Wednesday, June 14, 2017

√ Teori Otonomi Daerah

Syafrudin (1991:23) menyampaikan bahwa otonomi memiliki makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu ialah wujud kontribusi kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya kontribusi kiprah dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan Adanya kontribusi kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan memutuskan sendiri banyak sekali penyelesaian kiprah itu.

Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan memutuskan sendiri bagaimana penyelesaian kiprah penyelenggaraan pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada kawasan otomom dan memperlihatkan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum.”

Dari banyak sekali batasan perihal otonomi kawasan tersebut diatas, sanggup dipahami bahwa bersama-sama otonomi merupakan realisasi dari pengukuhan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satu-satunya sumber untuk memilih pemerintahan negara. Dengan kata lain otonomi berdasarkan Magnar (1991: 22),”… memperlihatkan kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bab dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. Manan (dalam Magnar, 1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu:
  1. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu dilema pokok dalam negara aturan yang demokratik, ialah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak eksklusif rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada kawasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah sentra membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.
  2. Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan mustahil untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat sanggup menjalankan kiprah dengan sebaik-baiknya terhadap segala dilema apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh alasannya ialah itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melakukan kiprah dan kewajibannya, kepada kawasan perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, dibutuhkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan menerima perhatian dan pelayanan yang masuk akal dan baik.
  3. Pembangunan-pembangunan ialah suatu proses mobilisasi faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan membuat perikehidupan sejahtera.
  4. Dengan adanya pemerintahan kawasan yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat sanggup dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan positif kawasan yang bersangkutan, lantaran merekalah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa :
Otonomi kawasan ialah hak, wewenang, dan kewajiban kawasan otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, ialah kesatuan masyarakat aturan yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi kawasan yang demikian itu merupakan kebijakan Negara yang mendasari penyelenggaraan organisasi dan administrasi pemerintahan daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan acara pemerintahan serta kebijakan dan acara pembangunan di kawasan dilaksanakan berdasarkan arah kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan Negara tersebut. Pelaksanaan otonomi kawasan itu tentu saja bukan sekedar membincangkan mekanisme bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan policy kepada mekanisme rutin dan teknik, melainkan lebih jauh daripada itu, melibatkan banyak sekali faktor mulai dari faktor sumber daya, korelasi antar unit organisasi, tingkat-tingkat birokrasi hingga kepada golongan politik tertentu yang mungkin tidak menyetujui policy yang sudah ditetapkan. Dalam konteks ini, Grindle (dalam Koswara, 1999 : 106) menyampaikan :
Attempts to explain this divergence have led to the realization that implementation, even when successful, involves far more than a mechanical translation of goals into routine procedures; it involves mendasar questions about conflict, decision making, and who gets what in a society”.
Dengan demikian, keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan sanggup dievaluasi dari sudut kemampuannya secara positif dalam meneruskan atau mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi kebijakan sanggup dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil final dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.com