Tur 1: Meulaboh – Banda Aceh, menjadi kura-kura ninja!
Hujan yang tengah mengguyur kota Meulaboh pagi itu, tidak merubah rencana saya dan teman-teman saya. Tur kali ini cukup pendek. Hanya Meulaboh – Banda Aceh yang memakan waktu normal 5 jam. Pada jalur ini, ketika cuaca bagus kita bisa menikmati pesona pesisir pantai yang terbentang sepanjang lintas Meulaboh – Banda Aceh. Sayangnya cuaca tidak begitu mendukung. Hujan ringan menjadi “menu pembuka” kami.
Hujan yang turun sama sekali tidak mengurangi niat kami untuk menikmati perjalanan kami. Berjalan beriringan membelah jalan menuju Banda Aceh, sambil menghirup dalam-dalam aroma khas ketika hujan membasahi jalanan. Bergaya seperti bintang video klip yang sedang menikmati perjalanan, ditemani rintik hujan yang turun “manja. Beruntungnya kami alasannya yaitu kondisi jalanan yang kami lalui dari Meulaboh – Banda Aceh cukup bagus, beraspal mulus dan lebar.
Saat mengisi materi bakar di pom bensin, beberapa orang terlihat menatap kami heran. Salah satunya tatapan dengan senyum-senyum kecil yang entah apa maksudnya dari seorang perempuan kira-kira berusia sama dengan kami, yang memperhatikan kami dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin ia berpikir nekatnya cewek-cewek ini menempuh perjalanan dalam keadaan cuaca buruk, atau mungkin juga merasa lucu melihat penampilan kami ketika itu yang menyerupai kura-kura ninja. Agak lucu memang, Mulai dari kepala yang berjilbab,tertutup helm, muka yang tertutup masker, tubuh yang sudah berbalut jaket, dan berbalut mantel juga yang sudah basah, ditambah dibagian belakang yang menggembung alasannya yaitu ransel yang menggantung di pundak. Sesaat kami sempat saling bertatapan dan sesudah itu tertawa bersamaan.
Tur 2: Meulaboh – Takengon, sebuah pertaruhan nyawa
Lain lagi dengan pengalaman tur kami ketika mengunjungi Kota Takengon di bulan Mei lalu. Mungkin saya sedikit berlebihan, tapi saya rasa perjalanan kami waktu itu benar-benar mempertaruhkan nyawa. Bagaimana tidak, untuk menuju Kota Takengon dari Kota Meulaboh, kami harus melewati jalanan yang cukup sempit, di kiri kanan hanya ada hutan, tebing dan jurang.
Berhubung Takengon merupakan kota yang terletak di ketinggian, di kelilingi oleh pegunungan, sebagian besar perjalanan menuju kesana kami harus melewati tanjakan-tanjakan curam, tikungan tajam yang butuh konsentrasi tinggi, belum lagi tidak semua jalanan beraspal mulus.
Banyak dari jalanan yang kami lewati, masih berupa batu-batu kerikil yang ditengah-tengahnya tidak jarang terdapat lubang yang cukup besar sehingga untuk melewatinya beberapa kali salah satu dari kami harus turun biar tak terperosot alasannya yaitu selain berlubang juga banyak air didalamnya.
Waktu tempuh dari Meulaboh ke Takengon bersama-sama hampir sama dengan ke Banda Aceh yaitu sekitar 5 jam. Ada beberapa hambatan yang tak terdugadi perjalanan. Kendala pertama ketika saya hilang keseimbangan ketika melewati jalanan yang licin alasannya yaitu air yang mengalir turun ke aspal dari pegunungan, dan ketika itu tikungannya cukup tajam dan harus mendaki. Kami terjatuh terseret ke sisi jalan sebelah kanan yang disampingnya yaitu jurang! Saya menerima gesekan di lutut dan siku, sedangkan sahabat saya harus merelakan kakinya berbekas merah alasannya yaitu kena knalpot panas. Motor yang kami bawa pun sempat mogok karena terbentur dibagian persnelingnya. Kami benar-benar stress berat dengan medan yang kami lalui. Sempat terpikir, bagaimana jikalau perjalanan ini berakhir buruk, bagaimana jikalau kami tidak mampu melewatinya alasannya yaitu diantara kami tidak ada perjaka seorangpun, dan ketika itu di sekeliling kami hanya hutan.
Setelah menenangkan diri dan mengecek kembali kondisi motor, kami semua melanjutkan perjalanan. Kami lebih berhati-hati kali ini, dan tidak melaju lebih dari 60 km/jam. Meski telah sangat berhati-hati, mungkin alasannya yaitu terlalu lelah mendaki, sekali lagi motor kami kembali harus mogok sesudah melewati puncak Gunung Singgah Mata. Motor kami tidak bisa hidup meskipun telah dinyalakan berulang kali. Kami terpaksa meminggirkan motor dan tetapkan untuk istirahat sejenak sambil menunggu ada pengendara lain yang lewat.
Ada hal yang hasilnya kami sadari, meskipun secara teknis kami bisa untuk bepergian dengan motor, namun kami tidak cukup bisa untuk membetulkan motor yang mogok.
Rasa takut menyergap. Perjalanan Meulaboh – Takengon hampir sekitar 4 jam yang kami lewati yaitu daerah hutan belantara, sama sekali tidak terdapat rumah satupun. Kami tidak mempunyai apa-apa selain ransel yang berisi pakaian, sedikit roti dan sebotol minuman. Terlebih lagi dari gosip yang saya baca, selain melewati Gunung Singgah Mata, kami juga melewati daerah hutan lindung Gunung Leuser dimana masih banyak binatang liar menyerupai gajah, harimau, dan aneka macam macam binatang lain. Sempat terpikir bagaimana jikalau tiba-tiba kami bertemu salah satu binatang itu, apa yang bisa kami lakukan? Kami semuanya perempuan. Tapi sudahlah, kami berusaha membuang aneka macam pikkiran negatif. Kami harus tetap damai dan yakin dukungan niscaya datang.
Kami berani melaksanakan perjalanan sejauh ini, berarti kami juga harus berani menghadapi apapun yang terjadi. Setelah cukup usang menunggu hasilnya ada pengendara lain lewat! Betapa senangnya kami melihat si pengendaram seorang bapak tua. Kami melambai-lambaikan tangan memberi tanda pada si pengendara, dan hasilnya pengendara tersebut bersedia berhenti dan membantu kami.
‘Baru pertama kali lewat sini ya dek? Mau kemana?’ Bapak itu bertanya.
‘Iya pak, ini pertama kalinya, mau ke Takengon,’ jawab temanku.
‘Cewek semua nih yang berangkat? Gak ada yang cowok?’ lanjut bapak itu bertanya.
‘Nggak ada Pak, memang cuma kami,’ jawab saya.
‘Wah..berani juga ya, nggak takut lewat hutan kayak begini?’ sambung bapak itu.
‘Sudah terlanjur Pak, jadi diberaniin aja,’ timpal saya lagi.
Entah si bapak orang ke berapa, orang yang kami temui di jalan yang menanyakan hal yang sama, ‘cewek semua tur naik motor?’. Saat mampir untuk mengisi materi bakar di salah satu warung, pemilik warung bertanya hal yang sama ke kami dan kami hanya bisa menjawab IYA ditambah senyuman. Saat ke Sabang dan Tapak Tuan Aceh Selatan pun kami menerima pertanyaan yang sama. Pernah juga kami menerima pertanyaan dari seorang ibu di warung tempat kami mampir membeli minum, ‘kalian nggak capai naik motor? Nggak takut kulitnya hitam? Kalian kan cewek.’ Pertanyaan lucu kami pikir. Namanya naik motor berjam-jam, capai sudah niscaya ada. Namun capai itu bisa hilang seketika, ketika di perjalanan maupun ketika sudah tiba di tujuan, kami disambut suasana yang mengagumkan, bunyi ajaran air sungai yang jernih, jejeran pohon pinus yang cantik, udara pegunungan yang sejuk, deburan ombak dipantai, keramahan warga sekitar, dan masih banyak hal lain yang memang sengaja ingin kami dapatkan di tujuan kami.
Cewek pun bisa tur motor!
Kulit akan berubah hitam? Itu bukan duduk kasus bagi kami. Toh sesudah pulang dari perjalanan, kami bisa melaksanakan perawatan kembali. Jangan bepergian jikalau takut kulitmu hitam. Justru kulit yang berubah warna itu menunjukan bahwa kau seorang “pejalan”. Sedikit saran saya untuk kau cewek yang ingin tur dengan motor, gunakan pakaian yang sesimpel dan senyaman mungkin, serta jangan membawa barang bawaan terlalu banyak biar lebih bisa menikmati perjalanan tur motor kalian.
Bagi kami, tidak ada yang perlu ditakutkan melaksanakan tur motor dengan “label” cewek. Selagi niat kita baik, tidak melaksanakan hal-hal gila diperjalanan, dan selalu waspada. Soal kendala, itu merupakan hal masuk akal dan memang selalu ada ketika kita bepergian. Mau hambatan kecil ataupun besar, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan. Intinya, tetap damai dengan kondisi apapun yang kita temui di perjalanan.
Sumber https://phinemo.com