Friday, May 26, 2017

√ Ombak Halmahera

 Aku terbangun dari kubangan mimpiku semalam suntuk √ OMBAK HALMAHERA
Pantai Halmahera Utara, Tobelo dokpri.

Pagi masih tertimbun gelap. Aku terbangun dari kubangan mimpiku semalam suntuk. Mengusap wajah, berdoa sejenak untuk memulai hariku. Membersihkan kamarku. Setelah rampung, saatnya bagiku melapor pada Rabbku.

Tak usang kemudian, sinar menyingsing. Menembus jendela kamar dan menerpa pot-pot bunga penghias kamar. Ketukan pintu oleh jemari ibu menyapaku.

"Ngana so berdiri ka? Ini ada sarapan nasi goreng."

Betapa syukurnya hati ini. Sedini pagi, ibu sudah menyiapkan hidangan di meja kayu warna cokelat. Segera ku ke sana tanpa sapaan seorang bapak.

"Nanti toh, sehabis ngana sehabis jualan buku di pasar. Ibu nitip belikan bawang ya, Nak."

"Saya, Bu," jawabku sembari tersenyum.

Kunyahanku habis. Piring yang tadinya penuh dengan nasi goreng, sekarang lenyap. Syukurlah.

"Bu, kita pergi dulu," pamitku seraya menyium tangannya.

Kalau boleh dongeng sedikit. Bahasa di sini memang unik. Kalau ngana itu diartikan kau dalam bentuk tunggal. Kalau menjawab saya, artinya iya. Ya, beginilah bahasa di sini. Logatku sudah berubah semenjak merantau di sini bersama ibu.

Pasar Sofifi memang berada di seberang. Dari pelabuhan Kota Baru, saya harus naik bahtera cepat bermesin dua. Ukuran perahunya lumayan, cukup sepuluh orang saja. Buku-buku yang hendak kujual masih tertidur pulas dalam tas ransel merahku. Cuaca malu-malu kucing menawarkan cerahnya. Air pasang dan semua orang bersiap menghadapi ombak di pertengahan Ternate dan Sofifi.

Seorang lelaki duduk di depanku. Berbaju abu-abu dengan setelan celana kain. Ia membawa seorang anak. Sesekali ia melempar pandangannya padaku. Tak lepas pula ke arah tasku.

"Ngana mau ke mana?" Tanyanya.

"Kita mau jualan buku ke pasar Sofifi, Pak."

Mesin bahtera kecil itu berbunyi. Tanda bahwa ia akan mengantarku berangkat berjualan hari ini.

"Kalau boleh tahu, buku apa yang ngana jual?" Si bapak bertanya lagi.

Tanpa malu-malu, ku keluarkan beberapa buku-buku itu.

"Ini Pak. Buku-buku yang kita hendak jual."

Lantas ia bertanya,"buku itu buatanmu sendiri kah?"

"Saya, Pak."

"Boleh tuh. Kita beli sudah. Dua jenis saja. Harga berapa?"

"Seratus ribu, Pak."

Sebuah dompet hitam tiba-tiba keluar dari saku si bapak. Sementara anaknya dari tadi memandangiku.

"Terima kasih, Pak," ucapku menjulurkan tangan untuk meraih uang berpoles merah itu.

Syukurku dalam hati. Belum hingga di pasar, bukuku sudah ada yang laku. Lumayan, buat beli bawang titipan ibu.

"Indonesia ini tidak maju memang bila masyarakatnya tidak suka baca." Si bapak berkata sambil membolak-balikkan isi buku.

"Padahal, kita hidup ini awal-awalnya disuruh membaca, ya kan, Mas?" Tegasnya.

"Saya Pak. Membaca memang bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan kita," tuturku sok bijak.

"Saya, Mas. Selama ini kita masih saja dibodohi karena malas sekali membaca. Padahal tanpa membaca, kita tara tahu apa-apa. Ketinggalan kita dari bangsa lain. Benar ka tarada?"

Asyik sekali. Jarang sekali saya temukan seseorang yang peduli membaca buku. Sepertinya pendidikan bapaknya bukan rendahan ini.

Tak terasa, perjalananku menuju pasar Sofifi telah mencapai pertengahan. Ombak mulai terasa. Sesekali ia menampar tubuh bahtera itu. Ku akui, meski bisa berenang, stress berat masa silam masih menghantui. Pengalaman pernah karam membuatku terkejut setiap gulungan ombak Halmahera menerpa perahu.

"Astaghfirullah, astaghfirullah ...." Ucapku dalam hati

Sedangkan si bapak terlihat mengelus-elus rambut anaknya. Seisi bahtera terguncang oleh rentetan ombak yang kian membabi-buta.

Tiba-tiba, mesin perahunya mati. Segala isi bahtera saling menatap dengan kekosongan. Perahu terombang-ambing, sesekali kurasa bahtera akan terbalik. Ombak nian jahat menyiksa tubuh dan batin.

Anak itu kemudian menangis dalam pelukan bapaknya. "Tara papa adik. Biasa saja ini, tara papa. Tenang saja," katanya sambil menghibur anaknya.

"Bapak pe rumah di mana?" Tanyaku untuk menenangkan keadaan.

"Kita pe rumah di Tobelo sana."

"Oh, saya," pungkasku.

Tak usang kemudian, mesin sanggup hidup kembali. Dengan semua kenangan dibanting ombak, pelan-pelan bahtera bisa juga menggapai tepian Sofifi.

***

Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/