Sunday, August 20, 2017

√ Ipm Tinggi, Betulkah Pendidikan Membaik?


Sekolah Tanpa Meja dan Kursi, sumber foto: https://www.bantuanhukum.or.id/web/tag/sekolah/

Pendidikan merupakan salah satu instrumen memutuskan jaring-jaring kemiskinan. Pendidikan menjadi tool tangguh pada waktu kondisi masyarakat mengalami keterpurukan ekonomi, konflik sosial, sampai stagnansi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Di Indonesia sendiri, pendidikan merupakan salah satu aspek utama pemerintah sentra sampai kawasan untuk memberantas kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan ekonomi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia terus mengalami peningkatan seiring dengan bergulirnya kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo. IPM Indonesia per 2016 telah mencapai 70,18 dan ini memperlihatkan bahwa hasil pembangunan infrastruktur sedikit banyak telah dirasakan oleh masyarakat Indonesia. IPM memang didefinisikan sebagai indikator output pembangunan dan menjelaskan bagaimana masyarakat sanggup mengakses hasil pembangunan sebagai penunjang pendapatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan serta aspek lainnya. Angka 70,18 ini sudah tentu memperlihatkan besarnya manfaat yang didapatkan oleh masyarakat secara menyeluruh, terutama di bidang pendidikan.

Telah kita ketahui bersama, bahwa yang ternyata masih bermasalah di Indonesia ini ialah aspek pendidikan. Hari Pendidikan Nasional yang biasa diselenggarakan setiap tahunnya relatif tak bisa memberi kesadaran kepada seluruh komponen bangsa intens terhadap pendidikan. Bila kita perhatikan, sedemikian banyaknnya bawah umur yang terlantar, dieksploitasi bahkan diperdagangkan. Pendidikan dinilai belum bisa memperlihatkan pemahaman kepada siswa, terutama nilai-nilai dasar di dalam melaksanakan kiprahnya sebagai suatu bangsa dan bernegara. Buktinya? Tak sedikit kita dengar ihwal tragedi pemuda-pemuda Indonesia yang notabene mempunyai kecerdasan dan keahlian justru menentukan untuk melaksanakan tindakan makar kepada negara ini.

Pendidikan Indonesia juga dinilai gagal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mendewasakan para pemangku kebijakan publik di negara ini. Sebagai bukti nyatanya, betapa sering kita amati tontonan para wakil-wakil rakyat yang bertikai, berkelahi mulut, bahkan saling berkelahi pukul di layar beling teve. Ini memperlihatkan bahwa pendidikan sekolah merupakan formalitas untuk mencapai suatu kedudukan dalam negara, tak bernilai signifikan terhadap moralnya sesudah menduduki suatu jabatan tertentu. Pun, kegagalan pendidikan menyerupai demikian memperlihatkan bahwa parangkat negara ini masih tak serius dalam memahami dan mengimplementasikan Nawa Cita dan jargon Revolusi Mental Presiden Joko Widodo sendiri. Ini merupakan sebuah kepincangan, bahwa pemerintah sendiri tak sanggup mengaplikasikan pendidikan moral dan Pancasila yang pada kurikulum dulu diajarkan ketika mereka masih sekolah.

Bila terdapat problem pendidikan, maka begitu besar memperlihatkan efek multiplier terhadap sendi-sendi kehidupan. Memang diakui, bahwa sampai ketika ini pemerintah masih berfokus pada pembangunan infrastruktur. Bukan pada bagaimana melaksanakan peningkatan kualitas tenaga pendidik serta perbaikan kurikulum yang baku serta sempurna sasaran. Sebagai teladan di Maluku Utara saja, hasil survei nasional terhadap guru menempatkan kualitas tenaga pendidik (guru) di Maluku Utara masih tertinggal atau sangat rendah. SDM sudah tersedia, seharusnya tinggal memoles saja sedemikian rupa sehingga kualitas guru semakin baik. Namun kenyataannya, nasib guru mengalami stagnan, sesudah sertifikasi, sudah, selesai. Tak ada kualifikasi serta training yang khusus diperuntukkan, terutama bagi tenaga pendidik di kawasan pelosok dan perbatasan.

Kondisi pendidikan Indonesia, meskipun kenyataannya IPM tinggi, tidak menjamin adanya kausalitas linier antara keduanya. IPM yang tinggi hanya memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat telah menikmati hasil dari pembangunan. Kendati demikian, pertanyaan yang muncul selanjutnya justru siapa yang menikmati pembangunan itu? dan dimanakah masyarakat yang menikmati hasil pembangunan itu?.

Kedua hal ini tentu perlu jawaban, dan terperinci soal siapa yang menikmati dengan naiknya IPM 70,18 itu ialah masyarakat menengah ke atas. Masih ditemukannya beberapa kebijakan pemerintah yang salah target di kawasan memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam membangun regulasi serta pengawasan terhadap sanksi kebijakan itu sendiri. Distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP) di beberapa kawasan masih belum merata, termasuk pula Kartu Indonesia Sehat (KIS) juga tak banyak masyarakat yang mendapatkannya.

Kemudian, dimanakah masyarakat yang menikmati hasil pembangunan. Sudah barang tentu, ketidakmerataan pembangunan menjadikan proporsi masyarakat di kawasan perkotaan merupakan pihak yang lebih banyak didominasi menikmati hasil pembangunan pemerintah itu. Hal ini sudah sepatutnya menjadi perhatian pemerintah sentra dan daerah. Kualitas suatu bangsa dilihat dari seberapa besar kualitas pendidikannya. Dan kualitas pendidikan itu harus ditopang oleh beberapa hal, yaitu bangunan infrastruktur yang memadai serta layak pakai, tenaga pendidik yang berkualitas serta mempunyai kemampuan teknis atau aplikasi, dan jangan lupa, pemerintah juga perlu menata ulang secara sungguh-sungguh soal kurikulum pendidikan itu sendiri.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/