Perjalanan aku kali ini dapat dibilang berbeda dari perjalanan-perjalanan aku yang sebelumnya. Perjalanan aku sebelumnya cenderung berkutat pada tempat-tempat wisata, ah itu sudah biasa alasannya yakni siapapun dapat tiba ke sana. Kali ini, aku ingin menjajal sebuah pengalaman yang lebih berbeda. Berkunjung ke aneka macam daerah wisata memang tidak ada salahnya, menikmati aneka macam keindahan, panorama, wahana, dan makanan yang telah dikelola dengan apiknya.
Apakah kau pernah berpikir untuk berpetualang ke sebuah tempat, daerah yang tidak pernah mengalami filtrasi budaya luar, daerah yang masih benar-benar perawan dari kehidupan mewah perkotaan. Itulah yang sedang terbesit dipikiran aku ketika ini.
Badan terasa menggigil begitu aku mencelupkan sebagian tubuh aku di sebuah sungai kampung Cibeo. Peralatan mandi yang aku bawa dari rumah tampaknya mubazir, aku lupa kalau aku akan ke Baduy Dalam, peralatan itu semua tidak diharapkan di sini. Hanya memakai kerikil dan aliran air sungai, begitulah mereka menyebutnya mandi, jikalau kau berkunjung ke Baduy Luar mungkin peralatan mandi itu masih berfungsi dengan baik, tapi tidak di Baduy Dalam, itu pengalaman anti mainstream pertama aku di sini.
Layaknya seorang tamu, niscaya kau berpikir kalau tuan rumah akan menyambut dan menemui tamu tersebut secara langsung. Paling tidak aku pernah mendengarkan pengalaman seorang teman yang berkunjung ke sebuah suku di pedalaman pulau Kalimantan Tengah, masyarakat biasa menyebutnya Suku Dayak. Di sana ia disambut dengan tradisi potong pantan, teman aku pun diminta untuk memotong batang bambu hijau yang dipasang pada bab pintu gerbang menuju desa, musik tradisional dan nyanyian memakai bahasa Sangian mengiringi jalannya upacara.
Berbeda dengan pengalaman teman aku di suku Dayak, sudah sehari aku tinggal di sini dan diajak berkeliling oleh Pak Samin, pendamping lokal selama di kampung Cibeo, tetapi aku belum pernah melihat batang hidung ketua adat, suku Baduy Dalam menyebutnya puun. Ternyata berdasarkan Pak Samin, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan puun. Saya pikir aku akan disambut oleh seorang puun menyerupai layaknya pengalaman teman aku di suku Dayak, ternyata itu hanya spekulasi aku belaka. Bahkan kalau ingin bertemu dengan puun sekalipun harus berjarak sekitar seratus meter, benar-benar ketua sopan santun yang exclusive.
Semakin usang daya berada di sini, jiwa travelling aku semakin tertantang, coba kau bayangkan, tidak ada gadged, tidak ada ganjal kaki, dihentikan menebang pohon, dihentikan membawa alat musik, dihentikan membawa minuman yang memabukan. Hampir semua hukum berupa kalimat larangan.
Suku Baduy Dalam yakni suku yang sangat tertutup, tetapi bukan berarti mereka tidak mengetahui isu dari dunia luar, suatu ketika aku berbincang dengan Pak Samin wacana peristiwa lumpur Lapindo, salah satu penduduk berjulukan Ambu Suraja menyampaikan bahwa “sampean bumi haturan tatu” (kaki bumi sedang terluka). Begitulah pemikiran masyarakat suku Baduy Dalam, masih berpatokan pada alam. Benar-benar masyarakat yang jauh dari kontaminasi dunia luar dan modernisasi.
Modernisasi memang serba memudahkan dalam menjalani hidup, semua serba praktis, segala apa yang ingin kita tahu tersedia, cukup hanya mengetik beberapa kata yang ada di gadgetmu maka semua yang kau butuhkan akan muncul, tetapi efek modernisasi tidak hanya memudahkan apa yang kita temukan, tetapi juga menambah aneka macam permasalahan kehidupan, di dsinilah letak kekuatan masyarakat Baduy Dalam, mereka berpikir sesederhana mungkin. Itulah hal sederhana yang menciptakan mereka selalu senang dalam menjalani hidup, tidak ada beban dari dunia luar yang menimpa mereka. Kesederhanaan, keseimbangan, dan keharmonisan, itulah pelajaran yang dapat dipetik.
Sumber https://phinemo.com