Customer capital atau modal pelaggan ialah kekerabatan organisasi dengan orang-orang yang berbisnis dengan organisasi tersebut. Saint Onge memberi definisi customer capital sebagai kedalaman (penetrasi), kelebaran (cakupan), dan keterkaitan (loyalty) dari perusahaan. Edvinsson menambahkan customer capital ialah kecenderungan pelanggan suatu perusahaan untuk tetap melaksanakan bisnis dengan perusahaan tersebut (Stewart, 1997).
Customer capital seringkali diukur atau dihitung alasannya merupakan sumber pendanaan dibandingkan dengan human capital maupun structure capital. Misalnya merek, merupakan referensi costumer capital yang mempunyai etode evaluasi yang mudah. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung premi yang mau dibayarkan pelanggan untuk suatu merek produk tertentu dibandingkan dengan merek produk lainya, lalu dengan memakai biaya modal dan tingkat balas jasa atas modal modal untuk menghitung nilai asset (reputasi merek) yang membuat premi tersebut.(Sugeng, 2002:205,206)
Customer capital muncul dalam bentuk proses belajar, akses, dan kepercayaan. Ketika sebuah perusahaan atau seseorang akan tetapkan membeli dari suatu perusahaan, maka keputusan didasarkan pada kualitas kekerabatan mereka, harga, dan spesifikasi teknis. Semakin baik hubungannya, semakin besar peluang rencana pembelian akan terjadi, dan hal ini berarti semakin besar peluang rencana pembelian akan terjadi, dan hal ini berarti semakin besar peluang perusahaan berguru dengan dan dari pelanggan serta pemasoknya. Pengetahuan yang dimiliki bersama ialah bentuk tertinggi customer capital. (Sugeng, 2002: 206)
Setiap perusahaan dengan pelanggan niscaya mempunyai modal pelangan menyerupai yang didefinisikan Hubert Saint-Onge sebagai nilai perusahaan, kekerabatan perusahaan yang terus menerus dengan orang-orang atau organisasi daerah mereka menjual produknya. Dari ketiga kategori aset intelektual: human capital, structure capital, dan customer capital, maka customer capital merupakan aset yang paling bernilai. Jejak mereka dalam laporan keuangan lebih gampang ditelusuri dibandingkan dengan yang ditinggalkan orang, system, atau kemampuan. Walaupun banyak system laporan keuangan perusahaan yang tidak dirancang untuk melaksanakan hal tersebut, sangatlah gampang mencari indicator customer capital, menyerupai pangsa pasar, tingkat retensi, dan hilangnya pelanggan, dan keuntungan per pelanggan. (Sugeng, 2002: 206)
Customer capital memang bernilai sangat tinggi, namun nilainya sungguh mengejutkan. Perusahaan Ford menemukan bahwa untuk setiap kenaikan prosentase pelanggan, dengan tidak mempedulikan berapa pemilikk kendaraan beroda empat Ford membeli lagi kendaraan beroda empat tersebut dilain waktu, perusahaan akan mendapat keuntungan sebesar $100 juta setahun. Memperoleh tingkat keuntungan customer capital membutuhkan lebih dari sekedar pengukuhan bahwa kekerabatan dengan pelanggan ialah aset, bukan hanya peristiwa, juga dituntut pemahaman dinamika administrasi aset tersebut. (Sugeng, 2002: 206)
Dalam periode gosip ini, customer capital tidak sanggup ditangkap hanya dengan arus barang dan jasa dari penjual ke pembeli, tetapi dengan menangkap gelombang arus gosip dan pengetahuan di antara mereka. Dengan pengetahuan sebagai kemponen nilai transaksi ekonomi terpenting, yaitu pengetahuan mengenai apa yang kita perdagangkan, pengetahuan menjadi unsur utama customer capital. (Sugeng, 2002: 207)
Dari uraian di atas, intellectual capital tidak diciptakan dari suatu persatuan human capital, structure capital, dan customer capital, namun dari interaksi antara ketiga modal tersebut. Structural capital dalam bentuk database, jaringan computer, hak paten, dan administrasi yang baik sanggup meningkatkan talenta spesialis teknik (human capital), sedangkan perangkat yang jelek dan birokrasi sanggup menghancurkannya. Seberapa pun loyalitas pelanggan terhadap merek suatu perusahaan tidak bisa mengikuti perubahan teknologi. Ketika human capital, dalam bentuk jago teknik dan teknologi canggih, tidak berinteraksi dengan human capital, balasannya tidak berguna. Intellectual capital tidak mempunyai kegunaan jika tidak bergerak. Tidak ada gunanya mempunyai seseorang yang sangat bijak, namun duduk sendiri di sebuah ruangan. (Sugeng, 2002: 207)
Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.comCustomer capital seringkali diukur atau dihitung alasannya merupakan sumber pendanaan dibandingkan dengan human capital maupun structure capital. Misalnya merek, merupakan referensi costumer capital yang mempunyai etode evaluasi yang mudah. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung premi yang mau dibayarkan pelanggan untuk suatu merek produk tertentu dibandingkan dengan merek produk lainya, lalu dengan memakai biaya modal dan tingkat balas jasa atas modal modal untuk menghitung nilai asset (reputasi merek) yang membuat premi tersebut.(Sugeng, 2002:205,206)
Customer capital muncul dalam bentuk proses belajar, akses, dan kepercayaan. Ketika sebuah perusahaan atau seseorang akan tetapkan membeli dari suatu perusahaan, maka keputusan didasarkan pada kualitas kekerabatan mereka, harga, dan spesifikasi teknis. Semakin baik hubungannya, semakin besar peluang rencana pembelian akan terjadi, dan hal ini berarti semakin besar peluang rencana pembelian akan terjadi, dan hal ini berarti semakin besar peluang perusahaan berguru dengan dan dari pelanggan serta pemasoknya. Pengetahuan yang dimiliki bersama ialah bentuk tertinggi customer capital. (Sugeng, 2002: 206)
Setiap perusahaan dengan pelanggan niscaya mempunyai modal pelangan menyerupai yang didefinisikan Hubert Saint-Onge sebagai nilai perusahaan, kekerabatan perusahaan yang terus menerus dengan orang-orang atau organisasi daerah mereka menjual produknya. Dari ketiga kategori aset intelektual: human capital, structure capital, dan customer capital, maka customer capital merupakan aset yang paling bernilai. Jejak mereka dalam laporan keuangan lebih gampang ditelusuri dibandingkan dengan yang ditinggalkan orang, system, atau kemampuan. Walaupun banyak system laporan keuangan perusahaan yang tidak dirancang untuk melaksanakan hal tersebut, sangatlah gampang mencari indicator customer capital, menyerupai pangsa pasar, tingkat retensi, dan hilangnya pelanggan, dan keuntungan per pelanggan. (Sugeng, 2002: 206)
Customer capital memang bernilai sangat tinggi, namun nilainya sungguh mengejutkan. Perusahaan Ford menemukan bahwa untuk setiap kenaikan prosentase pelanggan, dengan tidak mempedulikan berapa pemilikk kendaraan beroda empat Ford membeli lagi kendaraan beroda empat tersebut dilain waktu, perusahaan akan mendapat keuntungan sebesar $100 juta setahun. Memperoleh tingkat keuntungan customer capital membutuhkan lebih dari sekedar pengukuhan bahwa kekerabatan dengan pelanggan ialah aset, bukan hanya peristiwa, juga dituntut pemahaman dinamika administrasi aset tersebut. (Sugeng, 2002: 206)
Dalam periode gosip ini, customer capital tidak sanggup ditangkap hanya dengan arus barang dan jasa dari penjual ke pembeli, tetapi dengan menangkap gelombang arus gosip dan pengetahuan di antara mereka. Dengan pengetahuan sebagai kemponen nilai transaksi ekonomi terpenting, yaitu pengetahuan mengenai apa yang kita perdagangkan, pengetahuan menjadi unsur utama customer capital. (Sugeng, 2002: 207)
Dari uraian di atas, intellectual capital tidak diciptakan dari suatu persatuan human capital, structure capital, dan customer capital, namun dari interaksi antara ketiga modal tersebut. Structural capital dalam bentuk database, jaringan computer, hak paten, dan administrasi yang baik sanggup meningkatkan talenta spesialis teknik (human capital), sedangkan perangkat yang jelek dan birokrasi sanggup menghancurkannya. Seberapa pun loyalitas pelanggan terhadap merek suatu perusahaan tidak bisa mengikuti perubahan teknologi. Ketika human capital, dalam bentuk jago teknik dan teknologi canggih, tidak berinteraksi dengan human capital, balasannya tidak berguna. Intellectual capital tidak mempunyai kegunaan jika tidak bergerak. Tidak ada gunanya mempunyai seseorang yang sangat bijak, namun duduk sendiri di sebuah ruangan. (Sugeng, 2002: 207)