Berita kelangkaan garam baru-baru ini menyita perhatian nasional. Indonesia yang pada kenyataannya memiliki garis pantai terpanjang kedua dunia, sekarang harus menderita 'gondok' akhir harga garam konsumsi merangkak naik. Hal ini juga menjadi perhatian serius pemerintah. Apalagi jikalau dikaitkan dengan kesepakatan mencapai swasembada pangan dan mengontrol harga pangan.
Dirjen Penataan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga menyebutkan bahwa stok garam nasional ketika ini mengalami penurunan. Penurunan ini dikatakannya disebabkan oleh penurunan jumlah tonase panen para petani garam, khususnya garam rakyat alias garam konsumsi.
Menurut data KKP (29/07/2017) yang ditulis oleh harian Republika.co.id, dari Mei sampai masuk bulan Juli, produksi garam secara nasional hanya sebanyak 6.200 ton. Angka tersebut dikatakan merosot tajam dari biasanya untuk sekali panen per bulan, yakni 166.000 ton garam.
Sinyal penurunan garam secara nasional ini sebenarnya sudah terjadi tahun 2016. Di mana total produksi garam nasional hanya sekitar 137.000 ton, dan khusus untuk garam rakyat sekitar 112.000 ton. Dampak penurunan kian membesar menjelang 2017.
Kabar gembiranya, meski terdapat anggapan terdapat potensi besar produksi garam rakyat lantaran garis pantai Indonesia ini panjang (sekali), herannya pemerintah berencana melaksanakan impor garam sekitar 220.000 ton untuk memenuhi kebutuhan selama Januari sampai Maret kemarin. Belum usang juga, undangan garam ternyata terus meningkat. Ndilalah, kemarin pemerintah mengeluarkan pernyataan gres lagi terkait impor garam.
Apa itu? Pemerintah ingin mengimpor garam sebanyak 75.000 ton dari Australia. Mendengar kabar bangga dan mencengangkan ini menciptakan seorang anak terlibat perbincangan renyah dengan bapaknya.
"Anakku...65% luas wilayah negeri ini yaitu laut..."
Lantas anaknya bertanya,"lha? Kok masih impor garam?"
Ternyata si anak ini kritisnya bukan main.
'Ayah' kemudian berdalih bahwa tidak semua wilayah garis pantai itu sanggup dipakai untuk memproduksi garam. Sinyal 2016 sudah mengatakan penurunan produksi garam nasional tak hanya diakibatkan oleh fenomena La Nina, tetapi petani garam kita masih memakai sistem tradisional. Bukan teknologi modern.
'Ayah'nya juga menambahkan bahwa berdasarkan Guru Besar Teknik Kimia UI, Prof. Misri Gozan, sistem tradisional menyebabkan produksi garam rakyat kita tidak berkualitas, belum lagi terhalang oleh faktor cuaca. Lahan yang sudah disiapkan untuk produksi garam, tiba-tiba hujan turun deras, maka proses lahan memproduksi garam harus diulang dari awal.
'Ayah' juga menjelaskan bahwa katanya Prof Misri, garis pantai terpanjang pun bukan syarat cukup semua lokasi pantai sanggup dipakai untuk lahan produksi garam. Sebab, gelombang harus dipastikan tidak terlampau tinggi dan kadar lumpur juga normal. Tak terlalu tinggi. Ini yang menyebabkan kualitas garam yang dihasilkan kurang berkualitas.
Lalu anaknya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Terima kasih ayah, kelak saya akan jadi pengusaha garam di negeriku yang tercinta ini," pungkas si anak.