Peresmian Untukku Sebagai Perantau – Gelar pertama yang saya punya sebelum jadi mahasiswa yakni ‘Perantau’. Sebenarnya dari zaman sekolah, ato waktu masih cukup umur muda, ga ada pikiran untuk menyandang gelar itu. Semuanya terjadi kayak sekarang, perantau rindu rumah.
Setelah mengikuti tes masuk, lulus, ospek, semuanya belum berarti apa-apa bagiku. Belum ada rasa rindu ke kampung halaman sebab masih merasa kaya liburan.
Ya kaya liburan. Tidur di rumah sodara, masih jumpa mamak sebab dia yang ngantar aku, makan masih disediakan, jam tidur masih bebas, kemana-mana diantar, kemana-mana masih dibayari mamak ato sodara ganti-gantian. Begitulah nikmatnya perantau sebelum resmi jadi perantau.
Baca Juga: Cerita Rama dan Keyza: Masa Lalu Tak Terlupakan – Part I
Semuanya berubah drastis waktu mamak pulang ke Medan sebab ia juga harus kerja. Kakak juga, yang ikut ngantar, harus kembali ke wilayah perantauannya untuk kembali kuliah. Aku? Dikasih duit. Kata mamak itu untuk uang pegangan jadi saya pegang aja. Kemana-mana saya bawa tapi ga dikeluarkan kalo lagi jalan-jalan sama sodara, kata mamak uang pegangan jadi saya pegang aja. Maklum masih bodoh.
Setelah saya ospek saya jumpa sama mitra SMA-ku dulu. Namanya Soneka. Dia memang bakal kuliah di jurusan yang berbeda dari aku, tapi bakal tinggal sama.
Yak, waktu jumpa sama Soneka kami jadi mendadak dekat, kayak udah usang berkawan, padahal cuma udah usang kenal.
Aku sama Soneka waktu Sekolah Menengan Atas dulu ga dekat, cuma kenal-kenal gitu aja sebab kelasnya pun beda. Nah, sejak jumpa itulah kami berasa kaya CLBK, saling senyum bahagia satu sama lain, udah kaya homo ajalah pokoknya.
Senyum itu gunanya untuk melegakan perasaanku, “ternyata ada juga yang masuk jurang (ke perantauan) kaya aku”. Meski Soneka ga pernah bilang, saya tahu dia itu masuk ke kampus itu sebab udah ga ada lagi kampus yang sudi nerima dia. Sama aja kaya aku.
Makanya, berada di satu wadah sama orang yang udah dikenal itu melegakan perasaanku kali waktu itu. Apalagi dalam suasana ospek, yang semua akseptor di kiri-kanan masih muka bego ato sengaja dibentuk bego, masih susah untuk didekati.
Baca Juga: Dasar Binatang!
Apalagi takut salah-salah ngomong sebab masih belum tahu gimana sih budbahasa istiadat mereka, logatnya, bahasa (sok) gaulnya, sama sekali belum tahu.
Setelah bertemu Soneka, kami eksklusif ngobrol panjang. Waktu itu udah sore sebab memang udah tanggapan ospeknya. Itu ospek hari pertama jadi saya masih tinggal di rumah sodara dan masih diantar-jemput sodara.
Selesai ngobrol panjang, saya perkenalkan sodaraku ke si Soneka ini. Kebetulan ketika itu saya juga lagi nyari kost-an sebab rumah sodara-kampus jauh kali jaraknya, sedangkan Soneka udah dapat tidur nyaman di kost-annya. Entah sebab kebetulan ato kami memang berjodoh, di sebelah kamar kost-nya kebetulan masih kosong.
Nah saya dan sodara, serta Soneka, eksklusif menuju kost-nya si Soneka untuk cek lokasi. Ternyata nyaman! *Itulah kesan pertama, jangan pernah tanya kesan keduanya sebab itulah yang buat awal perantauanku rusak dan harus angkat kaki dari kost-an itu*
Kamarku dan Soneka bersebelahan. Tepat di depan kamar kami ada pemandangan lepas pemukiman penduduk Ciumbuleuit yang padat. Benar-benar pemandangan gres yang tidak mengecewakan cantiklah menurutku, walaupun agak kumuh. Di belahan teras ada daerah basuh pakaian. Masih manual.
Di kamar ada kasur sederhana yang disediakan, lemari dan meja berguru besar hasilnya memakan daerah tidak mengecewakan banyak untuk kamar itu. Semuanya berkaki, maksudnya kasur berkaki, lemari berkaki, bangku sama meja berguru juga niscaya berkaki. Itu menciptakan kurangnya ruang untuk beraktivitas di lantai, misalnya ngepel lantai ala Inem.
Semuanya itu menciptakan saya semakin bersahabat aja ke dunia perantauan. Apalagi ingat muka mamakku waktu ngantar dia ke Bandara Soetta.
Baru dapat ngeliat mukanya lagi dalam 1 tahun setelahnya. Setelah itu ngeliat suasana kampus yang diisi dengan orang-orang bermuka, berkulit, berbusana, serta ber- lainnya yang beda dari yang selama ini saya sudah terbiasa. Apalagi ngeliat muka Soneka yang juga sedikit berbeda dari sebelumnya kala itu, gaya ngomongnya.
Yang menciptakan dunia perantauan itu kian terasa yakni ketika duit yang berdasarkan pesan mamak sebagai duit pegangan itu harus lenyap dalam sekejap sebab harus membayar uang kost selama dua bulan. Kata ibu kost-nya waktu masuk harus sekaligus bayar dua bulan. Ya mau ga mau kan……
Ketika memindahkan pakaian seadanya dari rumah sodara ke kost, serta sepaket selimut + bantal + guling lengkap dengan bungkus-bungkusnya, itu menciptakan saya menjadi lebih bersahabat ke Tuhan.
Kenapa? Karena Tuhan tampaknya tahu cara menghukum anak yang selama itu manja dan tak mampu lepas dari kedua orang tuanya.
Ya namanya juga tekad. Untuk merubah sifat manja itu makanya saya milih jalan untuk merantau walaupun ga pernah kebayang untuk menjalaninya, apalagi terbiasa.
Tapi kita harus sadar, selalu ada pertama kali untuk setiap hal, kan? Ketika tidur untuk pertama kali di kost-an itulah saya merasa resmi menjadi perantau…..
Sumber https://walterpinem.me