Banyak pemahaman ihwal kemiskinan yang dikemukakan para ahli, salah satu pemahaman yang dimaksud dikemukakan Bank Dunia (1990) dan Chambers (1987) (dalam Mikkelsen, 2003:193) yang memandang kemiskinan sebagai :
Suatu kemelaratan dan ketidakmampuan masyarakat yang diukur dalam suatu standar hidup tertentu yang mengacu kepada konsep miskin relatif yang melaksanakan analisis perbandingan di negara-negara kaya maupun miskin. Sedangkan konsep diktatorial dari kemiskinan adanya wabah kelaparan, ketidakmampuan untuk membesarkan atau mendidik anak dan lain-lain.
Usman (2003 : 33) menyampaikan bahwa kemiskinan ialah kondisi kehilangan (deprivation) terhadap sumber-sumber pemenuh kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan serta hidupnya serba kekurangan. Sedangkan pemahaman ihwal kasus kemiskinan, berdasarkan Sumodiningrat (1999 : 45) :
Masalah kemiskinan intinya bukan saja berurusan dengan duduk kasus ekonomi semata, tetapi bersifat multidimensional yang dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non-ekonomi (sosial, budaya, dan politik). Karena sifat multidimensionalnya tersebut, maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan bahan (material well-being), tetapi berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well-being).Dari pandangan di atas diperoleh suatu konsep pemahaman bahwa kemiskinan pada hakekatnya merupakan kebutuhan insan yang tidak terbatas hanya pada persoalan-persoalan ekonomi saja. Karena itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin sebaiknya tidak terfokus pada dimensi pendekatan ekonomi saja, tetapi juga memperhatikan dimensi pendekatan lain, yaitu pendekatan peningkatan kualitas sumber daya insan dan sumber daya sosial. Menurut Supriatna (1997:90) :
Kemiskinan merupakan kondisi yang serba terbatas dan terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Penduduk dikatakan miskin jikalau ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menawarkan bulat ketidakberdayaan.Menurut Kartasasmita (1996:240-241), kondisi kemiskinan sanggup disebabkan sekurang-kurangnya empat penyebab :
Pertama, rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan mengakibatkan sempitnya lapangan kerja yang sanggup dimasuki. Dalam bersaing untuk mendapat lapangan kerja yang ada, taraf pendidikan menentukan. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.Keempat penyebab tersebut menawarkan adanya bulat kemiskinan. Rumah tangga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di tempat pedesaan. Karena pendidikan rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan, yang diharapkan untuk sanggup hidup dan bekerja.
Kedua, rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah mengakibatkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa.
Ketiga, terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan lantaran kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada impian untuk memutuskan bulat kemiskinan itu.
Keempat, Kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya lantaran terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak sanggup terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.com