![]() |
Perdana Mentri Malaysia Mahathir Mohammad |
Di lansir dari teropongsenayan.com- Badan Kesehatan Dunia WHO dan Departemen Kesehatan perlu menerapkan status baru: Ngibul itu merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Khusus menjelang pilpres, statusnya harus ditingkatkan menjadi insiden luar biasa (KLB).
Pengakuan PM Malaysia Mahathir Mohammad sanggup menjadi dasar penetapan penyakit ngibul menjadi KLB. Masyarakat, terutama politisi dan capres harus benar-benar waspada. Bayangkan saking seriusnya penyakit ngibul hingga menciptakan pemimpin senior negeri jiran itu harus menciptakan jumpa pers.
Mahathir membantah pernah dilobi Pemerintah Indonesia untuk membebaskan Siti Aisyah, WNI yang dituduh membunuh Kim Jong-nam, saudara tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
"Saya tak sanggup maklumat (saya tidak tahu ada lobi)," kata Mahathir dalam konferensi pers di Parlemen Malaysia, Selasa (12/3).
Pembebasan Siti Aisyah, kata Mahathir yaitu keputusan yang diambil pengadilan. Proses pencabutan tuntutan sudah sesuai aturan.
"Ini keputusan yang diambil pengadilan. Dibicarakan dan tuntutan itu ditarik kembali. Kaprikornus suatu proses yang mengikuti undang-undang. Ada hak bagi jaksa menarik kembali tuntutan, itu lah yang dilakukan," tegasnya.
Mahathir menyatakan hal itu menanggapi pernyataan Menkumham Jasonna Laoly bahwa bebasnya Siti Aisyah berkat lobi-lobi yang dia lakukan kepada pemerintah Malaysia termasuk Mahathir.
"Saya sudah bertemu PM Mahatir ketemu Jaksa Agung. Dalam surat kami kami minta kepada Jaksa Agung Malaysia untuk membebaskan beliau,“ ujar Laoly di Bandara Halim Perdanakusuma menyambut kedatangan Siti Aisyah.
Ada tiga alasan kata Laoly mengapa Siti Aisyah harus dibebaskan dari hukuman. Pertama, Siti Aisyah melaksanakan untuk kepentingan reality show. Kedua Siti Aisyah dikelabui. Ketiga, dia sama sekali tak dapatkan laba dari apa yang dilakukannya.
Dari Bandara Halim Siti Bersama keluarganya lalu diajak menemui Presiden Jokowi di Istana Presiden. Media menggambarkan Siti Aissyah hingga mencium tiga kali tangan Jokowi sebagai ucapan terima kasih.
Siapa yang benar Mahathir atau Laoly? Kalau melihat track recordnya, publik niscaya lebih percaya kepada Mahathir. Negarawan senior itu merupakan jaminan mutu. Laoly tidak sebanding kalau harus dijejerkan dengan Mahathir. Dia pernah diselidiki KPK dalam kasu Korupsi e-KTP.
Reputasi Jokowi lebih parah. Kredibilitasnya banyak dipertanyakan. Dia dipersoalkan media dan LSM sebab banyak mengumbar data yang salah pada debat kedua. Dia juga sering mengklaim sesuatu yang tidak dilakukan.
bahkan dilansir dari detik.com-Sebelumnya pada Selasa (12/3) waktu setempat, Mahathir mengaku tak tahu-menahu soal lobi dari pemerintah Indonesia untuk pembebasan Aisyah. "Saya tidak mempunyai isu (soal lobi pemerintah Indonesia)," jawab Mahathir ketika ditanya wartawan di Malaysia, pada Selasa (12/3).
Ditegaskan Mahathir bahwa pembebasan Aisyah dilakukan sesuai aturan yang berlaku di Malaysia.
"Ini yaitu keputusan yang diambil oleh pengadilan. Dia (Aisyah-red) diadili dan dia dibebaskan. Saya tidak tahu detailnya. Tapi pengadilan sanggup mengabulkan pembebasan yang tidak mengarah pada pembebasan sepenuhnya (a discharge not amounting to an acquittal)," imbuhnya.
Seorang wartawan abnormal John McBeth sudah jauh hari menengarai sikap Jokowi ini. McBeth menyebut Jokowi tukang sulap yang memakai tipuan smoke and mirrors (asap dan kaca).
Penegakan aturan di Malaysia sejauh ini relatif lebih tegas. Mantan PM Tun Nadjib Razak ketika ini tengah menghadapi tuduhan korupsi jutaan dolar dan bersiap ke persidangan.
Mencampuri keputusan pengadilan implikasinya sangat serius. Skandal politik sanggup berujung impeachment. Pemerintahan Mahathir sanggup jatuh.
Malaysia beda dengan Arab Saudi. Sistem aturan Malaysia tidak mengenal uang diyat. Seorang pelaku pembunuhan sanggup bebas asal menerima pengampunan keluarganya dan membayar uang denda darah.
Bagi Laoly dan Jokowi, bebasnya Siti Aiyah ini sanggup menjadi jualan gres jelang Pilpres. Jokowi ketika ini tak punya modal besar lengan berkuasa untuk jualan kampanye. Berbagai komitmen politik dan klaim pembangunannya tidak terbukti.
Dengan berhasil membebaskan Siti Aisyah, Jokowi sanggup berbangga. Dia tak kalah dengan Prabowo.
Pada bulan Agustus 2015 seorang TKI perempuan asal NTT Wilfrida Soik dibebaskan pengadilan Malaysia. Dia dituduh membunuh majikannya dan terancam eksekusi mati.
Prabowo turun tangan. Dia membayar pengacara terbaik dan menugaskannya membantu Wilfrida bertarung di pengadilan. Dana tersebut berasal dari kantong pribadinya. Tidak ada lobi-lobi politik yang dilakukan. Padahal Prabowo banyak mengenal dan akrab dengan petinggi Malaysia, termasuk PM Tun Nadjib Razak. Dia menghormati sistem aturan negara lain.
Wilfrida bebas. Tidak ada kepentingan Prabowo mengeksploitasi dan mengkapitalisasinya untuk kepentingan pencitraan. Saat itu Prabowo gres saja kalah bertarung lawan Jokowi pada Pilpres 2014.
Dari kasus ini saja kita sanggup eksklusif menciptakan perbadingan, bagaimana kualitas dua capres yang ketika ini tengah bertarung.
Baca Juga :