Thursday, July 6, 2017

√ Astaga! Ternyata Film G30s/Pki Mengandung Kejanggalan Menyerupai Ini


Memori wacana Gerakan 30 September yang disinyalir berpengaruh dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ternyata muncul kembali. Padahal, memori itu dalam beberapa rezim sempat terkubur dalam, meski tersisa histori secara tekstual dalam buku-buku sejarah Indonesia.

Peristiwa pahit dan dilumuri suasana cekam 1965 tentu memperlihatkan betapa peliknya mengupayakan perdamaian politik dan kemanan Indonesia ketika itu. Namun, tiada angin pun hujan, histori kebiadaban melebihi krisis Rohingnya itu sekarang diembuskan kembali. Entah isu, entah kenyataan, banyak kalangan menyebutkan bahwa di era pemerintahan Joko Widodo ini, bibit-bibit komunisme yang mengafiliasikan dirinya pada PKI kembali bermunculan. Entah ini hanyalah manuver-manuver politik, entah memang fakta disertai data yang akurat, tiada orang pun yang mengetahui.

Beberapa hari lalu, banyak sekali media memberitakan soal kejadian pengepungan terhadap aktivitas seminar di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Suasana semakin panas lantaran massa pengepung menyatakan bahwa di dalam gedung LBH telah berlangsung seminar PKI. Mengingat aroma PKI merupakan aroma yang memicu keamanan, abdnegara keamanan secara cepat melaksanakan pemantauan dan menangkapi sejumlah orang yang disinyalir telah melaksanakan tindakan anarkis.

Dari perkara tersebut, terdapat polarisasi massa, baik yang pro terhadap aktivitas seminar maupun yang kontra. Mapolda Metro Jaya padahal sudah menyatakan bahwa program seminar PKI itu hanyalah isu belaka. Menurutnya, isu yang ada terus berkembanh, adakala di media umum dan berupa hoax. Itu yang kemudian dijabarkan oleh orang-orang yang hanya mendapatkan informasi sepihak.

Hal yang senada juga disebutkan oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Idham Aziz. Menurutnya, di dalam gedung LBH tidak ada aktivitas yang sifatnya seminar PKI. Ia berharap semua pihak tetap menenangkan diri lantaran ia sendiri yang terus melaksanakan pemantauan program tersebut (detik.com, 2017).

Demikian bahayanya sekelibat kondisi keamanan dan kenyamanan menjadi genting di Indonesia. Padahal, katalisatornya hanya berupa isu. Makanan isu ini bukanlah hal gres terjadi di negara ini, malah secara historis pun, kejadian G30S/PKI 1965 pun banyak dipangkali oleh semerbaknya isu-isu regional yang berujung pada isu nasional.

Data historis juga terang tertuang apik dan kronologis mengenai isu yang berkembang menjelang bencana pembunuhan tujuh perwira tinggi 30 September 1965. Salah satunya yang diungkapkan dalam memoar kesaksian Dr. H. Soebandrio, seorang wakil perdana menteri I dan pernah menjadi menteri luar negeri Indonesia (ebook sanggup Anda baca di sini). Meskipun kurang menyakinkan, tetapi kesaksian tersebut selaras dengan buku John Roosa yang berjudul "Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" yang diterbitkan tahun 2008 dan diprakarsai serta diterjemahkan bersama Institut Sejarah Sosial Indonesia. Buku setebal 392 halaman itu memuat relatif detail mengenai permulaan situasi keamanan Indonesia hingga pasca pembantaian tujuh perwira dan berlanjut pada pembunuhan massal pasca G30S/PKI termasuk dalih-dalih apa yang dipakai dalam penangkapan masyarakat sipil yang diduga menjadi anggota PKI (ebooknya sanggup Anda baca di sini).

Soal data berapa korban kejadian G30S sendiri masih pro dan kontra. Ada bermacam-macam versi dan sejarah nasional pun tak menuliskannya secara pasti. Namun yang jelas, korban kebiadaban G30S sendiri termasuk dalam dongeng di film G30S/PKI berjumlah tujuh orang. Sejarah sendiri mencatat titik gentingnya Gestapu ialah tanggal 30 September 1965, demikian halnya dalam film era Orde Baru. Tapi sejarah ternyata disengajakan lupa ingatan, bahwa pembantaian massal dan banyak memakan korban termasuk rakyat kecil terjadi pasca G30S itu sendiri. Katalisatornya sama, yakni isu keanggotaan PKI. Siapapun dia, entah pejabat entah rakyat sipil, jikalau ada sangkut pautnya dengan PKI serta organisasi sayapnya, menyerupai Gerwani, maka tuduhan melakat infinit berujung hilangnya nyawa pun terjadi. Padahal, anomali penangkapan massal rakyat pengikut PKI banyak terjadi salah tangkap, kesaksian korban salah tangkap ini sanggup kita baca dan resapi dalam kesaksian alumni tapol 1965/1966 (ebooknya sanggup Anda baca di sini).

Rumitnya problem G30S/PKI justru mendesain kerangka fatwa banyak sekali kalangan masyarakat. Terlebih ketika ini masyarakat mulai lebih kritis menanggapi segala hal. Beberapa waktu lalu, dan hingga sekarang masih up to date ialah rencana Tentara Nasional Indonesia AD memutar kembali film berdurasi sekitar 3 jam 37 menit G30S/PKI produksi PPFN Jakarta (filmnya sanggup Anda saksisakan di sini). Menanggapi hal ini, panglima Tentara Nasional Indonesia AD sendiri menyebutkan bahkan menonton film tersebut disarankan (detik.com, 2017). Kebijakan tersebut mungkin bagus, meski di satu sisi justru akan berdampak jelek bagi stabilitas masyarakat, lebih-lebih para generasi muda. Layak atau tak layak, menonton film G30S/PKI itu perlu untuk pengetahuan wacana sejarah, meski imbas sampingnya justru sanggup menjadi peletup-peletup isu yang bahwasanya tidak benar. Pun, sanggup jadi kelak isu-isu itu berkembang ke atas kontestasi politik dan menjadi salah satu transportasi kekuasaan pada pemilu tahun 2019.

Dulu, anak seumuran bawang seringkali menonton film G30S, meski sekitaran tahun 1992 hingga rezim Orde Baru tumbang, frekuensi kebijakan wajib nonton sesekali menciptakan banyak sekali pihak merasa jenuh. Tak berpengaruh menyaksikan insan saling bunuh membunuh menyerupai itu. Rasanya sudah mulai jengah sekaligus jijik, ketika insan tega menyileti kulit insan bahkan memotong organ vital. Tontonan yang secara kontinu itu bertahap membuka kesadaran dan aspek kritis masyarakat bahwa apa yang ia saksikan pada layar lebar atau layar tabung tak lebih dari rekaan semata, lantaran penggrendelan pers di era Orde Baru begitu ketat. Tembok-tembok universitas seolah merupakan indera pendengaran yang siap mendengar dan membedil siapapun yang militan terhadap pemerintah.

Ciuman wangi pun semerbak dalam film G30S/PKI itu. Wong filmnya saja setengah bisu, sepanjang alur dan settingnya kurang tersinkronisasi dengan halus sehingga menjadikan tanda tanya tambahan, apa benar demikian?

Kesaksian Dr. Soebandrio dalam memoarnya juga menambah dugaan berpengaruh bahwa film G30S/PKI mengandung banyak residu-residu sejarah termasuk upaya-upaya pemutarbalikan fakta dan data. Menurutnya, film G30S/PKI lebih banyak mengutamakan operasi pembunuhan oleh PKI memakai palu dan arit, padahal sebagai menlu Soekarno ketika RRC menawarkan santunan sejumlah peralatan senjata untuk Indonesia, itu ialah senjata api, bukan palu dan arit. Soebandrio menawarkan sinyalemen berpengaruh bahwa data itu tak benar, lantaran bila memang PKI merupakan organisasi yang seutuhnya merupakan Dewan Jenderal ketika itu, pastinya kaum buruh dan petani PKI melaksanakan pembunuhan massal dengan senjata pemberian RRC. Namun di film, hanya simbol palu dan arit saja yang mencolok, contohnya pembantaian sejumlah jamaah ketika usai Sholat, para PKI membantai korban memakai palu dan arit. Soebandrio terang menawarkan instruksi bahwa PKI diejawantahkan secara simbolis saja dalam film, bukan pada kenyataannya.

Soebandrio juga mengkritik soal adanya Timor-Timur dalam peta yang dipakai dalam film itu. Hal senada juga dituturkan oleh sejarawan LIPI wacana adanya kesalahan peta dalam tayangan G30S/PKI.

Sejarawan LIPI juga mengkritisi soal deskripsi tokoh DN Aidit yang dalam film tersebut sebagai seorang perokok, kenyataan menurutnya, justru DN Aidit bukanlah seorang perokok, apalagi ruangan rapat bawah tanahnya penuh kepulan asap, ia menganggap penggambarannya tidak akurat. Untuk hal sesepele itu saja tidak akurat sehingga menjadikan anggapan bahwa data saksi matanya juga tidak akurat. Lah..apalagi soal penghambaran utamanya?

Lebih lanjut, sejarawan LIPI juga menyarankan biar film G30S/PKI tidak dipertontonkan pada anak-anak. Alasannya lantaran di dalamnya banyak terdapat agresi kekerasan dan pembunuhan serta anggapan jelek wacana tertara nasional yang ketika itu juga dikritisi oleh petinggi AURI, contohnya wacana keberadaan dan latar tempat dalam film di tempat Halim.

Mencokolkan kembali dongeng di balik film G30S/PKI sangat bahwasanya mempunyai dua sisi. Di satu sisi menjadikan banyak tanya soal keakuratan dan kebenaran data dan fakta sejarah wacana kejadian itu sendiri, di sisi lain justru semakin menguatkan pihak kontra Soeharto, lantaran di dalam tayangan film itu, Soeharto kok tidak masuk dalam salah satu sasaran penangkapan oleh PKI yang katanya menunggangi militer Indonesia ketika itu. Kemudian juga lebih pada dampak psikis para korban salah tangkap oleh pihak militer ketika itu yang justru tak dimasukkan dalam film. Inilah mengapa, hingga sàat ini di Indonesia itu, sop buntut informasi masih menjadi materi baku utama pemicu konflik, lebih-lebih dalam suasana jelang pemilihan penguasa, isu ialah materi bahar utama, kemudian agama menjadi bumbunya. Sedap bukan?. Itulah faktanya.
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/