Thursday, August 10, 2017

√ Kewajiban Pakai Rupiah Tak Pengaruhi Jumlah Wisatawan Ke Indonesia

Kebijakan sektor moneter Indonesia kali ini sedikit terabaikan media. Padahal, tanpa adanya kebijakan moneter yang baik, tentu perekonomian nasional akan mengalami shock dan berujung pada instabilitas perekonomian. Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban memakai uang rupiah untuk seluruh transaksi keuangan di Indonesia. Peraturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor  17 Tahun 2011 ihwal mata uang dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015.

Seringnya rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang absurd memang salah satunya disebabkan oleh kurangnya penggunaan rupiah dalam transaksi keuangan, baik pembayaran atau penyelesaian keuangan baik secara tunai maupun non-tunai. Belum lagi kebijakan perdagangan internasional yang mau tidak mau harus memakai uang asing, ibarat ekspor dan impor.

Namun, peraturan BI tersebut dinilai merupakan peraturan 'karet' alasannya ialah masih terdapat kelonggaran-kelonggaran sebagai pembiasaan terhadap jenis transaksi keuangan. Misalnya untuk transaksi transfer atau hibah internasional atau transaksi pembiayaan internasional masuk dalam pengecualian tersebut. Adanya pengecualian tersebut merupakan konsekuensi logis adanya policy finansial nasional.

Apabila seluruh transaksi keuangan di dalam negeri memakai rupiah, maka kekuatan rupiah terhadap mata uang absurd sejenis dollar akan terjaga. Tetapi, konsekuensinya secara eksklusif indonesia akan merugikan pihak absurd yang bertransaksi di Indonesia. Sebab, mereka harus mengkonversikan seluruh uangnya dalam rupiah. Bila diamati, kebijakan penggunaan rupiah sebagai instrumen transaksi tersebut merupakan wujud intervensi yang berbasis pada nasionalisme atau cinta rupiah sekaligus untuk melindungi nilainya terhadap mata uang asing.

Kebijakan mengenai kewajiban penggunaan rupiah tersebut tentunya menimbulkan banyak sekali respon, contohnya saja di sektor pariwisata nasional. Sejak bergulirnya peraturan BI per 1 April 2015 lalu, terdapat banyak sekali anggapan yang...sebenarnya kurang relevan dengan kondisi realita yang ada. Harian Kompas (29/06/2015) menyebutkan "Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat jumlah kedatangan wisatawan mancanegara turun pasca PBI 17/2015 berlaku pada 31 Maret 2015. Jumlah kunjungan wisatawan absurd pada April hanya 749.882 orang, turun dari sebulan sebelumnya yang mencapai 789.596 orang."

Jika ditelisik lebih jauh, kebijakan bergulir 1 April, namun Kompas memakai data jumlah kunjungan wisatawan bulan April terhadap bulan Maret. Hal tersebut perlu dianalisis lebih lanjut, alasannya ialah kalau jumlah kunjungan wisatawan bulan April terhadap Maret terjadi penurunan, namun, jumlah kunjungan wisatawan bulan Mei terhadap bulan April justru meningkat, yaitu dari 749.882 menjadi 793.499 atau naik sekitar 6 persen. Artinya, belum sanggup dikatakan bahwa sanksi kebijakan penggunaan rupiah dalam transaksi keuangan di Indonesia berimplikasi negatif terhadap jumlah kunjungan wisata ke Indonesia. Kebijakan gres saja diputuskan eksklusif berefek pada jumlah kunjungan wisata. Bisa jadi, penurunan jumlah wisatawan bulan April merupakan penurunan yang lumrah dan disebabkan oleh fenomena lainnya, bukan akibat policy BI mengenai kebijakan keuangan.

Mestinya, efek suatu kebijakan, apalagi merupakan kebijakan 'karet' dianalisis dalam jangka panjang, khususnya terhadap jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia yang notabene memakai uang asing. Dengan demikian, perlu keterhati-hatian dalam memakai serta mengaitkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan fenomena perekonomian yang dikaitkan dengan pemberlakuan suatu kebijakan.
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/