Rata-rata yakni satu nilai dari sejumlah nilai amatan tertentu dibagi dengan jumlah amatan. Para hebat menyebut nilai ini merupakan 'wakil' sekumpulan nilai amatan populasi tertentu. Rata-rata juga disebut mean atau rerata.
Banyak hal di sekitar kita yang membahas perihal rata-rata. Baru-baru ini pemberitaan media soal Garis Kemiskinan (GK) menyita perhatian. Kita dibentuk familier dengan istilah rata-rata. Misalnya saja...
"Rata-rata pengeluaran per kapita per hari di bawah sebesar......itu dikategorikan miskin."
Sedemikian mudahnya memang menyebut rata-rata. Maklum, rata-rata sering kita pakai alasannya yakni kemudahannya. Dengan menghitung jumlah nilai, kemudian kita bagi dengan jumlah amatan, selesai. Padahal rata-rata merupakan penduga parameter populasi yang tidak robust. Wah, mulai deh keluar istilah robust, hehe...
Robust? Apa itu?
Ketika kita dihadapkan pada sekumpulan data, realitanya ada saja nilai amatan yang terlalu kecil. Namun, adapula nilai amatan yang terlalu besar. Kenyataan data tak sanggup terhindarkan. Data 'bilang' apa, ya itulah kondisinya. Rata-rata ternyata dipengaruhi hal itu.
Rata-rata begitu tak punya 'pendirian' berpengaruh untuk secara objektif memilih di mana letak 'dirinya' dalam data. Jikalau ada nilai amatan yang besar, rata-rata akan 'menuju' nilai amatan besar itu. Minimal berada di sekitar nilai besar itu. Sebaliknya, saat dalam sekumpulan data, ada nilai amatan yang terlalu kecil, rata-rata tampak 'bingung' sehingga ia 'ikut' bernilai kecil. Sifat rata-rata yang 'memihak' nilai amatan data inilah yang kemudian disebut tak robust.
Berbeda dengan nilai tengah atau median. Karena ia merupakan penduga nilai sekumpulan data sempurna membagi data menjadi dua bab sama besar, ia tak gampang dipengaruhi oleh sifat nilai amatan yang ekstrem. Bagaimana pun kondisi sebaran data, median tak bergeming. Ia tetap menjadi nilai tengah data.
Oleh karenanya, apabila ada penyataan media bahwa rata-rata pengeluaran per kapita per hari di bawah sebesar Rp. 12.000,- dikatakan miskin, kita jangan lantas melirik tetangga kanan kiri kita.
"Wah, ia kan punya teve, jadi ia tidak miskin."
"Wew, tetanggaku per harinya pendapatannya Rp. 10.000,- lho...berarti ia miskin."
"Wow, ia tampaknya makan ayam terus tiap hari, berarti ia kaya dong."
Pernyataan rata-rata tak semudah apa yang tampak dalam kenyataan. Karena ia tak robust. Perlu keterhati-hatian dalam mengintepretasikannya. Sayangnya, kemiskinan masih merupakan apa yang tampak di mata kita.(*)
Sedemikian mudahnya memang menyebut rata-rata. Maklum, rata-rata sering kita pakai alasannya yakni kemudahannya. Dengan menghitung jumlah nilai, kemudian kita bagi dengan jumlah amatan, selesai. Padahal rata-rata merupakan penduga parameter populasi yang tidak robust. Wah, mulai deh keluar istilah robust, hehe...
Robust? Apa itu?
Ketika kita dihadapkan pada sekumpulan data, realitanya ada saja nilai amatan yang terlalu kecil. Namun, adapula nilai amatan yang terlalu besar. Kenyataan data tak sanggup terhindarkan. Data 'bilang' apa, ya itulah kondisinya. Rata-rata ternyata dipengaruhi hal itu.
Rata-rata begitu tak punya 'pendirian' berpengaruh untuk secara objektif memilih di mana letak 'dirinya' dalam data. Jikalau ada nilai amatan yang besar, rata-rata akan 'menuju' nilai amatan besar itu. Minimal berada di sekitar nilai besar itu. Sebaliknya, saat dalam sekumpulan data, ada nilai amatan yang terlalu kecil, rata-rata tampak 'bingung' sehingga ia 'ikut' bernilai kecil. Sifat rata-rata yang 'memihak' nilai amatan data inilah yang kemudian disebut tak robust.
Berbeda dengan nilai tengah atau median. Karena ia merupakan penduga nilai sekumpulan data sempurna membagi data menjadi dua bab sama besar, ia tak gampang dipengaruhi oleh sifat nilai amatan yang ekstrem. Bagaimana pun kondisi sebaran data, median tak bergeming. Ia tetap menjadi nilai tengah data.
Oleh karenanya, apabila ada penyataan media bahwa rata-rata pengeluaran per kapita per hari di bawah sebesar Rp. 12.000,- dikatakan miskin, kita jangan lantas melirik tetangga kanan kiri kita.
"Wah, ia kan punya teve, jadi ia tidak miskin."
"Wew, tetanggaku per harinya pendapatannya Rp. 10.000,- lho...berarti ia miskin."
"Wow, ia tampaknya makan ayam terus tiap hari, berarti ia kaya dong."
Pernyataan rata-rata tak semudah apa yang tampak dalam kenyataan. Karena ia tak robust. Perlu keterhati-hatian dalam mengintepretasikannya. Sayangnya, kemiskinan masih merupakan apa yang tampak di mata kita.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/