Statistika Itu Tidak Rumit Dipahami, sumber foto: https://www.google.com/amp/s/ismimei.wordpress.com/2012/06/17/dear-matematika-dear-statistika/amp/
Suatu ketika, seorang bocah ingin membeli mangga pada seorang penjual mangga di pasar. Lama sekali, bocah itu memilah-milah mangga dalam sekeranjang mangga.
"Itu manis, Nak" kata penjual mangga.
"Ini satu buah harganya berapa, Pak?" Tanya si bocah sambil menyicip seiris mangga.
"Itu lima ribu saja."
Diketahui bahwa penjual mangga menyediakan 100 buah dalam keranjangnya. Semuanya manis. Tapi si bocah tetap saja memilah buah yang ingin ia beli.
Ternyata ia menentukan 5 buah mangga dengan ukuran yang cukup besar dari 100 mangga yang tersedia.
"Ini saja deh, Pak" kata si bocah.
"Baiklah."
Aktivitas statistika begitu gampang kita temukan. Kisah penjual mangga dan si bocah tadi salah satunya. Tanpa sadar, bergotong-royong ada dua konsep dan definisi statistika yang telah mereka terapkan.
Pertama mengenai populasi. Populasi merupakan sekumpulan objek berupa benda atau apapun yang terhimpun di suatu daerah tertentu. Objek itulah yang menjadi fokus perhatian kita (concern) sekaligus untuk menjadi sasaran penelitian. Sekeranjang mangga itu lalu disebut sebagai populasi. Karena jumlahnya diketahui ada 100 buah mangga, maka dikatakan bahwa jenis populasinya ialah populasi terbatas (finite population).
Dari tadi si bocah begitu usang memilah buah mangga. Itu menunjukkan kegiatan yang dalam statistika disebut sebagai survei. Kegiatan mengamati sebagian objek dari keseluruhan objek. Setiap mangga yang diamati oleh si bocah merupakan satu satuan unit objek dari seluruh objek. Dalam statistika, satu satuan unit itu disebut sebagai elemen populasi.
Kedua, menurut dongeng di atas, penjual mangga berkata bahwa mangga yang ia jual rasanya manis. Pernyataan inilah yang lalu menciptakan si bocah 'kepo'. Pada kondisi inilah ia ingin memastikan bahwa omongan penjual mangga memang benar. Ia lalu menyicip rasa dari seiris mangga. Aktivitas menyicip inilah lalu dikenal sebagai penyampelan atau mengambil sampel. Sampel ialah sebagian unit populasi untuk diamati atau diteliti.
Pernyataan dari penjual itu lalu dikenal sebagai hipotesis awal bagi si bocah. Lalu si bocah menentukan sambil menyicipi seiris mangga. Di sinilah kegiatan pengujian hipotesis awal.
Ho: rasa mangga manis
atau sebaliknya
H1: rasa mangga tidak manis
Ternyata kesimpulan si bocah menyatakan tidak cukup bukti untuk menolak pernyataan penjual mangga. Bahwa rasa mangga yang bagus memang benar adanya.
Dengan kepercayaan tertentu, si bocah bergotong-royong telah melaksanakan kegiatan statistika dari surveinya tadi. Bila pernyataan penjual mangga bahwa rasa mangganya bagus ialah parameter populasi, maka hasil ia menyicip seiris mangga itulah yang menghasilkan estimator. Jadi, survei menghasilkan estimator yang gunanya menduga parameter dari populasi.
Di akhir, si bocah membeli 5 dari 100 buah mangga yang tersedia. Inilah yang lalu disebut sebagai pengambilan keputusan atau kebijakan menurut survei.
Survei harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, bila si bocah salah memilih, kemungkinan ia akan tertipu oleh pernyataan penjual tadi. Antara estimator dan parameter jauh sekali. Kondisi inilah yang dalam statistika dikenal dengan istilah bias. Bias timbul lantaran teknik si bocah salah dalam mengambil mangga untuk dicicipi. Bias ini dikenal dengan bias sampling. Sedangkan bias yang ditimbulkan apabila si bocah melaksanakan kesalahan, contohnya ia menyicipi mangga bagus sesudah sebelumnya menyicipi kedondong, maka ini disebut bias disebabkan oleh nonsampling.
Sebetulnya, si bocah dapat menyicipi sejumlah mangga untuk lebih menyakinkan lidahnya. Sebab, semakin banyak ia menyicipi, semakin besar keyakinannya untuk mengambil keputusan membeli mangga atau tidak. Inilah mengapa sampel itu harus memenuhi aspek kecukupan.
Semakin banyak ia menyicipi pula, makin besar kemungkinan bahwa estimator sama atau mendekati parameter dari populasi mangga. Kesalahan teknis ia menyicipi akan mengecil. Inilah kondisi sampling eror mengecil. Namun, apabila sampel mangga yang ia cicip melebihi, justru akan memperumit rasa di pengecap si bocah untuk mengambil keputusan. Sebab, makin banyak sampel, semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan. Ini akan berdampak timbulnya kesalahan pengecap si bocah dalam menimbang-nimbang.
"Beneran ini manis? Kok yang ini rada asem dikit?" Gumamnya.
Inilah kondisi bahwa semakin besar sampel, semakin besar pula adanya kesalahan non-sampling eror.
Sebegitu mudahnya kita melaksanakan kegiatan statistik. Bermula dari penjual mangga dan seorang bocah, statistika bergotong-royong telah 'menyapa' kita bahwa pengambilan keputusan atau kebijakan itu harus berbekal dengan data. Tentu dalam hal ini yang dimaksud ialah data yang akurat.(*)