Sunday, June 24, 2018

√ Saat Motor Menjadi Sahabat Untuk Bertualang Di Tanah Jawa

 Perjalanan panjang menyusuri jalanan Pulau Jawa √ Ketika Motor Menjadi Sahabat untuk Bertualang Di Tanah Jawa

Pantai Klayar Pacitan. Foto oleh DiBe Panoramio


Telah 7 tahun saya melakukannya. Perjalanan panjang menyusuri jalanan Pulau Jawa. Dari panasnya pantura, berlikunya perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat, sedikit tertinggalnya daerah Banten selatan, ramahnya jalanan Jogja, hingga dengan menembus jalan berliku dan sepi menuju Pacitan.



Sometime the road you travel does’t lead to the destination you had hoped for. But if you can look back on the trip and smile, then it was worth it



Aku telah merasakannya. Perjalananku di mulai saat harus menembus jalanan Temanggung-Wonosobo untuk mengunjungi daerah Dataran Tinggi Dieng. Berharap untuk memangkas jarak sejauh 45 KM, saya tetapkan untuk melalui jalur Temanggung-Parakan-Candiroto-Tambi kemudian Dieng.


Awalnya motor angsa yang saya pakai kondusif saja mengatasi jalanan tanjakan pembuka. Saat melewati sebuah tanjakan berliku membentuk karakter S dengan elevasi kurang lebih 60 derajat, memaksa saya harus menurunkan teman yang saya bonceng. Lepas dari tanjakan mematikan itu, ada sebuah desa yang terlihat tentram. Suhu cuek khas pegunungan membuatku nyaman, ditambah segarnya udara pegunungan dengan pemandangan kebun teh. Saat itu sekitar jam 8 pagi, cahaya matahari yang masih perawan hanya muncul dari punggung gunung Sindoro.


Pacitan, juga termasuk korban perjalananku. Hanya bermodal gosip di Pacitan terdapat pantai berpasir putih tanpa tahu namanya, saya meluncur kesana tanpa pikir panjang. Dalam perjalanan, saya mengubah jalur untuk dilalui. Seharusnya lewat Solo lebih cepat. Tapi saya tetapkan untuk mengunjungi Jogja. Sekedar untuk say hello dan makan nasi kucing di Alun-alun Kidul yang ternyata lebih mahal dari pada makan di warteg. Menyusuri jajaran Pantai Wonosari yang waktu itu belum begitu terkenal. Mulai dari Baron, Kukup, Sundak, hingga Siung (pantai favorit bagi para pemanjat tebing). Menembus perbatasan Wonogiri-Pacitan melalui jalur alternatif. Jalanan kecil, sepi, menanjak di tambah hujan yang cukup lebat.


Oke ini Pacitan, kutanyakan dimana letak pantai paling bersahabat dari sentra kota. Kami pun menuju Pantai Teleng Ria-info dari orang yang saya tanya. Sepertinya ini bukan pantai yang saya cari, pantai ini memiliki pasir sedikit gelap. Tidak seperti info yang saya dapat, pantai dengan pasir putih, higienis dan tidak begitu ramai. Pantai ini sangat berbeda dengan info sebelumnya. Berbekal ingin tau risikonya kami menemukannya. Hidden paradise, Pantai Klayar.


Perjalanan menuju Bandung masih menjadi rekor terlama yang belum terpecahkan lagi. Hampir satu ahad saya melahap jalur tengah Jawa Tengah, menembus jalan berliku perbatasan Jawa Tengah – Jawa Barat, dan menyusuri jalur Pantura untuk kembali ke Semarang.


Di Ciamis, seorang polisi berhasil merayu kami untuk mengambil jalur memutar Tasikmalaya-Garut-Bandung. Padahal dari Ciamis sanggup eksklusif menuju ke Bandung, hanya alasannya yaitu sebutan “Priangan Timur” risikonya kami menuruti saran dari beliau. Akhirnya saya tahu dimana itu tanjakan Nagrek, daerah yang selalu menghiasi liputan pulang kampung lebaran.


Di daerah ini kami menemukan sebuah warung makan Lamongan. Perjalanan lebih dari 12 jam mengendarai sepeda motor dari Purbalingga berhasil mengubah cara pandangku perihal apa itu nikmat. Tiga piring nasi uduk dengan lauk angsa goreng habis dalam waktu 10 menit.



Terkadang kenikmatan tidak selalu berbanding lurus dengan kemewahan, namun rasa syukurlah selalu menjadi kunci seberapa besar nikmat itu ada.



Menelusuri sisi selatan Banten sedikit memberi citra ternyata tidak semua daerah di Pulau Jawa itu memiliki saluran transportasi yang baik. Sepanjang jalur Pelabuhan Ratu-Bayah-Malimping-Rangkas Bitung-Lebak hingga menuju kawanan Taman Nasional Ujung Kulon.


Desa wisata Sawarna yaitu tempat yang kami tuju. Sebuah desa dengan potensi wisata yang sangat besar, namun saluran umum untuk kesana sangat kurang. Ada beberapa pantai yang saya kunjungi di desa wisata ini, menembus hutan untuk hingga di Pantai Sawarna yang populer sebagai tempat surfing. Sedikit menyusuri garis pantai, kami bertemu dengan Tanjung Layar. Sebuah tebing kerikil di pesisir pantai berbentuk menyerupai layar. Menembus bukit terjal yang tidak layak di lalui motor, kami memaksakan diri hanya untuk melihat sunrise di pantai Teluk Legon Pari. Menikmati kelapa muda, sambil berjalan menuju Pantai Karang Taraje dengan deburan ombaknya yang khas. Sepanjang perjalanan saya hanya sekali mengisi materi bakar di pom bensin, selain itu penjual materi bakar eceran menjadi pelarian semoga motor tetap sanggup jalan mengantarku pulang.


Perjalanan ini masih belum selesai, aku masih harus berkeliling Indonesia. Tinggal tunggu waktu yang tepat. Kenapa saya lebih menentukan Jawa dulu? Aku berprinsip kenali dulu daerah mu dan jadilah duta untuk tempat tumbuh besarmu. Setelah itu kenali negerimu dan jadilah duta untuk bangsamu.



Sumber https://phinemo.com