indonesia pada tahun 2012 telah mencapai 20,7 tahun. Namun kenyataan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2010 masih menyebutkan bahwa persentase jumlah ijab kabul dini di Indonesia pada rentang usia 15 – 19 tahun yaitu 41,90 persen dan 4,8 persen merupakan pasangan menikah dengan rentang usia 10 – 14 tahun.
Kondisi ini semakin terlihat miris dan karenanya tak ayal bila populasi penduduk Indonesia masih tidak terkontrol dengan baik. Selain itu, kenyataan itu juga memperlihatkan bahwa diharapkan upaya khusus baik secara internal maupun secara eksternal wacana dampak dari ijab kabul usia dini.
Strategi membentuk keluarga sejahtera
Latar belakang soal ijab kabul usia dini masih menyelimuti sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi, beberapa di antara kalangan masyarakat masih menyakini paradigma lama, contohnya banyak anak banyak rejeki, cepat menikah semoga hidup berkah dan sejenisnya. Paradigma usang inilah yang masih merangsang kecenderungan masyarakat untuk menikah pada usia dini. Beberapa stereotip negatif juga muncul di kalangan masyarakat, terutama menyangkut perempuan atau anak perempuannya.
Menurut Darnita (2013), bagi sebagian perempuan, jika sudah mencapai pubersitas belum nikah ada stereotip merupakan malu lantaran memalukan bagi keluarga. Tekanan semacam ini merupakan gangguan eksternal bagi perempuan yang bahwasanya gres saja mengalami gejala pubersitas sehingga justru semenjak awal membuat psikisnya terganggu.
Tidak hanya itu, urgensi mendapat pasangan suami yang mapan secara ekonomi juga menjadi pressingtersendiri bagi perempuan yang gres ‘mengenal’ lawan jenis. Pada pria juga terjadi hal yang serupa, contohnya menikah harus sedini mungkin semoga bisa mencicipi nikmatnya surge dunia. Atau alasan yang agamis, namun berisiko secara biologis, contohnya menikah harus sedini mungkin untuk menghindari terjadinya hamil di luar nikah.
Menanggapi hal ini, pendidikan dan pengetahuan mengenai dampak jelek dari ijab kabul usia dini sangat diperlukan. Sebab, dengan mengetahui dampak ijab kabul usia dini, setidaknya bisa menyadarkan generasi muda dan bijak di dalam merencanakan usia ijab kabul dan membentuk sebuah keluarga. Menurut hasil riset UNICEF (2001), makin dini usia pernikahan, maka kerentanan terkena HIV semakin tinggi. Pernikahan terlalu dini sanggup berdampak jelek terhadap pendidikan, ekonomi (Wijayanto, 2009), kesehatan reproduksi (Hanum dalam Suhadi, 2012).
BKKBN (2010) juga merekomendasikan untuk tidak menikah pada usia dini alasannya yaitu organ reproduksi untuk perempuan masih belum kuat, sedangkan untuk pria masih dianggap belum bisa menopang hidup sebuah keluarga. Hal ini juga ditegaskan oleh Walgito (2012), yang menyatakan bahwa remaja usia 19 tahun umumnya belum mempunyai sumber penghasilan.
Artinya, dari segi kekuatan ekonomi saja, pasangan nikah usia dini mempunyai kerentanan ekonomi lebih tinggi daripada pasangan berstatus menikah di usia ideal.
Bila ditelisik dari segi psikologis, pasangan nikah di usia dini masih terlalu labil dalam aspek mentalitasnya. Sebab, berdasarkan Smitson dan Garlow (1976), indikasi bahwa seseorang telah mempunyai daya olah emosional yaitu kematangan seseorang di dalam caranya merespon segala situasi. Banyaknya angka perceraian dan talak di dalam rumah tangga bahkan kejadian kekerasan rumah tangga bisa juga disebabkan kurangnya kemampuan pasangan dalam mengolah mentalitasnya sehabis menikah.
Hal ini bukan berarti untuk menikah, syarat perlu bagi seseorang yaitu menginjak usia tua. Bukan. Tetapi dengan semakin renta usia seseorang, dikatakan oleh Blood (1978) seseorang sanggup mempunyai kematangan di dalam mempersiapkan pernikahannya. Menanggapi dampak tersebut, maka diharapkan langkah-langkah strategis khusus di dalam memulai sebuah niatan untuk menikah dan membentuk sebuah keluarga, yaitu:
Fase Pra-Nikah
Langkah awal di dalam memasuki fase pranikah yaitu mempersiapkan mental. Mempersiapkan mental sanggup dilakukan dengan melaksanakan konsultasi kepada para ahli, contohnya kepada dokter untuk menimbah ilmu kesehatan reproduksi, atau kepada jago psikologis mengenai bagaimana membangun mental yang kuat dan siap untuk melangsungkan pernikahan.
Metode lain untuk meningkatkan dan menguatkan mental yaitu menimbah pengalaman dengan bekerja di usia muda. Dengan bekerja, secara alamiah akan membentuk kerangka pikir dan teladan pikir menjadi lebih dewasa. Lingkungan kerja akan membentuk kejiwaaan seseorang lebih siap menghadapi tantangan masa depan, bijak di dalam mengambil keputusan dan menuntaskan duduk masalah serta bisa membangun sebuah sistem organisasi yang kelak disebut keluarga.
Seiring dengan waktu, pengalaman kerja akan membangun paradigma yang strategis dan konstruktif di dalam menghadapi banyak sekali polemik, baik pribadi ataupun situasi lingkungan yang tidak kondusif. Selain itu, pengalaman kerja secara signifikan akan menempa diri seseorang untuk lebih adaptif dalam beradaptasi serta bisa menguasai suasana lingkungan apapun.
Langkah kedua yaitu melaksanakan perencanaan finansial. Perencanaan finansial yang baik tentu sanggup diciptakan dengan mengais pendidikan finansial yang baik. Hal ini sanggup dilakukan dengan cara mengikuti seminar atau pembinaan finansial, mempelajari literatur serta menumbuhkannya dalam lingkungan kerja.
Manfaat dari perenacanaan finansial sanggup menumbuhkan kerangka pikir dalam melaksanakan alokasi finansial ketika pranikah, nikah dan pasca nikah. Selian itu juga menumbuhkan teladan pikir yang strategis di dalam membangun manajemen ketika pranikah, nikah dan pasca nikah. Urgensi perencanaan finansial yaitu merangsang terciptanya alternatif apabila mengalami kegagalan atau duduk masalah finansial di kemudian hari.
Langkah ketiga yaitu meningkatkan pemahaman terhadap agama. Hal ini bisa direalisasikan dengan mengikuti pendidikan agama dan formal. Dalam masa pendidikan agama, seseorang sanggup mempelajari dan mendalami ilmu agama, contohnya melalui kajian-kajian bersama jago agama atau kajian literatur.
Sedangkan pendidikan formal sanggup dilakukan dengan meningkatkan level pendidikan lebih lanjut. Harapannya yaitu bisa mengetahui seluk beluk wacana pernikahan, adab-adab di dalam menikah, usia ideal untuk menikah, mengatasi permasalahan di dalam pernikahan, mengetahui soal warisan dan bagaimana membuat manajemen keluarga yang baik dan benar.
Langkah final pada fase ini yaitu pengembangan diri. Pengembangan diri sanggup dilakukan dengan cara berguru dari literatur untuk merangsang potensi-potensi dalam diri sedemikian rupa sehingga tereksplore dan menjadi nilai tambah kualitas diri. Selain itu, menekuni hobi dan secara konsisten bisa meningkatkan kualitas hidup, dan kemungkinan lain berpotensi membuat kantung perjuangan yang pada waktunya akan bisa menopang perencanaan finansial baik pra nikah, nikah dan pasca nikah.
Fase Pernikahan
Sebelum mencapai fase pernikahan, peralihan dari pranikah ke nikah inilah yang memerlukan perhatian khusus. Sebab, di ‘dalamnya’ terdapat pertanyaan besar yang memerlukan tanggapan dengan segera, yaitu pada usia berapa saya menikah?...
Dengan melaksanakan perencanaan dan taktik melangkah ke sebuah pernikahan, setidaknya seseorang atau sebuah calon pasangan sanggup lebih cerdik dan bijak dalam mengambil keputusan. Pada fase inilah, pembicaraan soal usia ideal menikah menjadi fokus perhatian. Berlandaskan pada dampak ijab kabul usia dini pada klarifikasi sebelumnya, berdasarkan BKKBN, (2010), usia ideal bagi perempuan untuk menikah yaitu 21 – 25 tahun dan untuk pria 25 – 28 tahun. Sebab, pada usia tersebut organ reproduksi untuk perempuan lebih kuat baik secara psikis maupun secara biologis. Sedangkan pada laki-laki, menikah di usia rentang tersebut dikatakan merupakan usia ideal dimana seseorang telah bisa menopang kehidupan keluarganya.
Menurut hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007, usia ideal yang didapatkan dari perhitungan nilai median usia menikah di Indonesia untuk perempuan yaitu 23,1 tahun. Sedangkan usia median untuk menikah bagi pria yaitu 25,6 tahun. Menurut Harlock (1999), usia menikah yang baik yaitu usia 20 – 35 tahun baik perempuan maupun pria dan usia pasangan nikah untuk kelahiran anak pertama yang sempurna yaitu 20 – 30 tahun.
Selain itu, Hasil Penerlitian Mudhaniva, Inne B. dan Purwanto, I.N. (2014) dengan memakai teknik FuzzyAHP-Topsis juga memperlihatkan bahwa usia ideal untuk menikah yaitu usia 27 tahun. Hal ini diperkuat oleh rekomendasi dari Departemen Kesehatan RI (2011) yang menyatakan bahwa apabila ditinjau dari segi biologis, usia ideal bagi perempuan untuk menikah yaitu 20 tahun, sedangkan untuk pria yaitu 25 tahun. Secara empiris, sanggup ditentukan bahwa usia ideal bagi seseorang untuk menikah yaitu rentang 20 – 30 tahun.
Keputusan untuk memilih pada usia berapa seseorang akan melangsungkan pernikahannya ini masih dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang memengaruhi keputusan seseorang dalam mengambil keputusan usia menikah, di antaranya yaitu kehendak sendiri, tumbuhnya persepsi pribadi, misal persepsi pacaran atau tidak dan persepsi perawan renta atau tidak.
Usia menikah bisa saja secara spontanitas muncul dalam benak seseorang, tanpa melihat situasi dan kondisi sehingga bila tidak terdapat kontrol dari orang tua, maka tentu ijab kabul usia dini akan terjadi. Pada perempuan, pun laki-laki, timbul pula persepsi akhir pacaran. Karena ‘kecelakaan’ akhir pacaran sehingga hamil di luar nikah, sementara belum cukup usia, tentu ijab kabul dini merupakan solusi satu-satunya.
Pada beberapa perempuan, ditemukan pula adanya gangguan psikis akan menjadi perawan renta alias ‘tidak laku’ apabila dalam usia yang tergolong renta nanti belum menikah. Hal ini tentu mendorong perempuan untuk segera menemukan ‘jodoh’ dan menikah dengannya. Padahal, keputusannya terlalu prematur bila dilihat dari segi usia.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang memengaruhi keputusan seseorang dari lingkungan sekitarnya. Faktor tersebut mencakup tradisi, konflik/masalah aib, pendidikan orang tua, faktor geografis, ekonomi, agama, media massa. Faktor tradisi atau adat merupakan faktor yang sampai sekarang terlihat masih besar lengan berkuasa terhadap keputusan seseorang untuk menikah. Dalam lingkungan masyarakat masih ditemui tradisi korelasi intim sehabis proses tunangan, padahal belum sah secara aturan dan agama.
Tidak hanya itu, budaya ‘tag-tag-an’ menantu alias orang saling menjodohkan anaknya juga masih bisa ditemui. Keputusan semacam ini tentu tak terlepas dari tugas orang tua, contohnya bila dilihat dari faktor pendidikannya. Sebab berdasarkan Aryal (2006), pendidikan orang renta dan pendapatannya juga memengaruhi keputusan di usia berapa mereka menikahkan anaknya.
Riyawati (2009) juga menyebutkan bahwa semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka semakin tinggi kematangan emosionalnya.Demikian halnya dengan faktor geografis, ketika ini banyak ditemukan calon pasangan yang Long Distance Relationship (LDR), tentu saja faktor ini mengakibatkan gangguan psikis sehingga apabila tidak kuat akan memengaruhi keputusan usia menikah.
Selanjutnya yaitu faktor ekonomi. Menurut hasil penelitian UNICEF pada tahun 2005, faktor penentu ijab kabul usia dini yaitu kemiskinan. Hasil ini ternyata terbukti di Indonesia, dengan memakai olah data BPS tahun 2015 wacana data kependudukan didapatkan hasil bahwa korelasi antara jumlah ijab kabul di 33 provinsi dan jumlah penduduk miskin yaitu sebesar 0,95 pada tahun 2013, dan sebesar 0,94 pada tahun 2014.
Artinya, semakin banyak jumlah penduduk miskin di suatu provinsi, kecenderungan akan terdapat banyak jumlah penduduk yang melangsungkan pernikahan. Terkait hal tersebut, ditemukan pula korelasi yang positif sebesar 0,96 antara jumlah kejadian cerai terhadap jumlah penduduk miskin di 33 provinsi. Artinya, secara kasat mata sanggup dikatakan bahwa kondisi ekonomi penduduk mempunyai korelasi yang linier terhadap tingkat perceraian rumah tangga.
Lebih lanjut bila dikaitkan dengan gender dengan indikator Sex Ratio (SR), terdapat korelasi yang negatif sebesar -0,28 antara SR dan jumlah penduduk yang melangsungkan pernikahan. Artinya, semakin banyak proporsi pria di suatu kawasan di Indonesia, maka jumlah ijab kabul yang terjadi cenderung semakin kecil. Hal ini secara tak eksklusif memperlihatkan bahwa korban ijab kabul di Indonesia lebih banyak dialami oleh perempuan.
Terakhir yaitu faktor media massa, ketika ini media massa menjadi actor utama dalam memengaruhi pikiran seseorang, terlebih soal kapan menikah. Kecenderungan-kecenderungan keputusan nikah usia dini sepertinya lebih disebabkan lantaran ketidakkuatan psikis atau mental terhadap kondisi lingkungannya sehingga memperlihatkan pertimbangan lebih baik segera menikah daripada terjerumus dalam pergaulan bebas.
Fase Pasca-Nikah
Pada tahapan pasca-nikah ini, taktik membentuk sebuah keluarga yang sejahtera dan serasi sangat diperlukan. Sebuah pasangan tentunya kembali membuat rencana, yaitu tempat tinggal, jumlah anak, planning kelahiran anak pertama, pengaturan jarak kelahiran anak, jaminan kesehatan, manajemen finansial keluarga dan jaminan hari tua.
Hal ini dipandang sangat perlu lantaran dengan perencanaan yang matang, maka eksistensi atau keberlangsungan keluarga akan tetap terjaga. Tidak hanya itu, perencanaan ini juga memilih risiko masa depan serta beban keluarga mengingat akan adanya buah hati yang kelak akan tiba.
Pada fase inilah, kematangan di dalam memilih usia ideal menikah dipertaruhkan, sebab, apabila usia ijab kabul terlalu dini, tentu mempunyai risiko tidak bisa menopang tanggungan ekonomi anak serta beban merawat anak. Tentu sangat lucu bila seorang anak menggendong anaknya, lantaran terlalu dini menikah.
Tentu mengherankan bila ditemui seorang yang berkeluarga, namun masih menjadi parasit atau parasite kehidupan orang tuanya, contohnya menyekat rumah orang renta untuk tempat tinggal keluarga. Tentu sangat aneh, bila sebuah keluarga kewalahan dan merepotkan orang renta ketika persalinan dan menguruskan manajemen kesehatannya.
Dengan simulasi secara ekonomi saja, ijab kabul usia dini begitu rentan mengalami kegagalan di dalam menopang kehidupan berumah tangga. Laki-laki berusia 17 tahun menikah dengan perempuan berusia 16 tahun, kemudian mempunyai anak pertama dengan rentang 2 tahun dari pernikahannya. Maka di usia 24 tahun, si pria harus siap menanggung beban sekolah anaknya.
Belum lagi misalkan di usia itu, ia tidak mempunyai pekerjaan tetap yang jelas. Belum lagi bila jarak kelahiran anak keduanya yaitu 3 tahun dari anak pertama, maka ia harus siap menanggung biaya anaknya. Bila anak pertama kelas 3 SMA, anak kedua kelas 3 SMP, biayanya tentu akan terlalu banyak. Restriksi semacam inilah yang harus dipikirkan dan menjadi pertimbangan utama sebelum melangkah ke tahap pernikahan.
Dari keseluruhan pembahasan, maka jelaslah bahwa ijab kabul usia dini meski boleh jadi benar secara agama, tetapi tidak baik di dalam rangka membentuk sebuah keluarga yang sejahtera. Usia ideal ijab kabul juga menjadi kunci penentu di dalam merealisasikannya, setidaknya di atas 25 tahun bagi pria dan terpaut setidaknya 1 – 4 tahun dengan usia ideal perempuan, yaitu lebih dari 21 tahun. Dengan demikian, proses membentuk sebuah keluarga yang langgeng, kokoh, sejahtera dan senang sanggup tercapai dengan baik dan lancar.
Sumber Refrensi:
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Statistik Indonesia 2015. Jakarta: BPS.
BKKBN. (2010). Laporan Riskedas 2010. Jakarta: BKKBN.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Mudhaniva, Inne B dan Purwanto, I.N. (2014). Pengambilan Keputusan Usia Target Menikah Menggunakan Fuzzy AHP-Topsis. Malang: Universitas Brawijaya.
Murcaya, Ardhianto. (2010). Dinamika Psikologis Pengambilan Keputusan untuk Menikah Dini. [Skripsi]. Surakarta: UMS.
Nurpratiwi, Aulia. (2010). Pengaruh Kematangan Emosi dan Usia Saat Menikah Terhadap Kepuasan Pernikahan Pada Dewasa Awal. [Skripsi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Qibtiyah, Mariatul. (2014). Faktor Yang Mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan. [Jurnal Biometrika dan Kependudukan]. Surabaya: Universitas Airlangga. Vol. 3. No. 1. hal. 50 – 58.
Zahro, Fatimatuz. (2009). Implikasi Nikah di Bawah Umur Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan. [Skripsi]. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.