INI FAKTA YANG DIFIKSIKAN!
Cerita Geri Si Gila meluas dan meruas menggema di sepanjang tembok yang dilewatinya. Satu per satu lirikan mata mengarah padanya, tanpa ia sadari apa bekerjsama penyebabnya.
Ia lupa hari ini ialah hari Selasa, hari di ketika seharusnya ia beristirahat di kostannya, kostan awut-awutan yang ia sewa setahun belakangan.
Cerita wacana kegilaannya terus-menerus menjadi gunjingan orang-orang seumurannya. Orang yang lebih renta darinya tak peduli, dan orang yang lebih muda tak berani.
Baca Juga: (Bukan) Dunia Lain di Fakultasku – Part 1
Entah siapa yang menciptakan info tentangnya, yang terperinci kabar itu terkesiap dalam ingatan orang-orang, bahwa lelaki macam ia pernah berusaha mendekati Ramona, mahasiswi tercantik se-kampus.
Geri tak tahu-menahu soal info itu, yang jelas, bagi dirinya, yang penting masuk kelas kemudian mangkir kemudian pulang kemudian tidur. Sudah 6 semester terakhir ia menghabiskan masa kemahasiswaannya hanya untuk itu. “Biar apa?” tanyaku suatu hari. “Biar bapak dan mamakku senang.” katanya.
Aku mengerti. Maksudku, saya mengerti bahwa ngobrol dengannya hanya akan menghabiskan waktu dalam hidupku untuk hal yang sama sekali tidak penting.
Terutama kalau harus mendengarkan alasan atau pun perkataan yang tidak terperinci ibarat tadi. Tapi tidak, suatu hari saya menyadari bahwa Geri memang menunjukan perkataannya benar.
Aku saja yang terlalu meremehkan alasannya, saya menyesal, meskipun penyesalanku berakhir untuk ketika itu juga.
Geri sayang bapak sayang mamak. Mamak sayang Geri sayang bapak. Untuk itu Geri selalu berjuang keras agar bisa ikut ujian selesai dengan syarat absennya harus mencukupi persyaratan.
Baca Juga: Story of a Friend: I’m a Coward, Yes I am!
Suatu hari pula, ia mencukur sendiri rambut kriting gondrongnya, habis terkikis meninggalkan kulit berlapis.
Ah itu tidak penting. Kini saya ingin menuturkan wacana Catatan Sayang, di kala hujan mengikis timbunan embun di udara, di kala bunyi membising meliputi, dan langkah kaki meninggalkan tanda bahwa orang kala itu tiba berduyun-duyun ke arah sebuah panggung besar di dalam sebuah ruangan yang cukup luas di area kampusku, kampus kami.
Ramona,
with love from me to you - Geri
Jangan pergi jauh,
Ada tulang rusukku di dalammu
Itulah isi sepenggal puisi yang dikirim Geri kepada Ramona di bulan Agustus 2013, lewat seseorang yang tidak dikenalnya kepada seorang Ramona yang juga ia belum kenal.
Ia terinspirasi menciptakan puisi itu ketika Ramona pergi meninggalkan area kampus dengan sebuah kendaraan beroda empat sport glamor bersama kekasihnya.
Ketika dikonfirmasi, Geri mengaku ketika itu ia sedang mabuk.
Di kesempatan lain ketika saya dan Geri duduk berdampingan di teras gedung rektorat, Ramona lewat dengan ekspresi wajah yang sangat kami kenal, sangat khas darinya.
Baca Juga: Rio dan Nia: Kisah Nyata Sepasang Mahasiswa Baru
Sesaat sebelum ia benar-benar melewati kami, Geri mengajakku berdebat. Dia menyampaikan bahwa Ramona akan melihat dan senyum kepadanya sebagai sapaan. Aku bilang itu tidak mungkin.
Geri sangat yakin dan terus-menerus menyampaikan hal yang sama, menekanku untuk percaya. Aku menyanggahnya berkali-kali, namun ia tak mengalah dengan tekanannya.
Merasa tidak mau kalah alasannya tekanan itu, saya pun membalasnya, bahwa Ramona hanya akan senyum kepadaku dan tidak kepadanya. Geri geram, dan memantapkan perdebatan itu sebagai ‘Taruhan Harga Diri”.
Sesaat Ramona sudah sangat mendekat, tatapanku dan Geri kepadanya seakan mencabik-cabik perempuan bagus itu, dari jepitan rambut hingga tumit sepatu.
Ketika ia lewat, tak satu pun dari kami yang ia sapa dengan senyumnya. Jangankan senyum, menoleh saja tidak. Seorang sobat yang melihat perdebatan kami tadi tertawa puas dan berkata, “Debat, debat, padahal ia ngga kenal kalian!”
Baca Juga: Cerita Rama dan Keyza: Masa Lalu Tak Terlupakan – Part I
Bukannya murka alasannya olok-olokan itu, saya malah tertawa. Yang membuatku tertawa bekerjsama bukan alasannya omongannya, tapi alasannya yakinnya Geri hingga mengajakku berdebat untuk sesuatu yang sangat tolol, yang juga didampingi oleh ketololanku alasannya meladeni ajakannya.
Geri merasa terpojok! Ia merasa harga dirinya tergores. Berpikir wacana ‘gores’, ia pun mengambil pulpen dan secarik kertas dari tasnya. Ia pun menggoreskan pulpen tersebut ke kertas tadi, menuliskan puisi gres untuk Ramona:
Ramona,
with love from me to you - Geri
Aku butuh jawabanmu
Bagaimana caranya?
Agar kakimu tak mau bergerak ketika kau melewatiku
Bagaimana caranya?
Agar tulang rusukku sanggup kembali kepadaku
Yaitu kamu, Ramona
Geri mengejar Ramona sesaat sehabis selesai dengan puisinya. Diam-diam Geri menyelipkan kertas itu ke dalam tas Ramona yang berjalan cepat menuju gedung fakultasnya.
Ramona terlihat menyapa temannya di kejauhan, sobat erat sepertinya. Geri pun bergegas pergi sesaat setelah kertas berisi puisinya itu terselip di tas Ramona untuk menghindari radar khalayak mengenai aksinya.
Setelah berjalan sedikit jauh, Geri kembali menoleh untuk memastikan apakah kertas berisi puisinya tadi terselip dengan baik dan tidak jatuh alasannya terburu-buru menyelipkannya tadi. Ternyata ada. Amanlah rasanya.
Malam harinya ada sebuah program tahunan yang digelar di kampus kami, program dari fakultasku, fakultas Geri dan Ramona. Acara yang cukup besar untuk dilewatkan begitu saja.
Geri mengajakku dan Januar untuk mengikuti program itu. Meski malas, apalagi Januar, kami pun rela menyeret pantat kami dari daerah tidur masing-masing dan bergegas pergi ke program itu alasannya tidak tega melihat Geri memohon, tidak ibarat dirinya, mungkin kala itu ia kerasukan setan merah.
Kami bertiga pun bertemu di sebuah halte depan kampus. Aku dan Januar tiba lebih dulu. Sebatang, dua batang, atau berapa batang rokok, saya lupa, habis terbakar hanya untuk menunggu seonggok Geri.
Kami memantapkan diri bahwa jika 15 menit lagi Geri tidak datang, saya dan Januar akan migrasi ke warnet game online dekat rumah Pak Elon.
Semenit berlalu, Geri pun datang, padahal masih ada 13 menit 59 detik lagi waktunya untuk telat. Ia tiba bukan hanya dengan kostum amburadul khas-nya. Ia tiba dengan plastik hitam besar tertenteng di tangannya.
“Dari mana?” tanya Januar yang sedikit emosi.
“Dari sono!” jawab Geri ngasal.
Geri kemudian mengeluarkan isi plastik yang dibawanya: tiga botol bir yang didapat dari ngutang. Januar pun senang.
Kami bertiga menenggak bir itu tanpa wak-wek-wak-wek lagi. Semuanya hening, asik sendiri dengan botolnya, tidak memperhatikan bahwa Geri menyisipkan notes kecil di saku kemejanya lengkap dengan pulpen.
Geri bercerita bahwa ada sesuatu yang besar yang akan dilakukannya malam itu. Kami tidak peduli. Dia ngomong lagi:
“Pokoknya kalian jangan pergi sebelum saya selesai, bahkan kalo pun acaranya udah selesai!!”
Mendengar keseriusan perkataan itu, saya pribadi sadar dari ‘high’ akhir birku.
“Mau ngapain kau?” tanyaku sedikit serak.
“Mau nyari Bang Toyib!”
“Dia udah pulang.” kata Januar yang sudah terkapar di daerah duduk halte.
“Pulang aja yok.” ajakku sambil menenggak habis bir yang tersisa di botolku karena mendengar dari Januar bahwa Bang Toyib udah pulang.
Kami sepertinya sudah mabuk.
Geri sendawa berkali-kali menghalangi keinginannya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Biarin aja Bang Toyib pulang. Dia seneng udah ketemu sama bini sama anaknya, kalian kok mau pulang emang ditungguin siapa? Mending bareng saya cari cewek di sini.” kata Geri sambil berusaha bangun berdiri. Mendengar itu Januar pribadi bangun dari rebahan, dan aku terjatuh alasannya tertendang kaki Januar.
“Ah iya juga! Biasanya program kaya gini banyak ceweknya!” Januar histeris.
“Makanya kalo gue ajakin pribadi gerak! Lu orang udah pada pemberani sekarang, kan?” kata Geri songong ibarat biasanya.
Tanpa pikir panjang kami pun berjalan, terpogoh-pogoh, ke arah pintu masuk kampus. Inilah tuturanku wacana Catatan Sayang, di kala hujan mengikis timbunan embun di udara, di kala bunyi membising meliputi, dan langkah kaki meninggalkan tanda bahwa orang kala itu tiba berduyun-duyun ke arah sebuah panggung besar di dalam sebuah ruangan yang cukup luas di area kampusku, kampus kami.
Di sepanjang perjalanan tadi, Geri banyak berbicara wacana aksinya dan tersebutlah nama Ramona. Kami pribadi tahu bahwa malam ini ialah malamnya dengan Ramona.
Kami pun mengikuti langkah duyunan orang-orang. Kami bergabung dengan khalayak yang sangat besar jumlahnya, padat menyeruak mengisi setiap sudutnya, dan terpandanglah Ramona di seberang dengan balutan kain yang terlihat sungguh menyadarkan, dari mabuk kami dan siapa kami.
Aku dan Januar melihatnya. Kemudian kami melihat ke arah Geri. Ia tersenyum, senyum najis, melihat ke arah lain, ke arah panggung. Kami berusaha melihat apa yang dilihat Geri di arah panggung hingga membuatnya tersenyum menjijikkan ibarat itu. Padahal Ramona terlihat terperinci di seberang, lengkap dengan rupa spesialnya.
Lama kami sadari, ternyata di arah panggung terkibar sebuah layar proyektor yang menampilkan modern dance, dan tepat di belakangnya dengan ukuran yang sangat kecil, terlihat Ramona yang ikut terekam kamera.
Ya, Ramona memang berada di dekat dance floor daerah modern dancers itu sedang tampil.
Januar dengan pasrah menggeser kepala plontos Geri ke arah Ramona. Geri pun melihatnya tapi Ramona tidak. Geri pribadi bergegas ke arah seberang.
Situasinya, kami tidak sanggup pribadi menyeberangi dance floor dan padatnya audiens untuk hingga ke Ramona. Kami harus memutar gedung daerah panggung berada untuk sanggup ke seberang. Geri tampaknya sudah sangat mengerti wacana itu. Maklum, veteran di fakultas.
Dengan setengah berlari dan ibarat sedang mabuk, Geri mengeluarkan notes dan pulpen di saku kemejanya dan mulai menggoreskan isi hatinya ke kertas itu.
Sepertinya ia sangat terinspirasi dengan suasana, dengan kecantikan Ramona malam itu, dan isi hatinya yang menggebu-gebu ingin dicurahkan. Ia menulis:
Ramona,
with love from me to you - Geri
Malam ini kau bagus banget
Biarlah saya menjadi kucingmu kalau kau sudah punya anjing
Btw, anjing kau galak ya?
Aku juga sanggup jadi kucing galak
Tapi kucing galak kan takut anjing galak
Kalau anjing kau galak terus mau gigit aku,
Kamu belain saya ya?
Tapi damai aja,
Aku juga bawa anjing kok, dua ekor lagi
Benar, Geri mabuk!
Dengan keadaan ibarat itu, Geri terus berlari, berlari dan berlari, membawa cita-cita untuk dikonsumsi seorang diri. Di tengah keramaian ia mencari-cari, namun Ramona tak juga ditemui.
Lama waktu berlalu dan Geri masih memegang puisinya. Tetap tak kunjung bertemu. Aku dan Januar yang sedari tadi mencari kemana perginya Geri yang mencari Ramona, hasilnya mendapati Geri terduduk lesu di samping ruang bintang tamu.
Kami duduk mengikutinya duduk. Masing-masing rokok keluar dari saku. Ketika habis terbakar, kami melihat Geri seperti berpikir, seakan mencari petuah. Ia masih terengah-engah, kami juga. Beberapa batang rokok lagi habis terbakar hingga kami sadari bahwa rokok itu pun habis.
Geri tiba-tiba berdiri dan berlari ke arah jam 12, tampaknya melihat Ramona di sana. Kali ini kami biarkan saja, sesuka hatinyalah. Tak usang kemudian ia kembali, tampaknya Ramona kembali menghilang di tengah kerumunan.
“Mana dia?” tanyaku.
“Kabur.”
“Hah? Kenapa kabur? Kabur ke mana?” tanya Januar penasaran.
“Aku yang kabur dari Kang Asep, satpam yang gede tinggi besar itu lho.” Jelas Geri sambil terengah-engah.
“Emang kenapa?” tanya Januar lagi.
“Waktu ngejar Ramona ngga sengaja kusenggol Kang Asep. Kopinya tumpah terus kena bajunya, ya udah saya kabur.”
Geri menundukkan badannya sambil mengeringkan tetesan keringat dengan kaos dalamannya. Kemudian ia menyadari sesuatu, “Yah, notes gua mana!?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia menyadari notes dan puisinya terjatuh ketika bersenggolan dengan Kang Asep. Hanya pulpen yang tersisa alasannya digenggam di tangannya.
Kami berusaha menenangkannya. Untung Yedi melewati kami dengan kotak rokoknya yang masih terisi penuh. Satu per satu kami ambil dan mulai memikirkan langkah selanjutnya untuk Geri.
Yedi mengajak kami semua untuk menonton acaranya. Demi menenangkan Geri yang tambah mabuk, kami pun menyeretnya dengan bujukan kami untuk masuk ke dalam gedung acara.
Karena Geri masih takut bertemu dengan Kang Asep dan tak berniat mengambil notes dan puisinya yang terjatuh, kami pun berjalan ke arah lain menuju gedung acara.
Sesampainya di sana, bukannya menonton, kami mengambil posisi duduk di dekat pintu masuk gedung untuk melihat-lihat ke sekitar. Benar, banyak cewek bagus berlalu-lalang di sekitar kami minta ‘dinikahin’.
Aku dan Januar asik dengan tatapan kami, sedangkan Geri asik mencari Ramona. Dengan perjuangannya malam itu, ia pun mendapati Ramona tak jauh dari tempat kami duduk.
Ramona sedang asik mengobrol dengan temannya. Geri kemudian menyadari sesuatu bahwa puisi yang tadi siang ia selipkan di tas Ramona MASIH ADA!!!
“Kampret!!” gerutu Geri.
Kami mendengarnya tapi tak peduli. Ia menampar pipi kiri dan pipi kanannya berkali-kali seakan memaksanya untuk percaya dengan apa yang dilihatnya.
Puisi yang diselipkannya memang masih ada dan Geri masih merasa mabuk untuk percaya. Belakangan kami juga menyadari bahwa ada secarik kertas yang terselip di belakang tas Ramona.
Geri pun mencari nalar sesaat sehabis kami melihat Ramona berjalan ke arah kami, mungkin ingin masuk ke dalam gedung. Dan pada ketika itu juga saya dan Januar hening sedangkan Geri tak bergeming.
Januar mengambil inisiatif. Dengan gaya cool ala Sasuke ia kemudian berdiri dan menyapa Ramona.
“Ramona, ya?” sapa Januar dengan pertanyaan.
“Iya.” jawab Ramona ramah dengan senyum supernya.
“Ehm, kau panitia?”
“Iya.”
Mereka berdua terlibat dialog singkat. Aku memperhatikan ekspresi Geri. Benar-benar kucing ini orang!, gerutuku ketika itu. Ketika jauh Geri terlihat dan bersikap ibarat singa, tapi giliran sudah sangat dekat ibarat ini, ternyata kucing!
Entah apa yang menjadi dialog Januar dan Ramona, tiba-tiba Januar menoleh ke arah Geri dan memperkenalkan Geri kepada Ramona. Mereka berdua hasilnya kenalan sehabis tiga tahun mereka satu institusi, sehabis tiga tahun Geri menyimpan rasa dan asa kepadanya.
Perkenalan hanya begitu saja, saling sebut nama dan berjabat tangan, kemudian Ramona pamit pergi alasannya dipanggil oleh temannya. Geri merasa puas meski belum sempat menawarkan puisinya kepada Ramona secara langsung, atau setidaknya mengobrol berdua dengannya.
Mungkin alasannya masih ingin tau dan ingin menghabiskan malam ini dengan kegilaannya, Geri pun kembali mencari nalar untuk bisa berkomunikasi dengan Ramona yang malam itu sibuk menjadi panitia acara.
Geri berniat menciptakan puisi gres untuknya. Tapi apa daya, notes yang dibawanya dari kostan sudah jatuh, dan ia masih takut menjemputnya dengan bayangan Kang Asep di pikirannya.
Ia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang sanggup dipakai sebagai media tulis. Tak ada, secarik kertas sampah pun tak ada. Yedi lewat dan mengajak kami masuk alasannya program puncak sebentar lagi akan dimulai. Geri pun mendapat petuah.
“Yed, bagi rokok lu dong.”
Yedi memberikan kotak rokoknya kepada Geri. Bukannya mengambil sebatang, Geri mengeluarkan seluruh rokok yang terdapat di kotak itu dan meletakkannya di dalam bungkusan plastik cireng bekas yang sedari tadi diinjaknya.
Ia menciptakan bungkusan plastik cireng itu menjadi tempat rokok Yedi, dan memakai kotak rokok itu sebagai media tulis.
Yedi pasrah, alasannya seberapa pun ia mengutuk perbuatan Geri pada ketika itu, otaknya yang tersimpan di balik kepala botaknya tak akan mencernanya dengan baik.
Geri pun menuliskan surat terakhir, kali ini bukan puisi, di kotak rokok yang sudah dimodifikasinya menjadi media tulis itu:
Mungkin kau lagi sibuk banget jadi ngga ada kesempatan kita buat ngobrol. Tapi ada beberapa hal yang pengen saya sampein ke kamu:
with love from me to you - Geri - Bandung 2013
1. Maaf soal ini dan yang tadi
2. Kamu bagus banget malam ini
3. Kamu selalu terlihat cantik
4. Engga pernah sekalipun kau terlihat ngga cantik
5. Maaf soal kertas dan tulisannya
Setelah menuliskannya, ia pun melipat kertas itu dalam beberapa lipatan. Ia kemudian masuk ke dalam gedung dan mencari Ramona. Tak lama, ia melihat Ramona sedang duduk memegang HT bersama dua orang temannya sesama panitia acara.
Geri tak ragu lagi berjalan menjumpainya. Belum sempat Ramona menoleh, Geri meletakkan kertas itu di atas pangkuan Ramona dan lari terbirit-birit membawa pergi kepala plontosnya.
Akhirnya, surat terakhir Geri hingga ke Ramona. Kami bertiga pun pergi meninggalkan kampus dan meneduh di kostan Geri alasannya kostannya yang paling dekat dengan kampus.
Sesampainya, Geri teringat sesatu. Ia gres ingat bahwa kemeja dan kaos dalam yang ia kenakan ketika itu ialah yang terakhir yang tersedia. Itu pun sudah dibasahi keringat dan beberapa noda becek bekas hujan. Tak ada lagi baju higienis yang tersedia di lemarinya untuk dikenakan kuliah esoknya.
Ia pun pribadi menanggalkan kostumnya dan menyeret baju kotor yang tersiar di kamarnya, membawanya ke kamar mandi untuk dicuci. Begitu banyak.
Meski begitu, ia tampak sangat bahagia, mungkin alasannya ia berhasil kenalan dengan Ramona dan menawarkan surat isi hatinya pribadi kepadanya. Aku dan Januar dingin saja.
Di dalam kamar mandi, ia memutar lagu favoritku dan Januar dari grup musik favoritku, Good Old-Fashioned Lover Boy dari Queen.
Ia memutar lagu itu sepanjang malam, terus-menerus, merasa dirinya sang Good Old-Fashioned Lover Boy yang diceritakan Freddie Mercury dalam lagunya.
Besoknya, ia berjalan ke arah gedung fakultas dengan rautan senyum di wajahnya, meski tak begitu terlihat, mungkin sedang berusaha ia sembunyikan. Takut dikira orang gila.
Ketika hingga di jembatan ke arah pintu masuk fakultas, ia melihat Kang Asep dan beberapa mahasiswa yang tampak tertawa berada di dekat mading yang terletak di samping kiri jembatan tersebut.
Karena melihat Kang Asep, Geri menghindar sebentar kemudian melanjutkan langkahnya sehabis memastikan bahwa ia tak akan berpapasan dengan Kang Asep pada ketika itu.
Satu per satu lirikan mata mengarah padanya, tanpa ia sadari apa bekerjsama penyebabnya. Ketika ia melewati keramain di depan sebuah mading, orang-orang itu meliriknya dan tertawa.
Geri penasaran. Ia berusaha melihat apa yang sedang asik mereka lihat. Karena orang-orang itu melihat bahwa Geri yang menerobos masuk ke keramaian, mereka pun nrimo memberi jalan.
Dan Geri melihat bahwa puisi yang kemarin terjatuh akibat bersenggolan dengan Kang Asep tertempel di mading. Pasti Kang Asep, yang gres saja berada di situ, yang menempelkannya.
Ia pun menjadi materi cemoohan, dan tentu saja kabar dan goresan pena itu sudah hingga ke Ramona. Kasihan Geri.
Sumber https://walterpinem.me