Sunday, October 1, 2017

√ [A Love Story] Ke Mana Langkah Selanjutnya? – Part 3

Aku sudah terbiasa dengan kesepian


Perasaan kejam itu tak akan selamanya mengurungku


Setidaknya untuk ketika ini


Aku terlalu mengenali bagaimana rasanya


Bagaimana kemunculannya


Dan bagaimana ia mereda untuk sesaat


Terlalu banyak kalimat-kalimat optimis,


yang bahkan tak dirasakan sendiri oleh pengucapnya


Tak ada yang benar-benar realistis sepertiku


Namun mimpi ini masih menungguku mewujudkannya


Terwujudnya satu mimpi ialah awal dari mimpi lainnya


 


“If there’s a girl you want to protect then protect her, and you’ll definitely become stronger” – Haku


[A Love Story] Ke Mana Langkah Selanjutnya? – Part 3 – Suasana sekolahku waktu itu sangat ramai. Aku seakan terjaga atas rasa kesendirian ini, rasa sepi ini. Atau mungkin alasannya ialah ada gadis ini di sini, entahlah. Perasaanku menjadi lebih tenang. Aku merasa lebih kuat, atau mungkin alasannya ialah saya sudah terlalu terbiasa?


Dua hari ini penuh kedamaian bagiku. Tentu alasannya ialah saya sudah bertemu dengan gadis ini. Margaret-lah yang menjadi penyebabnya.


Di ruangan penuh pernik ini mengingatkanku pada perayaan ulang tahunku ketika berumur 3 tahun, di ketika ibuku masih ada di sisiku.


Kehadiran Margaret ibarat kini ini mengingatkanku padanya, sosok penuh kasih sayang yang telah pergi itu. Di ruangan inilah saya akan memulai pencapaian mimpi gres ini meski mimpi lainnya belum jua terwujud.


“Begini, ehmm…, saya pengen ngobrol sebentar,” kataku mulai dirasuki rasa gugup.


“Silahkan aja, kak.”


“Kita belum kenalan formal, nih. Aku belum tau nama kamu.” Begitulah kataku memulai semuanya. Aku masih ingat bagaimana ekspresinya, bagaimana gesturnya, dan juga bagaimana caranya merespon uluran tanganku yang ketika itu tak lagi kusadari telah tersodor begitu saja.


Baca Juga: Part 1



“Oh iya kak, namaku Margaret.” Balasnya sambil merespon uluran tanganku. Aku bisa melihat senyumnya, senyum lapang dada yang ketika itu juga menenangkan.”Aku jarang lihat kau di sekolah. Kamu kelas berapa?”


“Kelas X-6, kak.” balasan cuma seadanya membuatku sejujurnya sedikit kecewa. Tiba-tiba ia melanjutkan jawabannya tadi….

“Oh iya, kak, apa yang bisa kubantu?”

responku impulsif menyahut, “Keberadaan kau di sini sangat membantu….”


Lidah ini seakan sudah terlatih dan ibarat bom waktu tinggal menunggu waktu sebagai pemicunya untuk meledak. Dan pemicunya ialah pertanyaan terakhir Margaret tadi.


Aku tak memikirkan kira-kira ibarat apa responnya, tapi tetap di sudut biji mataku bisa kulihat respon kagetnya, sama sepertiku yang juga kaget ternyata bisa mengucapkan kata-kata demikian.


“Maksudnya, kak?” katanya lagi. Nada suaranya sedikit menggetar. Kali ini saya termangu tak berani menatapnya, juga meresponnya.


Ia tampaknya tak berharap saya memperlihatkan respon cepat dari pertanyaannya. Ia kemudian termangu melihat saya terdiam. Suasana kelasku, daerah kami menghabiskan beberapa menit dalam keberduaan, menjadi hening, karam di balik berisiknya bunyi alat musik yang berpadu indah di luar sana.


Dari dalam kami bisa mencium amis asap yang sudah bisa ditebak niscaya dari api unggun yang merah menyala sengaja dihadirkan di tengah-tengah keramaian sebagai kepingan dari acara. Beberapa ketika kemudian semua lampu di sekolah kami dimatikan. Otomatis lampu kelasku juga mati, membuat suasana yang bahwasanya cukup romantis antara saya dan dia. Penerangan kami hanyalah kibasan cahaya dari api unggun tersebut, yang membuat suasana semakin romantis. Inilah saatnya, kataku dalam hati.


“Begini, Margaret…” ucapku terputus sambil memikirkan kalimat lanjutan. Ia melirik sebentar ke arahku ketika saya mengeluarkan suara, kemudian kembali tunduk ketika saya kembali terdiam.


Tangan kananku tanpa kusadari sudah menggenggam lengan kirinya. Kemudian itu menyadarkanku bahwa hal yang membuatnya melirikku bukan alasannya ialah suaraku, tapi alasannya ialah sandaran jemariku memeluk lengannya.


“Aku suka kamu….” jemariku yang melingkar di lengannya melembut siap terlepas.


“Aku ngga peduli bagaimana responmu, bagaimana kelak kau menatapku, dan bagaimana kau memandangku setelahnya, saya ngga peduli! Melihatmu, memikirkanmu, dan kehadiranmu di dekatku membuat sesuatu di diriku terasa bergeser, maksudku ada yang berubah. Aku ngga tau kenapa, yang niscaya saya suka kamu.” Genggamanku pun terlepas darinya.


Aku siap mendapatkan respon apapun kali ini, dan beban yang kuangkut terasa terlepas dalam sekejap, dalam hiasan kalimat yang gres saja kuucapkan.


Aku menatapnya dalam-dalam, tapi kini saya tak bisa melihat sepasang matanya alasannya ialah menyenter ke arah lantai. Hanya kepingan atas kepala darinya yang bisa kutatap.


“Aku….. ngga tau mau balas gimana, kak. Yang pasti…. saya ngga tau apa yang kurasakan sekarang” katanya sedikit menggantung. Aku hampir mati ingin tau menunggu kalimat sambungannya, yang menurutku balasan final dari ini semua.


Beberapa menit berselang sesudah keheningan menyelimuti keberduaan kami, bukan kalimat lagi yang ia berikan, namun ketika itu ia menarikku keluar kelas. Kali ini ia yang menggenggam pergelanganku, tanpa kusadari saya dengan ringannya melangkah kemana pun yang ia kehendaki pada ketika itu.


Ia melepaskan genggamannya ketika kami selesai menuruni tangga, dan melangkah tanpa menyuruhku mengikutinya. Ia bergabung dengan kerumunan dan melambatkan langkahnya sebagai tanda bahwa ia menungguku meraihnya.


“Api unggunnya bagus.” katanya sesudah kaki kami berhenti melangkah dan berpijak di terpal triplek yang terdedia untuk mencegah bara api dan sisa arang menjadi perusak rumput lapangan pondasinya.


Di tengah keramaian dan bakaran api di tengah kami, musik masih tetap mengalun meski tampaknya tak ada lagi tatapan yang mengarah pada pemainnya. Aku bisa melihat seri wajah Margaret yang disambar nyala api terlihat begitu cantik, dan tentu saja menenangkan, meski tak ada balasan niscaya darinya mengenai ungkapanku barusan.


Aku masih sangat gugup alasannya ialah ia menggantungku dari kepastiannya.


“Aku tau apa yang kau pikirkan, kak. Aku ngga mesti respon itu sekarang, kan? Atau kau maksa saya harus jawab sekarang?” rentetan pernyataan dan pertanyaannya mengagetkanku, tentu saja, alasannya ialah tiba-tiba saja ia mengungkapkannya.


“Tidak masalah…..” jawabku singkat, berusaha meloloskan diri dulu dari keterkejutanku.


Kemudian saya melanjutkan, “yang penting saya lega udah bisa jujur ke kamu. Setidaknya itulah perasaan yang bisa kukonversi ke dalam bentuk kalimat.”


“Aku ngerti, kak. Tapi saya bisa ngerasa ada mimpi di balik itu, walaupun kau ngaku kalo kau udah lega.”


Wow! Bagaimana bisa kau tau itu, Margaret? sentakku dalam hati.


Ia meletakkan telapak tangannya ke telapak tanganku, kemudian jari kami berpelukan.


“Kata orang-orang sih ya, kalo sepasang punya perasaan yang sama, salah satu dari mereka setidaknya bisa mencicipi apa yang dirasakan pasangannya.” katanya membuatku nyaris melompat ke arah api unggun sangkin kagetnya.

Tentu saja seribu pertanyaan tiba-tiba menumpuk di pikiranku. Apa maksud gadis kecil ini? Hey, apa saya hanya berhalusinasi?


“Kamu ngerti maksudku kan, kak?”

Aku bisa menebak, tapi masih takut mengerti sepenuhnya, Bisakah lebih spesifik? tanyaku dalam hati, tanpa menatapnya.


Melihatku termangu tanpa respon apapun, termasuk dari mimik dan gesturku, ia mengeraskan remas jarinya.


“Aku juga suka kamu, kak. Hanya saja saya takut ngungkapinnya dalam ruangan gelap kaya kelas kau tadi. Lagian di depan api unggun gini lebih romantis, kan?” jelasnya dengan sangat jelas……


“Oh…. ehm…. kamu.. serius?”


Ia hanya mengangguk kecil. Sesuatu telah berubah dalam diriku pada ketika itu juga. Egoku seakan berkurang dari darah keras ini. Sifat ini pun melunak.


Hal yang bisa kupelajari semenjak bertemu dengan Margaret: tak perlu menunggu usang mewujudkan mimpi ini. Secara perlahan dan niscaya serta tetap meyakini, lunakkan ego, coba apa yang belum atau tidak pernah mau dicoba, dan tatap lurus kemana langkah yang ingin dituju selanjutnya demi mimpi itu, Kemudian wujudkan tanpa berpikir panjang berbelit-belit. jalani apa yang sudah diyakini dan jangan biarkan hasutan negatif dalam diri mengontaminasi keyakinan yang sudah bulat.


Malam itu, satu dari sekian banyak mimpiku sudah terwujud. Tugasku kemudian, tentukan langkah selanjutnya demi mewujudkan mimpi yang tersisa sekaligus menjaga mimpi yang sudah tercipta.







Bersambung . . .


Sumber https://walterpinem.me