Hari ini, hari pertama saya berada di sini, di pedalaman Suku Baduy. Dan besok menjadi hari terakhirku. Karena setiap pengunjung hanya diberikan waktu paling usang 2 hari. Terkecuali untuk orang-orang yang sedang bertugas melaksanakan penelitian bisa mengantongi ijin sampai satu bulan.
Ada beberapa hal menarik mengenai Suku Baduy yang saya temukan selama di sini.
1. Deterjen pun salah satu kecanggihan teknologi yang ditolak
Baru saja saya akan masuk Baduy Dalam, saya diwanti-wanti untuk tidak membawa peralatan mandi yang sering saya pakai: pasta gigi, sabun, shampoo. Mereka sangat menghargai alam supaya tidak tercemar oleh materi kimia.
Untuk mandi, mereka memanfaatkan batang pohon honje sebagai sabun, sabut kelapa untuk sikat gigi, dan untuk mencuci mereka hanya menggosok-gosokkannya di kerikil sungai kemudian membilasnya dengan air.
Bandingkan dengan orang-orang zaman kini -termasuk saya, yang mengaku “modern” yang justru sangat tidak peduli dengan alam. Ironi memang.
2. Cuci kaki sebelum masuk rumah menjadi salah satu budpekerti yang harus dipatuhi
Saya diberi kesempatan untuk tinggal di rumah salah satu warga. Rumah ini memang biasa digunakan untuk penginapan pengunjung.Rumah warga Baduy semua terbuat dari bambu, dinding, kerangka, rangka atap, semua dari bambu yang diambil dari sekitar lingkungan mereka.
Ketentuan dari leluhur mereka yang mewajibkan sukunya untuk tidak menggunakan ganjal kaki kemanapun pergi, benar-benar diikuti dengan baik oleh sukunya. Namun, ketika memasuki rumah, mereka akan selalu mencuci kakinya dengan air yang ditempatkan di sebuah wadah bambu -yang unik, wadah bambu ini diberi nama sesuai pemiliknya, di depan rumah mereka. Kemudian ia mengelap kakinya dengan kain berwarna biru kehitaman.
3. Baduy ternyata suka mie instan!
Mereka begitu terbuka dan ramah. Mereka menjamu kami dengan baik malam itu. Selain sepiring pisang rebus hangat, mereka juga menyuguhkan makan malam dengan sajian mie instan. Mereka terlihat begitu menyukai mie instan dan menyantapnya tanpa sisa. Ternyata mie instan telah menjangkau seluruh elemen masyarakat, termasuk suku-suku tradisional.
4. Baduy yaitu pejalan sejati
Dari sikapnya yang terkesan kaku dan kolot, ternyata suku baduy bisa bersosialisasi dengan orang luar. Malam itu, saya dan rombongan begitu antusias mendengarkan dongeng salah seorang sesepuh di sini. Beliau bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar.
Ia menceritakan pengalamannya sewaktu muda dulu. Kala itu, keinginannya begitu besar lengan berkuasa untuk mengetahui dunia luar selain baduy. Suatu hari ia bersama temannya nekat untuk berjalan berkeliling Bandung. Perjalanan itu mereka lalui selama 5 hari dengan berjalan kaki tanpa menggunakan ganjal kaki. Dia bercerita, awalnya mereka sempat kaget melihat dunia luar, dimana di matanya semua terlihat sangat cepat.
‘Semua orang menyerupai dikejar sesuatu, semua serba buru-buru. Bagi saya, itu tak bagus.’
Meski begitu, ia mengaku tak menyesal. Perjalanan kala itu memberi ide ihwal dunia, hal berbeda yang tak pernah ia lihat di kampungnya.
5. Mereka tahu cara menghormati pemimpin
Saya makin larut mendengarkan dongeng sesepuh. Beliau bercerita di Kampung Baduy Dalam memiliki kepala suku atau disebut pu’un. Pu’un yaitu orang yang mempunyai “kelebihan” yang tidak biasa dimiliki orang baduy lainnya. Pu’un dapat memilih kapan masa tanam dan masa panen dengan penerawangannya. Juga bisa mengobati orang sakit.
‘Bolehkah saya bertemu beliau?’ saya semakin tertarik untuk bertemu dengannya sekedar untuk berbincang.
‘Kamu hanya bisa berbincang dengannya bila kau mempunyai tujuan. Seperti keluhan kesehatan, ingin mendapatkan perkerjaan, atau bahkan jodoh. Tapi jangan sekali-kali kau merokok di depannya. Itu pantang.’
‘Saya pun tidak merokok sesepuh,’ saya tertawa kecil, diikuti oleh sesepuh.
6. Siti Nurbaya di Baduy
‘Kalau di luar sana janji nikah menyangkut cinta, tidak dengan di sini. Pernikahan berasal dari sebuah penjodohan. Tidak ada yang menolak sebuah perjodohan,’ sesepuh melanjutkan ceritanya.
‘Kalau kita tidak menyukai seseorang yang dijodohkan bagaimana?’ saya penasaran.
‘Ya, pendam saja di dalam hati.’
Sesepuh menjelaskan bahwa meski bagi orang luar hal tersebut nampak tak adil, tapi menurutnya mereka tetap bisa hidup bahagia. Mereka jarang berselisih paham alasannya yaitu mereka begitu saling mendapatkan kekurangan maupun kelebihan pasangannya masing-masing.
****
Suatu hari, niscaya saya akan sangat merindukan suasana baduy dengan segala ketenangannya. Di sini saya bisa mencicipi hidup yang “berbeda”. Saling berbincang, bergotong royong, bermain dengan alam tanpa perlu update status untuk diketahui banyak orang. Secara tak eksklusif mereka mengajarkan bahwa senang itu sangat sederhana.
Sumber https://phinemo.com