Tuesday, September 26, 2017

√ Anonymous – Part I: Pertemuan Pertama Mataku Dan Matanya

Cerita seorang anonim yang sengaja dianonimkan


Selasa pagi jam 9 saya menemui dosen pembimbingku. Untungnya kali ini tak semenit pun saya terlambat, tak menyerupai sebelum-sebelumnya. Seperti biasa, sebelum benar-benar mengetuk pintu ruangannya, saya menguping dulu. Setelah memastikan kalo si bapak sedang tidak sibuk melayani tamu, saya pun mulai mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk.


Baca Juga: Catatan Sayang


“Selamat pagi, Bang!” sapaku dengan sangat sopan. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa sapaan dengan ‘bang’ kepada seorang dosen itu saya bilang sangat sopan?


Begini. Di jurusanku, dosen dan mahasiswa/i-nya sangat dekat. Dosen laki-laki kami sebut ‘Mas’ atau ‘Bang’ jikalau dia orang Batak, dan dosen perempuan kami sapa dengan ‘Mbak’, semuanya begitu tak peduli mereka sudah renta atau masih muda. Sudah bebuyutan begitu. Aku juga ngga ngerti makna ‘kedekatan’-nya di mana.


“Selamat pagi, silahkan duduk.” persilahnya.


Inilah kali keempat saya menghadiri bimbingan dengannya dalam setahun ini. Aku lebih sering melarikan diri dari jadwal bimbingan alasannya terlalu suntuk mengerjakan skripsi.


Sebelum menemuinya, saya sudah mempersiapkan semuanya yang penting-penting, termasuk sudah melaksanakan banyak sekali revisi menyerupai yang diperintahkan ia di pertemuan kami sebelumnya.


Kali ini rasa percaya diriku tinggi untuk menghadapnya. Aku sudah menginput semua data yang direkomendasikan beliau, dan memintaku untuk menunjukkan padanya.


Dua potongan skripsiku telah disetujuinya untuk sementara itu, tak ada lagi celah yang harus diperbaiki untuk sementara. Outline potongan 3 dan potongan 4 yang kupersiapkan sudah disetujuinya, dan sehabis ini tinggal kukerjakan aja semuanya.


Setelah sekitar satu jam menghadapnya, saya pun pamit, alasannya memang tak ada lagi yang benar-benar penting untuk didiskusikan. Aku pun keluar dari ruangannya dengan verbal puas. Benar-benar puas sekaligus lega.


Aku pun berjalan keluar dari gedung fakultas sambil menghidupkan rokok, sembari menyapa teman-teman lain di sepanjang perjalanan, saya berjalan ke arah pintu keluar.


Di persimpangan Gedung Rektorat dan Fakultas Hukum, saya menyapa temanku dan duduk di sebelahnya. Dia sedang mengobrol ketika ia kusapa, dan saya pun membiarkannya sembari mengeluarkan headset dari kantongku dan mulai mendengarkan lagu.


Daripada pulang dan ngga tau mau ngapain di kosan, mending saya nongkrong bentar di kampus, pikirku ketika itu. Lagipula hari Selasa menyerupai ini kampus niscaya rame, apalagi kampusku populer dengan Neng Geulis-nya yang sangat banyak jumlahnya.


Lumayanlah nongkrong sambil basuh mata, sekalian basuh muka dan basuh kaki. Dan lagipula juga, ketika ini mood-ku sangat baik, membuatku menjadi sangat riang, percaya diri, dan tentu saja jadi rada ‘gila’.


Sekitar jam 11.30, kampus benar-benar penuh. Kebetulan memang lagi ada program Olimpiade versi kampusku, jadi tak ada alasan untuk tidak menyempatkan diri melihat-lihat sekeliling. Apalagi kudengar-dengar para anabawang cantik-cantik. Makin semangatlah saya melaksanakan agresi itu.


Langsung Memalingkan Tatapannya


Aku duduk di posisi yang lezat untuk melihat. Persimpangan daerah saya nongkrong ini memang cocok sekali dipakai untuk perbuatan menyerupai yang kulakukan kini ini.


Nah, saya dengan secama, sok ganteng, sok cuek, dan sok asik dengan headset-ku memperhatikan neng geulis yang melintasi persimpangan ini satu per satu.


Baca Juga: Cerita Rama dan Keyza: Masa Lalu Tak Terlupakan – Part I


Emang bener sih cantik-cantik, terlalu banyak yang cantik. Ya kalo kukalkulasikan, dari skala 1-10 cewek yang lewat, cuma 3 yang gagal, dan ngga ada yang gagal total. Aslilah.


Lagi sibuk memperhatikan para biduan yang lewat, temanku yang namanya Joni tiba menghampiri. Karena ada dia, saya pun ngga enaklah nyuekin dia. Kucabut headset dari kedua kupingku.


Dia ngajak ngobrol dan kami pun ngobrol panjang x lebar x tinggi = luas ihwal bermacam-macam hal sebelum seseorang mengganggu fokusku dari dialog ini.


Ada cewek duduk di arah jam 1 pandanganku, sumpah anggun kali. Putih, lucu, dan yang bikin dia keliatan tambah cantik, ikatan rambutnya itu lho. Behhhh… Dari rentetan kalimat yang diucapkan Joni kepadaku, hanya “lu tau ngga kalo . . . ” dan “Kalo contohnya gue . . . ” yang kutangkap.


Maafkan saya Joni, tapi ngeliatan cewek itu jauh lebih penting daripada dengerin omong kosongku, kata iblis dalam diriku.


Bak terhipnonis, saya pun memberanikan diri menatapnya dalam-dalam. Joni belum sadar kalo saya udah ngga fokus lagi dengan dialog ini. Responku cuma mengangguk, apapun yang dikatakannya, termasuk makiannya.


Cewek itu, sebut saja namanya Bunga, risikonya membalas tatapanku. Itulah pertemuan pertama mataku dan matanya. Ia pribadi memalingkan tatapannya sesaat sehabis tatapan kami bertemu.


Ia tampak sedang asik dengan buku catatannya. Di sebelahnya terlihat ada seseorang, udah niscaya temannya. Tampaknya mereka sedang menunggu kehadiran sahabat kelompok berguru mereka yang lainnya.


Dia duduk di seberang dingklik tembok tempatku duduk. Kebetulan ia duduk paling pojok bersandar dengan sebuah fondasi dingklik tembok itu, dan temannya itu duduk di sebelahnya.


Kutatap terus dia dalam-dalam, masih belum kembali fokus dengan omongan Joni. Karena tidak puas, saya pun mendekat.


Kebetulan di sejajar Bunga duduk, ada temanku juga yang nonkrong di situ, sedang asik merokok sambil ngopi. Aku pun duduk di sebelah temanku itu meninggalkan Joni di tempatnya.


Aku duduk bersandar di tubuh temanku itu tegak lurus menghadap si Bunga. Ketika Bunga ngobrol dengan sahabat yang duduk di sebelahnya, sudah niscaya ia juga akan melihat aku.


Kuteruskan agresi tatap-menatap ini menunggu ia melihat ke arahku. Di daerah duduknya, Joni memanggilku untuk melanjutkan dialog tertunda tadi. Kusuruh dia yang mendatangiku.


Sebelum Joni berjalan mendatangiku, Bunga udah menyadari kalo saya sedari tadi menatapnya dan terus menatapnya.


Beberapa kali tatapan mata kami beradu, beberapa kali itu juga Bunga memalingkan tatapannya. Raut wajah Bunga mulai kesal dan risih alasannya tatapanku tak henti-henti menghantamnya.


Joni pun mendekat dan berkata, “Ayuklah lanjutin dialog yang tadi, lagi seru-serunya juga.”


Sambil tetap menatap Bunga, saya berkata dengan bunyi keras kepada Joni, “Kau ngga liat saya lagi sibuk?” Bunga mendengar kalimatku itu melihat ke arah kami. Bunga pun sudah niscaya mengetahui saya lagi sibuk ngeliatin dia.


“Lu sibuk ngapain? Sibuk ngeliatin dia? Aiiihhhhh . .. . ” kata Joni sambil menunjuk Bunga sebelum kembali pergi ke daerah duduk daerah kami ngobrol tadi.


Raut wajah Bunga kali ini benar-benar kesal. Jelas sekali ia risih alasannya kutatap ia terus menyerupai orang kelaparan yang lagi ngeliat nasi rendang. Bunga pun mengambil headset dan menempelkannya di telinganya. Aku tertawa melihat Bunga.


Karena ketika itu mood-ku lagi sangat bagus, lagi rada ‘gila’ juga, saya pun tetap berani dan percaya diri untuk terus menatapnya. Beberapa kali ia juga melihat ke arahku, namun menyerupai sebelumnya ia pribadi memalingkan tatapannya.


Sekitar 5 menit kemudian, sahabat satu kelompoknya pun datang. Mau tidak mau Bunga melepaskan headset dari telinganya. Mereka bertiga pun mengobrol ihwal kiprah yang akan mereka diskusikan.


Di ketika mereka bertiga ngobrol, saya pun memalingkan tatapan ke arah lain, ke arah gedung fakultasku, mencari-cari neng geulis lainnya. Dan catat, ketika itu juga saya mendengarkan lagu lewat headset.


Jadi kesan sok ganteng dan sok kerenku ketara sekali waktu itu. Karena tidak melihat neng geulis, saya pun kembali memalingkan tatapanku ke arah Bunga, dan ternyata mataku dan mata Bunga bertemu.


Aku yakin sebelumnya Bunga sedang melihat ke arahku alasannya ketika saya memalingkan tatapan ke arahnya, mata kami secara otomatis beradu.


Dan menyerupai biasa, Bunga pribadi memalingkan tatapannya dariku. Mereka tak lagi sibuk mengobrol, dan kali ini mereka tampaknya mengerjakan kiprah masing-masing yang tampaknya sudah mereka pisahkan bagian-bagiannya.


Melihat Bunga pribadi memalingkan tatapannya, lagi, saya menundukkan kepala dan tertawa. Wajah Bunga tampak anggun sekaligus lucu ketika itu.


Aku menghentikan tawaku, dan untuk memastikan apakah Bunga tadi benar-benar sedang melihatku ketika saya melihat ke arah lain, saya pun kembali menatap ke arah lain. Semenit kemudian, kupalingkan kembali tatapanku ke arah Bunga.


Dan benar, sekali lagi Bunga ketauan sedang melihat ke arahku. Kali ini ia tak lagi pribadi memalingkan tatapannya. Beberapa detik mata kami beradu.


Aku sempat tersenyum lepas alasannya ingat dengan raut wajah kesal Bunga alasannya risih ketika saya dan Joni membicarakan Bunga sambil menatap doi.


Ketika saya tersenyum di tengah-tengah tatapan kami yang saling membalas, Bunga pun ikut tersenyum, membalas senyumanku. Raut wajahku pribadi terlihat serius.


Aku galau namun besar hati alasannya ia tersenyum membalas senyumanku. Ia pun mengembalikan tatapannya ke lembar demi lembar materi kiprah di pangkuannya.



Sumber https://walterpinem.me