Setelah melalui proses dan penantian panjang, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno karenanya secara resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Detik-detik peresmian gubernur gres DKI ini akan dilaksanakan pada Senin tanggal 16 Oktober 2017. Dengan resminya Anies Sandi, maka secara sah, DKI Jakarta tentu akan berubah. Tak dipungkiri, bahwa selama masa kampanye setiap pasangan calon kepala kawasan pastinya mengucapkan janji-janjinya untuk rakyat yang hendak mereka pimpin. Maka sudah sepatutnya, rakyat ikut serta mengawal pelaksanaan janji-janji kampanye tersebut.
Memgingat permasalahan DKI Jakarta yang sungguh kompleks, kehadiran pemimpin yang gres ini akan menyelesaikan kebijakan yang belum sempat terealisasi oleh pemimpin sebelumnya. Selain itu, mereka juga punya PR untuk mengeksekusi jadwal yang hendak diaplikasikan untuk rakyat DKI Jakarta hingga final masa jabatan. Rakyat zaman now, terlebih kawasan DKI, karakteristiknya yang kritis dan tegas, tentu sudah selayaknya sanggup dirangkul dengan baik sehingga jadwal apapun yang akan dilaksanakan oleh gubernur dan wakilnya mendapat pertolongan penuh seluruh rakyat.
Pepatah menyampaikan "tiada gading yang tak retak" Setiap kepemimpinan pastinya punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Bila selama kepemimpinan Ahok-Djarot mendapat "dukungan" dari lawan politiknya. Tentunya harus fair dong, lawan politik harus mendukung jadwal Anies-Sandi sebagai Gubernur dan wakil terbaru. Kalau sudah, ya sudah, partai politik lawan Djarot tak pantas menyalahkan soal Sampah DKI yang katanya belum usai termasuk soal Reklamasi. Begitu pun dengan pihak kontra Anies-Sandi, mereka tak perlu semilitan dan sekritis itu meletupkan amarah soal rumah DP 0 rupiah, termasuk soal kelakuan "aneh" berpose Jurus Bangau yang sempat viral di media sosial.
Rakyat seharusnya sama-sama legowo politik. Kalau sudah, ya sudah, tak lagi berkelanjutan saling banyaomong bahkan hina-menghina. Demokrasi dikala ini memang sedang "sakit" tapi sebagai rakyat zaman now, mbok ya yang sabaran sedikit. Belum juga resmi dilantik, rencana demo kenaikan UMR DKI Jakarta sudah mau digelar ibarat demo berjilid-jilid.
Presiden kan sudah mengimbau kepada kita semua, bahwa sehabis pemilu, ya sudah, kerja dan kerja. Tak perlu demo terus. Negara lain sudah berpikir pengembangan teknologi pesawat, Indonesia masih sibuk tabrak ekspresi berbusa-busa melalui orasi demonya.
Aspek untuk saling legowo inilah yang hilang dari ruh demokrasi negara. Anies dan Sandi gres saja melaksanakan proses pemotretan, tapi sudah banyak yang menganggap itu yaitu pencitraan. Pencitraannya itu di mananya? Blusukan dengan dokumentasi atau selfie itu perlu sebagai bentuk bukti positif sudah mengerjakan sesuatu untuk rakyat. Kan begitu. Jangankan selfie dikala melaksanakan blusukan, selfie berbarengan dengan tiga istri pun kini juga ada yang merasa perlu, kok.
Marilah saling legowo dan tak lagi mencari-cari keburukan pemimpin anyar maupun mantan pemimpin. Anies-Sandi dibutuhkan untuk meneruskan pembangunan yang belum selesai dan melaksanakan moderasi jadwal kebijakan pemerintahan DKI, sedanhkan sang mantan memberi masukan apa yang sebaiknya dilakukan dan apa saja kiprah yang belum selesai dengan sempurna. Demokrasi semacam ini kok tak pernah ada ya di Indonesia? Inilah yang ajaib bagi penulis juga. Di dikala pemimpin gres datang, di dikala itu pula ia harus belajar sendiri mengerjakan program, padahal sanggup dibilang masih kikuk alias gres melaksanakan hal baru.
Tapi yang jelas, komitmen yaitu utang, dan itu haruslah dibayar sesuai apa yang dilontarkan berbusa-busa selama masa kampanye politik. Rakyat DKI harus bersatu mengawal perubahan besar yang kelak berdatangan. Selaksa PR belum kelar harus kejar tayang demi kemaslahatan. Yang pro tak perlu menyalahkan Sang Mantan. Yang kontra tak etis banyaomong sembarangan. Bila yang terjadi di DKI selalu kegaduhan, quo vadis demokrasi masa depan?
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/
Memgingat permasalahan DKI Jakarta yang sungguh kompleks, kehadiran pemimpin yang gres ini akan menyelesaikan kebijakan yang belum sempat terealisasi oleh pemimpin sebelumnya. Selain itu, mereka juga punya PR untuk mengeksekusi jadwal yang hendak diaplikasikan untuk rakyat DKI Jakarta hingga final masa jabatan. Rakyat zaman now, terlebih kawasan DKI, karakteristiknya yang kritis dan tegas, tentu sudah selayaknya sanggup dirangkul dengan baik sehingga jadwal apapun yang akan dilaksanakan oleh gubernur dan wakilnya mendapat pertolongan penuh seluruh rakyat.
Pepatah menyampaikan "tiada gading yang tak retak" Setiap kepemimpinan pastinya punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Bila selama kepemimpinan Ahok-Djarot mendapat "dukungan" dari lawan politiknya. Tentunya harus fair dong, lawan politik harus mendukung jadwal Anies-Sandi sebagai Gubernur dan wakil terbaru. Kalau sudah, ya sudah, partai politik lawan Djarot tak pantas menyalahkan soal Sampah DKI yang katanya belum usai termasuk soal Reklamasi. Begitu pun dengan pihak kontra Anies-Sandi, mereka tak perlu semilitan dan sekritis itu meletupkan amarah soal rumah DP 0 rupiah, termasuk soal kelakuan "aneh" berpose Jurus Bangau yang sempat viral di media sosial.
Rakyat seharusnya sama-sama legowo politik. Kalau sudah, ya sudah, tak lagi berkelanjutan saling banyaomong bahkan hina-menghina. Demokrasi dikala ini memang sedang "sakit" tapi sebagai rakyat zaman now, mbok ya yang sabaran sedikit. Belum juga resmi dilantik, rencana demo kenaikan UMR DKI Jakarta sudah mau digelar ibarat demo berjilid-jilid.
Presiden kan sudah mengimbau kepada kita semua, bahwa sehabis pemilu, ya sudah, kerja dan kerja. Tak perlu demo terus. Negara lain sudah berpikir pengembangan teknologi pesawat, Indonesia masih sibuk tabrak ekspresi berbusa-busa melalui orasi demonya.
Aspek untuk saling legowo inilah yang hilang dari ruh demokrasi negara. Anies dan Sandi gres saja melaksanakan proses pemotretan, tapi sudah banyak yang menganggap itu yaitu pencitraan. Pencitraannya itu di mananya? Blusukan dengan dokumentasi atau selfie itu perlu sebagai bentuk bukti positif sudah mengerjakan sesuatu untuk rakyat. Kan begitu. Jangankan selfie dikala melaksanakan blusukan, selfie berbarengan dengan tiga istri pun kini juga ada yang merasa perlu, kok.
Marilah saling legowo dan tak lagi mencari-cari keburukan pemimpin anyar maupun mantan pemimpin. Anies-Sandi dibutuhkan untuk meneruskan pembangunan yang belum selesai dan melaksanakan moderasi jadwal kebijakan pemerintahan DKI, sedanhkan sang mantan memberi masukan apa yang sebaiknya dilakukan dan apa saja kiprah yang belum selesai dengan sempurna. Demokrasi semacam ini kok tak pernah ada ya di Indonesia? Inilah yang ajaib bagi penulis juga. Di dikala pemimpin gres datang, di dikala itu pula ia harus belajar sendiri mengerjakan program, padahal sanggup dibilang masih kikuk alias gres melaksanakan hal baru.
Tapi yang jelas, komitmen yaitu utang, dan itu haruslah dibayar sesuai apa yang dilontarkan berbusa-busa selama masa kampanye politik. Rakyat DKI harus bersatu mengawal perubahan besar yang kelak berdatangan. Selaksa PR belum kelar harus kejar tayang demi kemaslahatan. Yang pro tak perlu menyalahkan Sang Mantan. Yang kontra tak etis banyaomong sembarangan. Bila yang terjadi di DKI selalu kegaduhan, quo vadis demokrasi masa depan?
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/