Sepertinya rupiah menawarkan sedikit kabar bangga di Bulan Juni tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa rupiah mengalami apresiasi terhadap mata uang dolar sebesar 0,21 persen. Tidak hanya itu, rupiah juga mengalami apresiasi terhadap yen Jepang, yaitu sebesar 0,52 persen.
Apresiasi rupiah bulan Juni bukanlah tanpa asalan. Jika diamati datanya, rupiah terapresiasi sebab adanya surplus neraca perdagangan sebesar USD 1,6 miliar. Ini sebagai imbas menurunnya nilai ekspor sebesar 18,82 persen. Sedangkan dari sisi impor juga mengalami penurunan, yaitu sebesar 10,01 persen.
Ketika rupiah terapresiasi, secara teori dikatakan bahwa kondisi nilai riil rupiah menguat dibandingkan dolar dan yen Jepang. Pedagang lebih berminat menjual barangnya di dalam negeri daripada diekspor ke luar negeri. Sebab, jika dijual di dalam negeri tentu akan lebih menguntungkan daripada diekspor.
Kondisi surplus bulan Juni terlihat sebab penurunan nilai ekspor, yaitu USD 11,64 miliar, melebihi nilai impor, yaitu USD 10,01 miliar.
Saat rupiah terapresiasi, orang akan berbondong-bondong 'memegang' rupiah daripada dolar dan yen Jepang. Pada dikala yang sama, normalnya rupiah akan mengalami deflasi sebab daya beli terhadap produk impor menurun alias lebih murah.
Namun apa yang terjadi? Ternyata bulan Juni malah inflasi sebesar 0,69 persen. Sepertinya tidak sesuai dengan teori ekonomi secara umum. Tapi kita patut menelisik lebih dalam lagi. Menurut BPS, penurunan ekspor itu didominasi oleh komoditas lemak dan minyak hewani/nabati. Sedangkan peningkatan ekspor terjadi pada komoditas kayu dan pulp. Di sisi impor, terbesar didominasi oleh komoditas mesin dan peralatan listrik. Sedangkan peningkatan impor terjadi untuk komoditas kapal maritim dan bangunan terapung.
Dari sini terang bahwa deflasi tidak terjadi sebab penurunan impor dan ekspor terjadi untuk komoditas yang tidak bekerjasama eksklusif dengan kebutuhan bulan Juni yang notabene merupakan Ramadan dan lebaran. Semestinya prosedur ekonomi yang terjadi bila rupiah terapresiasi malah yang terjadi bukan deflasi melainkan inflasi.(*)