Berbicara mengenai Papua dan sejuta pesonanya, maka fakta wacana Suku Asmat dapat menjadi pokok bahasan tersendiri yang jarang kita sentuh dan seringkali kita lewatkan.
Suku Asmat Papua terbagi dua, yakni mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di penggalan pedalaman.
Baca Juga: Suku Asmat, Suku Pedalaman di Ujung Timur Indonesia yang Mendunia Berkat Ukirannya
Kedua kehidupan Suku Asmat ini berbeda satu sama lain, baik dari segi dialek bahasa, struktur sosial, ritual sampai kehidupan suku Asmat secara keseluruhan.
Populasi pesisir pantai sendiri selanjutnya terbagi ke dalam dua penggalan yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai.
Kondisi Alam dan Mata Pencaharian
Fakta wacana suku Asmat terkait lingkungan daerah suku ini tinggal yaitu berada di dataran coklat yang sekarang telah menjadi Kabupaten Asmat dengan total tujuh kecamatan atau distrik.
Di lokasi ini, hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3000-4000 milimeter/tahun. Setiap hari juga pasang surut maritim masuk ke wilayah ini, sehingga tidak mengherankan jikalau permukaan tanah menjadi lembek dan berlumpur.
Jalan hanya dibentuk dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah yang lembek. Mudah tidak semua kendaraan bermotor dapat lewat jalan ini. Orang yang berjalan harus berhati-hati semoga tidak terpeleset, terutama ketika hujan tiba.
Sementara fakta wacana suku Asmat mengenai mata pencaharian yang dilakukan, diketahui bahwa Suku Asmat Papua ini berburu hewan hutan seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan, dan lain-lain.
Suku Asmat Papua juga meramu sagu sebagai makanan pokok, serta sebagian berprofesi sebagai nelayan dengan mencari ikan dan udang untuk dimakan.
Seni, refleksi kehidupan wacana Suku Asmat
Di tangan Suku Asmat, kayu-kayu pohon yang hampir tak bernilai bermetamorfosis goresan dengan nilai seni tinggi. Sentuhan tangan mereka hasilkan karya goresan kayu yang dikenal sampai ke dunia internasional.
Jika di negara kita sendiri masih banyak orang yang memandang sebelah mata hasil goresan suku Asmat, di San Fransisco goresan suku ini dipamerkan dalam De Young Museum di Golden Gate Park. Tak hanya di San Fransisco, hasil goresan suku inipun ditampilkan di Museum of Natural Art di New York.
Ukiran-ukiran kayu hasil karya Suku Asmat mampu menarik perhatian dunia internasional sebab motifnya yang bermacam-macam dengan tingkat kerumitan tinggi.
Kerajinan seni ukir yang dihasilkan biasanya bercerita wacana Suku Asmat, ibarat kisah leluhur, kehidupan sehari-hari dan rasa cinta mereka terhadap alam.
Ornamen-ornamen goresan menggambarkan wajah nenek moyang, perahu, binatang-binatang yang bersahabat dengan kehidupan masyarakat ibarat kasuari, serta motif-motif antropomorfik. Keunikan ukirannya inilah yang menciptakan nama suku Asmat begitu populer diseluruh dunia sampai kini.
Gizi jelek dan eksploitasi berkepanjangan
Baca Juga: Belajar Menghargai Kematian Melalui Ritual Tiwah Suku Dayak Kalimantan
Antara mengungkapkan bahwa wabah campak dan gizi jelek menjangkiti penduduk Kabupaten Asmat semenjak September 2017. Pemberitaan mengenai wabah penyakit yang melingkupi kehidupan Suku Asmat ini memang sempat booming di tahun 2017.
Dilaporkan sebanyak 393 orang menjalani rawat jalan dan 175 lainnya menjalani rawat inap akhir campak dan gizi jelek di Kabupaten Asmat.
Fenomena ini sempat ditetapkan sebagai insiden luar biasa (KLB) oleh pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi memperlihatkan pilihan untuk merelokasi warga Kabupaten Asmat yang terdampak.
Namun upaya relokasi ini tak ayal justru mengingatkan kita pada eksploitasi hutan yang mengakibatkan populasi Suku Asmat papua ini kian termarginalkan.
Kehidupan wacana Suku Asmat memang menarik perhatian. Saat hutan-hutan Asmat dijarah para perusahaan, para pemangku kebijakan justru gencar melaksanakan promosi kebudayaan yang ditampilkan, selain lewat museum, juga lewat pertunjukkan pengukir kayu yang didatangkan dari Asmat.
Berbicara wacana suku Asmat, rupanya tak lantas semata mengenal bentang alam dan tradisi-ritual yang awam kita lihat dan justru sering ditampilkan dalam headline.
Namun rupanya, ada hal-hal lain yang perlu kita apresiasi dan sekaligus kita kritisi bersama. Perihal potensi alam, seni, kultural yang luar biasa serta upaya kita, bila tak menyebutnya sebagai negara, dalam mengeksploitasi kesemuanya.
Sumber https://phinemo.com