AsikBelajar.Com | Kerusakan tanah secara fisik sanggup diakibatkan penambangan (batu bara) yang tidak terkendali, pertanian monokultur (perkebunan kelapa sawit), penggunaan pupuk kimia (anorganik) secara terus menerus, hal ini akan menimbulkan menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, serta berkurangnya kemantapan struktur tanah yang pada alhasil terhambatnya pertumbuhan tumbuhan dan menurunnya produktivitas.
1. Kerusakan Fisika Tanah
Perubahan penggunaan lahan dari hutan atau perkebunan menjadi lahan pertanian maupun permukiman akan menurunkan fungsi tanah. Tanah merupakan media untuk pertumbuhan vegetasi, terdapat hubungan akrab antara komponen tanah, air, dan vegetasi. Perubahan penggunaan lahan sanggup mengubah tutupan vegetasi pada lahan terbuka menyerupai lahan sawah dan tegalan menjadi rumput atau pekarangan, serta cenderung menambah proporsi luas lahan terbangun (Setyowaty, 2007). Menurut lsmanto (2012), konversi hutan menjadi lahan pertanian khususnya pada lahan miring merupakan kegiatan yang berisiko tinggi. Karena sanggup menimbulkan terjadinya penurunan kualitas tanah akhir terjadinya erosi.
Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akhir dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan materi organik tanah, acara perakaran tumbuhan dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga biro pengikat agregat tanah tersebut selain menimbulkan agregat tanah relatif gampang pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang lebih kecil juga menimbulkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras kalau kering. Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa pedoman air ke dalam tanah sehingga menimbulkan penyumbatan pori tanah. Pada ketika hujan turun kerak yang terbentuk di permukaan tanah (soil crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras kalau kering (Suprayogo,2004).
Menurut Arsyad (2006) mengemukakan bahwa kerusakan tanah ialah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian sanggup diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Tanah mempunyai sifat fisik, biologi, dan kimia yang berbeda beda pada lingkungan yang berbeda pula. Demikian halnya pada lahan hutan, pertanian adonan maupun pertanian monokultur. Keadaan sifat fisik tanah yang baik sanggup memperbaiki lingkungan untuk perakaran tumbuhan dan secara tidak pribadi memudahkan peresapan unsur hara, sehingga relatif menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman secara tidak pribadi sanggup melindungi tanah dari kerusakan sifat fisiknya, terutama kerusakan akhir pedoman permukaan (run off). Adanya tumbuhan akan menimbulkan air hujan yang jatuh tidak menghantam permukaan tanah melainkan terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman, dan proses ini disebut intersepsi (Wani, 1994).
Besarnya intersepsi hujan oleh tajuk daun tumbuhan juga sangat ditentukan oleh populasi dalam hal ini berafiliasi dengan jumiah dan kerapatan tumbuhan (lebar tajuk). Hutan dan vegetasinya mempunyai peranan dalam pembentukan dan pemanfaatan agregat tanah. Vegetasinya berperan sebagai pemantap agregat tanah alasannya ialah akarnya sanggup mengikat partikel partikel tanah dan juga bisa menahan daya tumbuk butir-butir air hujan secara pribadi ke permukaan tanah sehingga penghancuran tanah sanggup dicegah. Selain itu seresah yang berasal dari daun-daunnya sanggup meningkatkan kandungan materi organik tanah. Hal inilah yang sanggup menimbulkan perbaikan terhadap sifat fisik tanah, yaitu pembentukan struktur tanah yang baik maupun peningkatan porositas yang sanggup meningkatkan perkolasi, sehingga memperkecil pengikisan (Kartasapoetra, 1988).
2. Kerusakan Kimia Tanah
Menurut Buckman dan Brady (1982) menyampaikan bahwa komponen utama tanah terdiri dari materi mineral, materi organik, air, dan udara. Menurut Dirjend Dikti (1991) menyampaikan bahwa adonan komponen utama ini akan saling menghipnotis satu sama lain, seperti: reaksi-reaksi materi padat kuat terhadap kualitas udara dan air, akan kuat terhadap pelapukan (hancuran iklim) materi padat, dan reaksi-reaksi (bersifat katalisator) dari jasad renik. Kimia tanah terlibat dalam semua reaksi ini, namun lebih ditekankan pada larutan tanah yang merupakan suatu lapisan air yang tipis (the tin aqueous film) sekeliling butiran tanah. Kecepatan reaksi-reaksi ini berlangsung sangat tergantung pada keadaan lingkungan.
Penambangan kerikil bara secara terbuka diawali dengan menebang, membersihkan (land clearing) vegetasi epilog tanah sekaligus mengupas tanah lapisan atas yang relatif subur kemudian menimbun kembali areal bekas penambangan. Cara ini berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem dan kerusakan lahan, antara lain: kerusakan ekosistem, (seperti: terjadinya kepunahan spesies baik mikro maupun makro fauna, hilangnya vegetasi epilog tanah) dan kerusakan lahan (seperti; terjadinya perubahan sifat tanah), hilangnya lapisan materi organik atau munculnya lapisan materi induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan asam dan garam-garam yang sanggup mémcuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta terjadinya pengikisan dan sedimentasi (karena bahan-bahan non-batu bara yang jumlahnya 3-6 kali jumlah kerikil bara yang diperoleh perlu dibongkar dan dipindahkan). Tanah hasil pembongkaran tersebut mempunyai sifat yang berbeda dengan keadaan sebelum dibongkar, yaitu tanah terlalu padat, struktur tidak mantap, aerasi, dan drainase buruk, serta lambat meresapkan air. Dalam proses penimbunan, lapisan tanah menjadi tercampur aduk. Tidak jarang materi induk berada di lapisan atas dan lapisan subur yang mengandung materi organik berada di bawah. Bahan induk yang berada di lapisan teratas sanggup menjadi duduk kasus alasannya ialah materi tersebut miskin unsur hara. Masalah lain ialah timbulnya tanah masam. Pirit (FeS2), kalau teroksidasi menimbulkan pH tanah menjadi masam (4-5). Bahkan pada areal timbunan yang baru, pH tanah sangat masam (2,6-3,6). Kation yang sanggup ditukar tinggi, menyerupai Al (1,7 – 6,25), Mg (4,45 – 13,84), dan Ca (3,01 – 8,72) me/100 g tanah. Kandungan garam-garam sulfat yang tinggi menyerupai ; MgSO4, CaSO4, dan AlS04, sanggup menimbulkan tumbuhan mengalami keracunan. Pada demam isu kemarau, garam. garam ini akan muncul ke permukaan tanah sebagai kerak putih. Perubahan bentang alam juga sanggup mengganggu keseimbangan alam. Penambangan kerikil bara secara terbuka akan memunculkan lubang-lubang galian yang sangat dalam dan luas. Tanah yang dibongkar kemudian dipindahkan ke areal tertentu. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit sehabis tanahnya dibongkar bermetamorfosis lembah, atau lahan yang sebelumnya lembah kemudian ditimbun menjadi bukit. Hal ini menimbulkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah gampang longsor (Yoza, 2008).
3. Kerusakan Biologi Tanah
Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah. Organisme tanah memainkan tugas penting dalam membentuk dan menstabilkan struktur tanah. Pada tanah yang sehat ekosistem, filamen jamur dan eksudat dari mikroba dan cacing tanah membantu tanah mengikat partikel bahu-membahu ke agregat yang stabil yang akan meningkatkan infiltrasi air, dan melindungi tanah dari erosi, krusta, dan pemadatan, pari makro dibuat oleh cacing tanah yang bersarang (burrowing) bersama dengan organisme lainnya memfasilitasi pergerakan air kedalam tanah. Dan akan memperbaiki struktur tanah dan perkembangan akar, yang selanjutnya akan meningkatkan kesuburan tanah (USDA, 2004).
Pada umumnya kerusakan biologi ini terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akhir dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia), sebagai akhir pertambangan kerikil bara, referensi penggunaan alat-alat berat, materi peledak dan penggunaan bahan-bahan atau unsur-unsur gila pada ketika acara pertambangan menyerupai materi bakar, pelumas, dan munculnya bahanbahan bawaan seperti: Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD), yang akan merusak fisika tanah dan tanah mengalami keracunan. Menurut World Coal Asociation (2014) Air Asam Tambang (AMD) sanggup menjadi tantangan pada aktivitasi penambangan kerikil bara. AMD ialah air yang mengandung logam terbentuk dari reaksi kimia antara air dan kerikil yang mengandung mineral sulfur-bearing. Limpasan yang terbentuk biasanya mengandung asam dan seringkali berasal dari tempat di mana kegiatan penambangan kerikil bara telah membuka batuan yang mengandung pirit, mineral sulfur-bearing. Namun, drainase yang mengandung logam juga bisa terjadi di tempat mineralisasi yang belum ditambang. AMD terbentuk pada ketika pirit bereaksi dengan udara dan air untuk membentuk asam sulfat dan besi terlarut. Ini asam run-off larut logam berat menyerupai tembaga, timbal, dan merkuri ke dalam tanah dan air permukaan.
Sumber:
Fitrah, Hastirullah. 2018. Material Tanah Bekas Tambang Batubara & Pembenahan. Yogyakarta: Thema Publishing. Hal.16-21.
Sumber https://www.asikbelajar.com