![]() |
Populasi penduduk yang padat mengakibatkan masalah |
Penduduk merupakan aspek utama yang menjadi dasar pembangunan setiap negara. Penduduk dunia ketika ini demikian cepat dan tumbuh melesat dibandingkan sebelum kala ke-20. Populasi penduduk dunia ketika ini, berdasarkan data realtime worldometers.info (2018), berjumlah 7.618.442.600 jiwa. Pertumbuhan populasi setiap harinya mencapai 4 persen . Tahun 2018, populasi dunia telah tumbuh sebesar 26.675.800 jiwa.
Di Indonesia sendiri, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa populasi penduduk per 2017 sebanyak 262 juta jiwa. Sedangkan berdasarkan data realtime worldometer.info per April 2018, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 266.304.680 jiwa. Jumlah populasi ini menempatkan Indonesia masih berada di 20 negara dengan jumlah populasi penduduk terbesar di dunia.
![]() |
Pertumbuhan penduduk dunia, sumber: worldometer.info |
Sebagaimana yang kita tahu, bahwa semakin padat populasi penduduk, maka permasalahan suatu negara akan semakin kompleks. Sebab, negara sebagai wadahnya harus menghadirkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi semua penduduknya. Walaupun ada cita-cita Indonesia akan bangkit, tetapi permasalahan yang berlandaskan kependudukan dan tatanan sosial masih membayangi. Bonus Demografi sanggup berhasil, sanggup juga tidak, tergantung kecepatan perbaikan pembangunan serta pemerataan hasil pembangunan itu sendiri.
Penduduk yang kian padat sudah mengeliminasi tata ruang. Kalau zaman dulu, konsep pembangunan diarahkan secara mendatar, kini menjadi bertingkat. Teori Robert Malthus soal jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan jumlah masakan mengikuti deret hitung, sedikit banyak telah terbukti. Pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang cepat berdampak pada kerentanan ekonomi.
Distribusi pendapatan kurang merata akhir kebijakan ekonomi nasional masih berpihak pada penduduk ekonomi menengah ke atas. Konsep ekonomi menetes ke bawah atau trickle down effect justru menjadi trickle up effect. Nyatanya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ada percumanya bilamana Indonesia mengklaim sebagai negara yang kaya SDM, alasannya yakni kemiskinan masih tampak begitu terperinci di depan mata. BPS mencatat, persentase penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2017 masih sebesar 26,58 persen. Bila dibandingkan antara kemiskinan di perkotaan dan perdesaan, data BPS menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak terdapat di perdesaan dengan persentase sebesar 13,47 persen di tahun 2017.
![]() |
Fakta pengangguran di Indonesia |
Kalau dipikir-pikir, yang namanya Sekolah Menengah kejuruan yakni jenjang pendidikan yang secara umum dikuasai didominasi oleh pengajaran berbasis praktikum. Logikanya, sehabis lulus, walau mereka tak mencari pekerjaan pun, mereka sanggup membuat pekerjaannya sendiri. Kondisi yang sebaliknya justru menunjukkan kurangnya partisipasi lulusan Sekolah Menengah kejuruan terhadap seruan pasar kerja. Selain adanya persaingan ketat, kualifikasi ketenagakerjaan, dan pilih-pilih jenis pekerjaan, faktor kemalasan juga ikut memengaruhi keinginan menganggur.
Itu gres soal pengangguran. Tak jauh berbeda ketika populasi penduduk kita sandingkan dengan kebijakan di bidang kesehatan. Tahun 2018 ini Indonesia juga menghadapi tantang serius soal penanganan negara di bidang kesehatan. Tingkat penyebaran penduduk yang tak merata di setiap tempat berdampak pada sulit negara untuk hadir dalam upaya penjaminan kesehatan penduduknya.
Selain infrastruktur yang tengah dibangun, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia pun masih terbilang kurang. Baru saja kita menyimak betapa mirisnya bencana gizi jelek di Asmat sana. Keterjangkauan secara wilayah menjadikan pemerintah kesulitan untuk memberi solusi kesehatan. Selain itu, populasi penduduk yang bertambah membuat pemerintah mengocok berulang kali bagaimana mengupayakan semoga setiap penduduk mendapat kesetaraan hak mendapat jaminan kesehatan.
Ini gres tiga hal yang dikaitkan pribadi dengan populasi penduduk. Belum lainnya, sudah niscaya perkara akan menjadi lebih kompleks lagi. Sebab itu, perkara penduduk di Indonesia tak sanggup kita anggap enteng. Di balik jumlahnya yang terus meningkat, terdapat masalah-masalah gres yang perlu diantisipasi. Jumlah penduduk memang tak sanggup dikurangi, tetapi masih sanggup untuk ditekan.
Selain memakai kegiatan Keluarga Berencana (KB), generasi mudanya juga perlu disentuh dengan pendidikan perencanaan keluarga. Hilirnya akan memberi imbas konkret pada Rasio Total Kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR). Buktinya, TFR Indonesia sudah menyentuh angka 2 yang mengartikan bahwa kegiatan “dua anak, cukup” sanggup dikatakan relatif berhasil.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/