Saturday, June 23, 2018

√ Kata Pendaki Lawas Wacana Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu


– Naik gunung zaman dahulu itu penuh perjuangan. Mau nanjak ke Semeru aja, kayak kini pengen jalan-jalan ke Raja Ampat – Rajin Pangkal Pandai (Aka. Bunder)



Beruntunglah kau yang kini bisa menikmati gunung dengan begitu mudahnya (meski tetap butuh perjuangan, setidaknya kini lebih mudah, akuilah). Tidak ibarat zaman dahulu, ketika mendaki gunung ialah hobi yang ‘berat’ karena minimnya kanal pengetahuan, peralatan, dan uang.


Keterbatasan alat pendakian


Kamu yang kini hobi naik gunung, alat apa aja  yang sudah kau miliki? Ransel (carrier), sepatu gunung, tenda, sleeping bag, headlamp? Kalaupun belum punya semua alat itu, paling nggak kau bisa menyewa. Toh kini banyak banget persewaan alat gunung.


Dahulu, nggak banyak toko yang menyewakan alat gunung. Mau membeli pun nggak mampu. Karena harganya yang sangat mahal. Paling mentok ya sewa. Seringnya sih pinjam teman. Saling pinjam meminjam alat gunung sudah jadi hal yang wajar.


Tenda pramuka, ransel, dan SB menjadi gears andalan


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Jangan tanyakan ke-safety-an. Peralatan gunung yang minim menciptakan pendakian jauh dari kata aman. Hanya berbekal ransel alpina proteksi teman, tenda pramuka, dan SB, para pendaki lawas menjejakan kaki di tengah belantara.


Ransel Alpina jadi idola


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

foto berasal dari kaskus


Belum ada ransel dengan back system yang baiklah senyaman osprey. Atau tenda seringan tenda ultralight naturehike. Dulu, Ransel Alpina jadi idola. Bagian pinggang terbuat dari besi dengan tali yang tebal.


Bisa bayangkan kan, betapa beratnya menggendong ransel yang berisi logistik dan kebutuhan pribadi dikala mendaki? Tapi, pendaki lawas sangat menikmatinya, tidak mengeluh, bahkan bersyukur bisa naik gunung.


Pendaki bersepatu caterpilar jadi pendaki yang paling keren


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

foto berasal dari sini


Sekarang pun masih ada beberapa pendaki yang pakai sepatu Caterpilar. Mungkin mereka salah satu pendaki lawas yang setia dengan Caterpilar.


Kalau kau perhatikan, pada ujung sepatu Caterpilar terdapat besi sebagai penahan. Nah, semoga nggak sakit dikala mendaki, besi tersebut diambil.


Kalau nggak bisa beli Caterpilar, sepatu kasogi hunter jadi pilihan. Jadul banget kan? Tapi banyak juga lho yang pakai sandal jepit. Saking pengin mendaki tapi nggak bisa beli sepatu. Lhah sekarang, ada yang punya sepatu, eh mendaki pakai sandal jepit. Serba kebalik ya.




Baca juga:





Minim pengetahuan, saling bertukar pengalaman jadi sumber informasi


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Perjuangan mendaki masih belum berakhir. Kurangnya pengetahuan menjadi tantangan. Saling menyebarkan pengalaman antar sesama pendaki jadi salah satu sumber informasi.


Buku catatan ialah barang terpenting selain tenda, sepatu, sb, atau jaket. Semua isu seputar gunung tercatat rapi di dalamnya. Termasuk nama teman, tempat asal, dan nomor telepon (bila punya).


Memang nggak gampang dan cenderung ribet sih. Tapi, justru dalam keterbatasan para pendaki lawas jadi sangat bersahabat satu dengan lainnya.


Nggak punya handphone, susah untuk berkomunikasi


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Pernah ada yang posting di facebook wacana susahnya cari partner pendakian yang asik. Sama, dulu juga sulit sanggup sahabat mendaki. Tapi, sesulit-sulitnya cari sahabat pendakian, paling tidak kini sudah ada facebook, twitter, dan instagram yang selalu ada untuk membantu.


Tidak ibarat dulu, sahabat pendakian dikenal dikala ketemu di gunung atau basecamp. Ngobrol dan kenalan secara langsung.


Mau janjian nanjak bareng pun susah. Ah, boro-boro facebook, handphone 3315 aja nggak punya. Nggak ada gadget canggih untuk komunikasi.


Salah satu caranya dengan kopdar alias kopi darat. Saling menyepakati kapan dan dimana akan naik gunung bareng. Harus selalu menepati janji. Sekali saja ingkar, bakal jadi bulanan-bulanan dan nggak dipercaya pendaki lain.


Akses transportasi pun masih sulit


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Naik bus jadi transportasi yang cukup mewah. Mereka yang punya budget lebih, akan menentukan naik bus. Sedangkan mereka yang naik gunung dengan uang pas-pasan, nebeng kendaraan beroda empat kolam terbuka jadi pilihan. Bahkan, bila nggak menemukan kendaraan beroda empat tebengan, pendaki lawas ini rela jalan kaki berkilo-kilo.


Uniknya, cara mereka tahu kendaraan beroda empat kolam tersebut menuju ke kota mana ialah dengan menghafalkan plat nomor kendaraan. Misalnya, dikala ingin naik gunung Lawu, ya mereka harus nunggu kendaraan beroda empat dengan nomor polisi AD XXXX D.


Jalanan menuju basecamp belum semulus sekarang, bergelombang


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Bayangkan saja, ketika menuju basecamp Gunung Merapi, pendaki lawas harus jalan kaki lho. Kalau kau pernah naik Gunung Ungaran, pendakian dimulai dari Jimbaran kemudian berjalan kaki menuju basecamp mawar!


Itu gres hingga basecamp lho, gres pemanasan. Belum mulai pendakian. Benar-benar pejalan tangguh kan? Kalau sekarang, kita bisa naik motor hingga basecamp. Nggak capek dan nggak butuh waktu lama.


Mie instan dan kopi menjadi logistik wajib


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Pilihan sajian begitu terbatas. Meski mie instant kurang baik untuk kesehatan, tapi mie instan sangat mudah dan murah. Uang 5.000 rupiah bisa membeli 10 bungkus indomie. Nasi dengan lauk sarden sudah menjadi sajian makanan yang mewah.


Belum ada kompor lapangan berbahan gas, yang ada hanya kompor parafin yang baunya menyengat banget. Kadang, indomie rasa ayam berubah rasa jadi indomie rasa parafin. Pahit.


Selain bau, kompor ini nggak bisa diajak santai. Parafin menghasilkan api yang besar, nggak bisa dikecilkan. Kalau nggak pinter-pinter mengaplikasikannya, masakanmu bakal gosong.


Untuk persoalan dokumentasi, pendaki lawas pakai tustel


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

Foto berasal dari sini


Tahu nggak tustel itu apa?? Kalau kau tahu artinya, berarti kau sudah cukup jadul. Hehheehe.. Istilah tustel dipakai untuk menyebut kamera atau alat potret. Kamera jenis ini masih memakai roll film. Satu roll berisi 36.


Pendaki lawas mendokumentasikan pendakian memakai tustel. Nggak bisa selfie berkali-kali. Sayang banget kan, masak harga roll yang mahal dan hanya berisi 36 habis cuma buat selfie? Oiya lupa, dulu kan belum kenal selfie.


Selain harga roll film mahal, biaya cetaknya juga bikin kantong kering. Nggak heranlah, jikalau banyak foto yang belum dicetak. Maka dari itu, pendakian zaman dahulu sangat minim dokumentasi.


Jaket penuh emblem jadi bukti sebagai bukti telah mendaki di banyak sekali gunung


 Naik gunung zaman dahulu itu penuh usaha √ Kata Pendaki Lawas Tentang Sulitnya Pendakian Zaman Dahulu

foto berasal dari sini


Salah satu bukti konkret jikalau sudah pernah naik gunung ialah emblem di kemeja lapangan. Tahu lagunya Rita Rubi? Dalam liriknya dituliskan “jaketmu penuh dengan lambang kegagahan”.


Yup, betul banget. Setiap turun gunung, pendaki lawas tidak lupa membeli kenang-kenangan berupa emblem, stiker, dan gantungan kunci. Semakin banyak emblem, makin jadi bukti jikalau pendaki tersebut sudah mendaki banyak sekali gunung.


Selain emblem, cara mengetahui jikalau beliau pendaki ialah stiker di pintu rumah. Kalau banyak stiker gunung, beliau niscaya pendaki. Kalau kini ciri khas pendaki ialah banyaknya foto pendakian di galeri instagramnya. Ya meski cuma mendaki di bukit sih.


***


Artikel ini dibentuk menurut pengalaman rekan pendaki senior saya sekitar tahun 1990-an, orang mengenal pendaki senior ini dengan sebutan Rajin Pangkal Pandai atau Bunder. Dari pengalaman yang diceritakan Mas Bunder, sudah seharusnya kita lebih bersyukur dengan fasilitas pendakian kini dengan elajar lebih menghargai alam lagi.



Sumber https://phinemo.com