Setelah diambil alih oleh provinsi, nasib Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) SMA/SMK semakin tidak jelas. Sebagai salah satu contohnya, di Kabupaten Sukoharjo, para GTT dan PTT mengeluh dan menuntut kejelasan nasibnya, terutama mengenai kesejahteraan mereka ke DPRD Sukoharjo.
Mereka memang sempat mendengar informasi bahwa sesudah diambil alih provinsi, GTT/PTT akan digaji sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun informasi yang mereka terima kemudian, bahwa PTT menjadi tanggung jawab sekolah lagi. Malah muncul wacana, PTT akan dibayar dengan dana BOS, padahal dana BOS hanya sanggup dipakai sebanyak 15 persen.
Dalam audiensi tersebut, Ketua GTT-PTT SMA/SMK Negeri Sukoharjo, Joko Novianto mengatakan, persoalan honor juga dialami GTT. Mereka bisa mendapat upah sesuai UMK dengan dua syarat. Yakni sesuai dengan latar belakang pendidikan dan mempunyai jam mengajar selama 24 jam selama satu minggu. Masalahnya, tidak semua GTT mempunyai kesempatan untuk mengajar selama 24 jam alasannya bertabrakan dengan guru PNS.
Oleh alasannya itu, mereka mengajukan beberapa menuntut antara lain, GTT/PTT bergaji setara UMP/UMK, prioritas penggajian berdasar masa kerja, mendapat jaminan kesehatan, komplemen penghasilan serta punya kepastian sumber penggajian yang dianggar oleh provinsi secara berkesinambungan. Diaudit ulang, dan minta pengawalan dari Komisi IV
Siapa pun yang berada pada posisi GT/PTT ketika ini, tentu akan merasakan, betapa beratnya kondisi yang mereka alami. Bukan hanya berat secara fisik, namun juga berat secara psikologis. Apalagi dalam masa peralihan ini, di mana informasi demi informasi berseliweran simpang siur lewat media-media cetak, online dan terutama yaitu media umum (Medsos).
Persoalan GTT/PTT memang bukan hanya perkara yang terjadi Sukoharjo saja, tapi juga perkara semua kabupaten di wilayah Jawa Tengah, alasannya ini merupakan dampak dari sebuah kebijakan. Karena merupakan keluhan bersama, akan lebih efektif kalau saran, masukan dan kritik membangun dilakukan secara bahu-membahu dengan cara yang positif. Kemajuan teknologi informasi juga sanggup dimanfaatkan sebagai media untuk berkeluh kesah, atau menyuarakan aspirasi dalam konteks dan cara yang tidak anarkis.
Untuk masa sekarang, sepertinya memang perlu sebuah action yang “mengganggu” mata dan pikiran, semoga bisa merebut perhatian dari publik maupun pegawanegeri pemerintah. Ingat fenomena wisata Jeglongan Sewu? Fenomena itu menjadi besar juga alasannya Medsos, dan itu factual, bukan informasi hoax. Lantaran menjadi heboh di media sosial, hal itu hasilnya mengusik perhatian pemerintah, yang hasilnya membentuk tim Saber Jalan Berlubang.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Sukoharjo, Wawan Pribadi mengutarakan problem GTT/PTT tersebut merupakan ranah provinsi. Meski begitu, ia akan segera memberikan keluhan dan tuntutan para GTT/PTT Sukoharjo tersebut kalau ada agenda komisi.Kita berharap, meski itu problem provinsi, Pemkot dan DPRD Surakarta harus lebih intens melaksanakan koordinasi, terutama terkait keluhan, pertanyaan, kritik maupun saran. Di luar itu, kita yakin Pemerintah Provinsi telah menyiapkan langkah-langkah antisipasi dari banyak sekali kemungkinan ketika menarik Sekolah Menengah kejuruan ke Provinsi, termasuk salah satunya yaitu nasib para GTT/PTT tersebut. Para guru GTT/PTT memang perlu kepastian, alasannya kepastian itu menyerupai air di tengah padang pasir. Bagaimana Guru GTT bisa mengembangkan ilmu untuk mencerdaskan masyarakat apabila dalam kepalanya selalu terlintas nasibnya yang tidak menentu, honor yang belum cair dan pikiran-pikiran “buruk” lainnya
Sumber http://www.pgrionline.com