Macam-Macam Puasa yang Harus Kita Ketahui – AsikBelajar.Com | Sudah banyak artikel ilmiah dan penelitian ilmu pengetahuan terkenal yang membahas perihal kebaikan dari ibadah puasa. Sehubungan dengan itu ada baiknya kita mengetahui bermacam jenis puasa sebagai bekal dalam melaksanakan ibadah kita sehari-hari.
Puasa Wajib
- Puasa bulan Ramadhan
- Puasa Qadha
- Puasa Kafarat (membayar kafarat)
- Puasa seorang yang tidak bisa membeli binatang kurban pada haji Tamattu
- Puasa hari ketiga I’tikaf
- Puasa Nadzar
Puasa Mustahab (Sunat)
- Puasa tiga hari setiap bulan (Hijriyah)
- Puasa pada hari-hari putih (tiap tanggal 13, 14 dan 15 Hijriyah)
- Puasa pada hari al-Ghadir (18 Dzulhijjah)
- Puasa pada hari lahir Rasulullah saww. (17 Rabiul Awal)
- Puasa pada hari Kenabian Rasulullah saww. (27 Rajab)
- Puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah)
- Puasa pada hari Mubahalah (24 Dzulhijjah)
- Puasa pada hari Kamis dan Jumat
- Puasa pada tanggal 1 – 9 Dzulhijjah
- Puasa pada hari pertama dan ketiga bulan Muharram
- Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang diharamkan dan dimakruhkan berpuasa di dalamnya. (Taudhih al-Masail, problem 1748)
Puasa Makruh
- Puasa sunat yang dilakukan seorang tamu tanpa seijin tuan rumah, atau Tuan rumah melarangnya berpuasa.
- Puasa seorang anak (yan belum berilmu baligh) tanpa seijin ayahnya dan puasa itu akan membahayakan dirinya.
- Puasa seorang anak yang tidak boleh ayahnya berpuasa, walaupun puasanya itu tidak akan membahayakan dirinya.
- Puasa seorang anak yang tidak boleh ibunya berpuasa, walaupun bila puasa itu dilakukan tidak akan membahayakan dirinya.
- Puasa hari Arafah bagi orang yang bila ia puasa akan menyebabkan badannya lemah, sehingga tidak bisa membaca doa.
Puasa yang Diharamkan
- Puasa pada Hari Raya Idul Fitri
- Puasa pada Hari Raya Idul Adha
- Puasa pada hari ketiga puluh bulan Sya’ban dengan diniatkan sebagai bab dari Puasa Ramadhan (ketika ia syak bahwa hari itu yaitu selesai Sya’ban atau awal Ramadhan)
- Puasa pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah)
- Puasa tidak bicara (bila tanpa niat tertentu, tidak apa-apa)
- Menyambung puasa, baik satu hari satu malam atau lebih. (Namun perbuatan mengakhirkan berbuka puasa hingga menjelang sahur atau hingga malam kedua tidaklah mengapa, bila tanpa niat tertentu).
- Menurut ihtiyat wajib, seorang isteri tidak boleh melaksanakan puasa sunat (mustahab) tanpa seijin suaminya, bila hal itu akan mengurangi hak suaminya. Sama halnya apabila suaminya melarangnya berpuasa. (Risilah Nuwin, jilid I hal 183 – 184 atau Tahrir al-Wasilah jilid I hal. 300 – 304)
Puasa Seorang Musafir (Orang yang bepergian)
Ukuran Jarak Safar
Ukuran jarak Safar yang mengharuskan seseorang membatalkan puasa dan mengqashar shalatnya ialah 8 farsakh (sekitar 45 km), baik ditempuh untuk pergi saja atau pulang- pergi (dengan syarat, jarak yang ditempuh untuk pergi tidak kurang dari 4 farsakh atau 22,5 km), juga baik pulang-pergi tanpa berhenti ataupun diselingi berhenti pada suatu tempat selama satu malam atau beberapa malam yang kurang dari sepuluh hari.
- Seorang yang pergi sejauh tiga farsakh dan pulang lima farsak, maka ia tidak boleh membatalkan puasa dan shalatnya harus tepat (Risalah Nuwin jilid I hal 193 atau Tahrir al-Wasilah jilid I halaman 248)
- Seseorang yang pergi sejauh lima farsakh dan pulang tiga farsakh, maka ia harus membatalkan puasa dan mengqashar shalatnya. (Risalah Nuwin jilid I hal 193 atau Tahrir al-Wasilah jilid I hal. 248)
- Perjalanan safar sejauh 8 farsakh (sekitar 45 km) dengan jalan yang berputar yang sesungguhnya akan bergerak ke titik B, sanggup membatalkan puasa dan mengharuskan qashar shalat walaupun belum hingga pada titik B, dengan syarat perjalanannya itu telah melampaui 4 farsakh hingga hingga ke tempat kerja/kantor. Namun bila jarak tempat bekerja seseorang tidak mencapai 4 farsakh, berdasarkan Ihtiyat Mustahab, seseorang hendaknya melaksanakan shalat qashar dan shalat tamam (sempurna).
(Risalah Nuwin, jilid I hal. 194 atau Tahrir al-Wasilah jilid I hal. 249)
Seseorang yang bepergian sebelum waktu dzuhur dari tempat tinggalnya dan telah kembali ke tempat tinggalnya pada waktu dzuhur hari itu juga, maka bila perjalanannya itu dilakukan secara berkali-kali alasannya yaitu tempat kerja yang jauh, apakah ia harus berpuasa atau tidak?
Dalam hal ini seseorang boleh tidak membatalkan puasanya. Bila datang kembali di kampung halamannya sebelum masuk waktu dzuhur, maka ia sanggup berniat puasa dan puasanya sah. (Risalah Nuwin, jilid I hal. 195)
Salah satu syarat yang mengharuskan membatalkan puasa dan mengqashar shalat ialah safar (bepergian) yang bukan sebagai pekerjaan (rutinnya), tidak sebagaimana pedagang yang senantiasa berkeliling, penggembala, supir, kapten dan awak kapal, pramugari pesawat terbang, kereta api dan kapal bahari serta pengembara yang safar mejadi rutinitas mereka. Oleh alasannya yaitu itu, mereka semua harus berpuasa dan menyempurnakan shalatnya (tamam). (Risalah Nuwin, jilid I hal. 195)
Jika seorang musafir (baik perjalanan antar kota biasa atau dari satu daerah ke daerah lain yang berada di kota besar menyerupai Jakarta) yang dalam perjalanannya melalui/melewati tempat tinggalnya, kemudian bermaksud pergi lagi sejauh 8 farsakh, maka ia harus meng-qashar shalatnya.
Yang dimaksud dangan tempat tinggal yaitu tempat kelahiran atau tempat yang telah dipilihnya untuk tinggal menetap walaupun di tempat tersebut tidak harus ada rumah pribadi, atau tempat yang telah ditinggalinya selama 6 bulan. Tetapi bagi seseorang yang hendak menetapkan suatu tempat sebagai tempat tinggal, haruslah ia tinggal beberapa waktu di sana sehingga secara ‘urf (kebiasaan umum) dikatakan bahwa tempat itu yaitu tempat tinggalnya. (Risalah Nuwin, jilid I hal. 196 atau Tahrir al-Wasilah, jilid I hal. 257).
Apakah keputusan (hukum) seorang Hakim Syar’i perihal melihat hilal berlaku juga untuk kota-kota/daerah-daerah yang jauh dan tidak seufuk?
Keputusan (hukum) seorang Hakim Syar’i berlaku bagi kota-kota/daerah-daerah yang satu ufuk atau kota-kota yang bersahabat dengannya dan kota-kota/daerah-daerah yang terletak di sebelah timur kota yang terkena hukum. (Risalah Nuwin, jilid I hal. 182)
(Diolah dari banyak sekali sumber)
Sumber https://www.asikbelajar.com