![]() |
Susah lepas dari korupsi, dokpri. |
Sengaja penulis mengutip perkataan Cak Nun di awal sebagai sebuah pengingat sekaligus kata pesan yang tersirat semoga tetap hati-hati dan waspada dalam berperilaku. Terlebih jikalau menyangkut kepentingan orang banyak yang dalam konteks negara kita sebut sebagai kepentingan rakyat.
Korupsi. Satu asupan "berat" kita sehari-hari. Belum juga kita membersihkan tubuh dan halaman rumah di pagi hari, isu korupsi sudah kita dengar, bahkan memekakkan telinga. Istilah ini begitu semerbak di tanah air yang katanya kaya raya ini. Sederetan penghianat negara ternyata semakin gembira menampakkan kebiadabannya di depan rakyat alasannya sudah mengutil atau menjambret uang negara yang seharusnya dinikmati oleh rakyat.
Setiap periodenya, rakyat serasa dibohongi untuk mencarikan para calon pejabat negara melalui coblosannya. Meski di malam harinya, mereka yang terpilih menduduki dingklik empuk dan punya kerjaan hasil coblosan itu mulai berkhianat sekaligus menyiapkan taktik halus untuk menipu dan mencuri.
Demikian banyaknya masalah korupsi di negara ini. Bisakah kita menghitungnya dengan jari berapa jumlah masalah korupsi yang menjerat sederetan koruptor itu? Bisakah kita menduga seberapa besar kerugian negara akhir ulah "Tikus Negara" yang melenyapkan uang negara secara tak senonoh itu? Soal data, begitu banyak bersama-sama yang memperlihatkan numerik wacana masalah korupsi di Indonesia sampai ketika ini. Laman situs cnnindonesia.com (2016) menyatakan bahwa menurut data Mahkamah Agung (MA), setidaknya terdapat 453 masalah korupsi yang terjadi sepanjang tahun 2016. ICW (2017) melalui situs merdeka.com juga menyatakan bahwa ada sebanyak 482 masalah korupsi yang terjadi sepanjang 2017 dan masalah tersebut belum tuntas. Secara historis, hasil kajian ilimiah ekonomi Universitas Gajah Mada (2016) melalui situs beritagar.id juga menyatakan bahwa selama periode 2001-2015, ada sebanyak 2.321 masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.
Jumlah kasusnya saja begitu fantastis, lantas bagaimana besar kerugian yang dialami oleh negara? tahun 2010, kerugian negara akhir korupsi diperkirakan mencapai Rp. 2,1 triliun, tahun 2013 sebanyak Rp. 7,4 triliun, dan tahun 2016 kerugiannya yang terlaporkan akhir korupsi ialah Rp. 3 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak hanya menditeksi masalah korupsi hanya pada tingkat pemerintah sentra saja, tetapi selama tahun 2016, setidaknya terdapat 62 masalah korupsi yang terbukti menjerat sejumlah pemerintah tingkat desa dan negara mengalami kerugian sampai mencapai Rp. 18 miliar (merdeka.com, 2016).
Belum lagi soal korupsi E-KTP yang sampai kini masih diusut oleh KPK. Kasus korupsi berjamaah E-KTP ini tidak hanya merugikan negara secara materiil, tetapi secara manajemen dan psikis juga banyak merugikan rakyat kecil. Disinyalir ada sejumlah oknum politisi, pengusaha bahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang "ikut bermain" di dalam korupsi berjamaah identitas rakyat ini.
Korupsi sepertinya tak final dan masih menjadi "hantu" bagi negara ini. Ingatan kita tentu masih segar soal masalah BLBI beberapa waktu lalu. Setidaknya negara dirundung kerugian sampai Rp. 138,4 triliun. Jumlah itu bahkan melebihi kerugian akhir tragedi Tsunami Aceh di tahun 2004, yakni sebesar Rp. 42,7 triliun.
Seolah korupsi telah menjadi budaya birokrasi kita. Hasilnya terang banyak memengaruhi stabilitas ekonomi, politik dan sosial di Indonesia. Mau bukti? Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016 saja mengalami penurunan, dari yang sebelumnya sebesar 72,82 menjadi 70,09 saja. Salah satu penyebab penurunan IDI tahun 2016 ialah kurangnya tugas lembaga-lembaga demokrasi, khususnya di daerah. Birokasi negara ini nampaknya belum menandakan "kedewasaan" dan masih carut-marut.
Akhirnya, korupsi tak hanya terjadi di level nasional, namun juga terjadi sampai level desa. Apalagi, pemerintah rezim ini menawarkan Anggaran Dana Desa (ADD) yang besarnya menggiurkan. Selain memicu pesatnya pemekaran wilayah, kontrol terhadap pedoman uang rakyat tersebut juga terancam terbengkalai. Belum lagi korupsi yang dilakukan oleh oknum birokrat setingkat kabupaten/kota atau provinsi.
KPK begitu gencarnya melaksanakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu ini. Setidaknya publik tahu mengenai pemberitaan 7 kepala kawasan yang tersandung korupsi. Setelah OTT gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti beberapa waktu lalu, muncul lagi nama-nama koruptor yang berhasil diciduk oleh KPK dalam OTT-nya. Mulai dari Bupati Pamekasan Ahmad Syafi'i, Wali Kota Tegal Siti Masitha, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Suryadi dan gres beberapa hari ini pemberitaan masalah korupsi juga menjerat Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari.
Tampak bahwa edukasi pemerintahan dan pendidikan anti-korupsi kepala kawasan yang beberapa waktu kemudian digulirkan oleh pemerintah tak sesuai harapan. Deretan nama-nama tersebut bukanlah insan "kurang pandai" atau "manusia ceroboh", bukan. Deretan nama-nama itu ialah intelek semua, banyak pengalaman dan bahkan ada yang sudah menyabet gelar PhD. Pendidikan memang tak selamanya menjamin kepribadian insan berjalan sesuai kehendak Tuhan. Terkadang insan juga memberanikan diri untuk sengaja menerobos palang pintu hukum yang digariskan oleh Tuhan.
Selain pendidikan, tingkat pendapatan juga terlihat tidak besar lengan berkuasa sama sekali terhadap jumlah masalah korupsi di Indonesia. Kita bisa saksikan bahwa kebanyakan pelaku korupsi ialah mereka yang berpendapatan besar, bahkan sudah sanggup dikatakan kaya. Sungguh lucu apabila ada selentingan pemerintah yang ingin menaikkan honor profesional semoga terhindar dari perbuatan korupsi ini. Sebab, korupsi ialah soal kesempatan dan soal eksklusif setiap orang. Orang yang profesional sekalipun, apabila terdapat "kesempatan" boleh jadi ia bisa melaksanakan tindakan korupsi. Jangankan korupsi uang, mungkin ada dari kita yang terbiasa korupsi waktu.
Quo vadis negara Indonesia? Jika negaranya ialah sarang koruptor. KPK yang diejawantahkan sebagai "kucing" yang menangkapi "tikus" kini ada unsur kesengajaan digerogoti dari dalam dan diintervensi habis-habisan oleh Dewan. Beragam upaya dilakukan baik melalui hak angket sampai kini hendak digelontorkan hak meminta keterangan. Banyak masalah korupsi yang sengaja dikubur oleh sejarah bangsa ini, mereka tersimpan rapi sampai kini. Uniknya, bangsa Indonesia itu begitu sabar. Setiap hari mereka dimintai bunyi seraya diberi sekarung beras, namun di malam hari dicuri kembali dan mereka dengan renyahnya melontarkan senyuman kepada si pencuri itu di pagi harinya ketika si pencuri meminta maaf atas kelakuannya. Bangga sekali jadi rakyat Indonesia.(*) Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/