Semenjak SMK, keahlian bergaul Saya tidak pernah meningkat. Sulit rasanya untuk berkenalan dengan orang baru, apalagi ngobrol lama-lama dengan mereka.
Selama itu, Saya tidak pernah melaksanakan basa-basi pengakraban pada siapapun; jikalau punya sesuatu untuk dibicarakan, Saya bicara. Tapi jikalau tidak ada … ya diam.
Tidak di sekolah, tidak di rumah; sama saja begitu.
Kadang-kadang orang bau tanah Saya murka dengan perilaku ibarat ini. Tapi gimana, ya … ini kan bawaan. Seringkali, mungkin ini durhakanya Saya, ketika mereka murka Saya pergi tutup telinga.
Cinta tenang sekali.
Tapi belakangan, Saya merasa bahwa perilaku ibarat ini ialah salah. Semacam merasa jenuh berdiam sendirian di pojok kamar tanpa melaksanakan interaksi dengan insan nyata.
Pada hakikatnya memang Saya introvert, tapi juga zoon politicon; insan sosial yang butuh bertatap muka, bukan hanya bertatap layar saja.
Pedagang Kaki Lima itu Ksatria
Setelah sekian usang mencoba meng-ekstrovert-kan diri, kesannya bertahap Saya mulai berubah. Ada semacam rasa ingin tau terhadap diri orang lain. Terutama pada orang-orang yang, kelihatannya, senang sekali …
… padahal jikalau dinilai secara profesi, mereka sedang susah berjuang lebih keras dari orang lain; merekalah pedagang kaki lima.
Saya jadi senang ngobrol dengan mereka-mereka. Mulai dari bertanya, “Dari mulai kapan dagang ibarat ini?” sampai, kadang-kadang, bertanya keadaan keluarga dan impian ke depannya mau ibarat apa.
Entah, Saya merasa mereka asik sekali jikalau diajak ngobrol. Semacam memancarkan aura super saiyan yang menyengat-nyengat semangat.
Jujur, Saya selalu kagum dengan orang-orang yang berjuang lebih untuk hidupnya. Daripada mereka yang naik kendaraan beroda empat glamor tapi tidak punya kepedulian lebih.
Masuk Kuliah Diceramahi
Setelah sedikit membiasakan diri ngobrol dengan pedagang kaki lima, ketika kuliah juga Saya diceramahi oleh seseorang yang Saya jadikan role model dalam berbicara di depan umum.
Dia berkata, “Jadilah orang yang asik. Ketika diajak ngobrol A nyambung, ngobrol B, nyambung. Banyak kenalan dan pencair suasana.”
Kurang lebih ibarat itu.
Saya terinpirasi dari kata-kata ia hingga hari ini, meskipun dalam prakteknya amat sulit dilakukan. Dengan menjadi orang asik, itu berarti Saya harus lebih banyak mencari info biar nyambung dengan dialog apapun.
Bukankah begitu?
Panjang Saya berkontemplasi, memikirkan cara mudah yang sangat mungkin untuk dilakukan untuk menjadi orang asik tanpa harus mencari info ihwal sesuatu yang, sebenarnya, kurang Saya minati.
Aktif Bercanda
Cara yang Saya temukan kemudian ialah … dengan memperbanyak porsi bercanda, baik itu di dunia kasatmata maupun di dunia maya …
… yang penting lawan bicara Saya, siapapun itu, senang ketika berada di dekat Saya.
Banyak hal yang Saya lakukan ketika membercandai orang lain, mulai dari plesetan kata hingga menjawab pertanyaan dengan diksi yang tidak nyambung tapi disambung-sambungkan.
Mempelajari Manusia
Ini bab menariknya.
Terinspirasi dari satu perkataan saja, “Jadilah orang asik.” Saya berubah jadi orang yang senang sekali membaca orang lain, meskipun dengan terbata-bata.
Buku-buku mengenai korelasi Saya baca. Di antaranya buku Bagaimana Mencari Kawan dan Memengaruhi Orang lain karya Dale Carnegie dan bukunya John Gray, Ph. D. Men Are From Mars, Women Are From Venus.
Jadilah kemudian Saya perhatian terhadap semua orang, mengawasi gerak-geriknya, busana, cara bicara, status, dll. kemudian menyesuaikan cara bicara Saya dengan mereka.
Di posting-posting sebelumnya, kan, sudah Saya katakan ihwal teknik mirroring dalam berinteraksi dengan orang lain. Nah, itulah salah satu hasilnya.
Selain itu juga, kan, Saya dokter curhat.
Bener, kan? Benerin aja, deh.
Sumber https://satriabajahitam.com