Saturday, August 12, 2017

√ Bonus Demografi Atau Zonk Demografi



 Kondisi Populasi Dunia, sumber: dokumentasi pribadi (diolah)

Ada Apa dengan Bumi?

Apa apa dengan Bumi?. Semakin banyak kerusakan, kemiskinan dimana-mana, kasus sosial tiada habisnya. Pendidikan tak berkualitas. Kesejahteraan masyarakat menurun. Kelangkaan pangan. Krisis moral dan spiritual. Lesunya perekonomian. Udara kehilangan kandungan oksigennya. Air kehilangan jernihnya. Tanah kehilangan unsur haranya. Sampah menumpuk kehilangan tempat penampungannya. Radiasi kehilangan filternya. Es mencair kehilangan suhu dinginnya. Dan masih banyak lagi kasus yang ada bila dikuliti satu per satu.

Dari sekian kasus yang diderita oleh bumi, bila diusut ternyata biangnya yaitu soal demografi. Demografi yaitu soal manusia, mencakup strukturnya, perkembangannya hingga tatanannya. Demografi menceritakan kondisi populasi insan dan segala aktivitasnya di muka bumi. Demografi mengambil kiprah mengenai sikap dan referensi kehidupan insan sebagai pengelola alam, sehingga baik atau buruknya manusia, akan tertuang dalam kompleksitas demografi.

Ada apa dengan bumi sejatinya sanggup digambarkan dengan ada apa dengan manusia. Populasi insan semakin meningkat. Bumi semakin sempit hingga daratan kelak terancam punah oleh rumah-rumah yang membagi habis daratan. Bumi sesak lantaran jumlah persediaan oksigen tak bisa mencukupi kebutuhan manusia. Bila dipikir memang logis. Coba kita amati grafik berikut.
Pada tahun 1000-an, jumlah populasi penduduk di seluruh dunia masih sekitar 250 juta jiwa. Kemudian naik menyentuh angka 7 miliar jiwa pada tahun 2012. Hingga selesai 2015, jumlah populasi penduduk telah mencapai 7,3 miliar jiwa. Menariknya, sekitar 4 miliarnya yaitu populasi penduduk Benua Asia. Konsekuensinya, bumi semakin padat, padat dengan penduduk. Kondisi ini justru membahayakan lantaran daratan bumi tidak sanggup bertambah untuk menampung populasi itu, sedangkan populasi penduduk terus bertambah.

Dampak dari pertumbuhan populasi penduduk itu sangat terasa. Seperti banyak sekali fenomena yang terjelaskan di awal, setidaknya ada lima efek besar yang terangkum sebagai efek meningkatnya populasi penduduk di bumi, yaitu kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, kerawanan pangan, kemiskinan dan yang terakhir yaitu timbulnya konflik sosial.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk yang besar ini mengindikasikan melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh Indonesia. Jumlah penduduk yang besar juga berpotensi membuat SDM yang andal sebagai bekal mengelola Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang melimpah. Lantas, apakah benar demikian? Coba kita cermati grafik berikut.
 Sampah menumpuk kehilangan tempat  penampungannya √ Bonus Demografi atau Zonk Demografi
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 - 2014, (dok.Pri)

Jumlah penduduk Indonesia nampaknya terus meningkat sepanjang tahun 2005 hingga 2014. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), laju pertumbuhan penduduk Indonesia berkisar antara 1 – 2 persen per tahun. Relevansinya dengan kondisi penduduk dunia yaitu luas daratan di Indonesia yaitu tetap, tetapi jumlah penduduk terus bertambah sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial. Buktinya? Coba kita kaitkan dengan kondisi luas wilayah berdasarkan pulau dan distribusi penduduk Indonesia tahun 2014.
 Sampah menumpuk kehilangan tempat  penampungannya √ Bonus Demografi atau Zonk Demografi
Luas pulau dan sebaran penduduk Indonesia tahun 2014 (dok.Pri)

Ada yang aneh? Tentu. Terlihat bahwa berdasarkan luas, Pulau di Indonesia dengan wilayah terluas yaitu Maluku dan Papua, termasuk Papua Barat. Tetapi, persentase penduduk yang menempatinya secara nasional hanya sekitar 3 persen. Sebaliknya, Pulau Jawa yang notabene memiliki luas sekitar 19 persen harus ‘rela’ dan ‘berkorban’ menampung sekitar 57 persen dari total penduduk Indonesia. Kondisi ini secara faktual diperlihatkan oleh timpangnya kepadatan penduduk per kilometer persegi di tiap daerah.

Secara nasional, kepadatan penduduk per luas wilayah hingga tahun 2014 saja, wilayah DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi, yakni sebesar 12.173 jiwa per km persegi. Artinya, setiap 1 kilometer persegi, wilayah DKI Jakarta dihuni setidaknya sebanyak 12.173 jiwa. Data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2015 menyebutkan bahwa luas DKI Jakarta yaitu 664,01 km persegi dengan jumlah penduduk sebesar 9.992.842 jiwa. Bila idealnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebanyak 30 persen dari luas, maka luas Ruang Terbangun (RT) yaitu 199,203 km persegi.

Merujuk data tersebut didapatkan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2015 telah mencapai 50.165 jiwa per km persegi. Bila diasumsikan jumlah orang dalam satu keluarga rata-rata 4 orang, setidaknya terdapat kurang lebih 12.542 Keluarga (KK) per km persegi. Hasil perhitungan agresif tersebut memiriskan. Tata bangunan pemukiman penduduk di DKI Jakarta tidak lagi secara horizontal, tetapi harus dikombinasikan dengan bangunan bertingkat atau vertikal. Itu pun belum ditambah dengan bangunan non-tempat tinggal.

Sebaliknya, kepadatan penduduk di Papua Barat yaitu 9 jiwa per km persegi. Bila asumsinya setiap KK terdiri dari 4 orang, maka setidaknya dalam 1 km persegi, di Papua Barat hanya dihuni sekitar 2 hingga 3 KK saja. Tampak sepi dan bagaimana mungkin perekonomian rakyat Papua Barat sanggup berputar bila kondisinya demikian.

Ketimpangan sebaran penduduk ini juga menimbulkan permasalah di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2015 masih merayap sekitar 5 persen. Hal ini merupakan efek dari lesunya investasi di dalam negeri dan di lain sisi, jumlah pengangguran terbuka masih terbilang tinggi.
 Sampah menumpuk kehilangan tempat  penampungannya √ Bonus Demografi atau Zonk Demografi
TPAK dan TPT Indonesia tahun 2014, (Dok.Pri)

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari tahun 2005 hingga 2014 terlihat stagnan di angka 66 hingga 68 persen dari total penduduk tiap tahunnya. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami perlambatan penurunan. Kondisi ini tentunya sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan turbulensi perekonomian nasional.

Jumlah penduduk terus bertambah, tetapi persentase yang bekerja stagnan. BPS mencatat bahwa semenjak 2006 hingga 2014, persentase TPAK masih didominasi oleh gender pria dibandingkan perempuan, dengan komposisi 60 – 70 persen pria dan 30 – 40 persen perempuan. Selain itu, BPS juga menyebutkan bahwa seruan tenaga kerja berdasarkan tamatan tertinggi masih didominasi oleh Diploma dan Perguruan Tinggi. Sedangkan suplai tenaga kerja selain tamatan Diploma dan Perguruan Tinggi melebihi suplai tenaga kerja tamatan Diploma dan Perguruan Tinggi.

Ini mengindikasikan adanya translasi orientasi seruan tenaga kerja terhadap suplai dari tenaga kerja yang ada. Alhasil, seruan tidak sanggup diimbangi oleh suplai sehingga menimbulkan terjadinya pengangguran terselubung hingga pengangguran terbuka. Perusahaan atau industri dalam negeri sepertinya lebih menentukan berpola padat modal ketimbang padat karya sehingga seruan terhadap suplai tenaga kerja begitu ketat. Berbekal kualifikasi tenaga kerja yang lebih mengutamakan level pendidikan mengakibatkan sejumlah tenaga kerja tersia-siakan. Belum lagi bila mempertimbangkan kuota tenaga kerja, tentu akan lebih menambah pengangguran bagi mereka yang tidak lolos seleksi.

Persoalan lain menyangkut efek pertumbuhan penduduk di Indonesia yaitu kondisi lingkungan. Kita semua tentu mengetahui bahwa timbulan sampah rumah tangga sejalan dengan jumlah penduduk. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga menyebutkan bahwa setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah sekitar 2 kg per hari, atau sekitar 700 kg sampah dalam setahun. Bila diasumsikan sama untuk setiap tahunnya, maka bisa dikalkulasi begitu banyak sampah yang dihasilkan di Indonesia. Tahun 2012 saja, volume sampah di Indonesia mencapai 178.850.000 ton dan 50 persen lebihnya merupakan sampah yang ditimbulkan oleh rumah tangga.

Kemelut problem menyangkut demografi dan karekateristiknya hingga kini masih menjadi topik hangat para andal demografi. Membahas soal demografi, kurang lengkap rasanya bila tidak mengaitkannya dengan fenomena Bonus Demografi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, bahkan menjadi booming news. Lantas, apa itu Bonus Demografi?.

Bonus Demografi

Bonus Demografi. Yang namanya bonus…tentu secara sederhana diartikan sebagai bentuk insentif atau kompensasi bila kita telah bekerja keras, berupaya secara maksimal, sehingga mencapai target-target yang telah direncanakan. Dengan demikian, Bonus Demografi tak lain merupakan wujud insentif atau kompensasi dari keberhasilan suatu negara, khususnya Indonesia dalam mencapai tujuan penataan struktur demografi secara nasional. Menurut Woongbongsin, dkk. (2003), Bonus Demografi secara teoritis didefinisikan sebagai laba hemat yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas (tingkat kelahiran) dalam jangka panjang.

Menurut John Ross (2004), juga menegaskan bahwa Bonus Demografi terjadi lantaran penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk usia muda sehingga investasi pemenuhan kebutuhannya sanggup berkurang dan sumber daya sanggup dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Bloom dkk. (2003) dan Bloom dkk. (2011) juga memasukkan faktor berkurangnya mortalitas di samping penurunan fertilitas sebagai jawaban terjadinya transisi demografi.

Merujuk beberapa pengertian tersebut, maka sanggup disimpulkan bahwa Bonus Demografi yaitu sebuah kondisi terjadinya penurunan fertilitas dan mortalitas yang memperlihatkan efek laba hemat sebagai jawaban terjadinya transisi demografi. Bila ditelisik lebih dalam, Bonus Demografi ditandai dengan meningkatkan proporsi jumlah penduduk usia produktif dibandingkan proporsi penduduk usia non-produktif.

Dikatakan sebagai usia produktif yakni usia dimana penduduk dikatakan secara standard memiliki kualifikasi menghasilkan nilai tambah perekonomian, baik barang maupun jasa. Menurut standard internasional, usia produktif ini berkisar antara 15 – 64 tahun, sedangkan usia non-produktif berkisar antara 0 – 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas. Perbandingan atau rasio antara jumlah penduduk usia non-produktif terhadap jumlah penduduk usia produktif ini kemudian menghasilkan sebuah angka yang dinamakan angka ketergantungan atau Dependency Ratio(DR).

Penurunan DR inilah yang memperlihatkan bahwa penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Kondisi ini secara impulsif bisa membuat ketersediaan tenaga kerja yang bisa menggerakkan turbulensi perekonomian nasional dan pada kesannya bisa mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat dan stabilitas investasi. Historikal transisi demografi Indonesia secara faktual sanggup diamati berdasarkan gambar berikut.
 Sampah menumpuk kehilangan tempat  penampungannya √ Bonus Demografi atau Zonk Demografi
Zona Bonus Demografi Indonesia 2010 - 2035, (Dok.Pri)

Penurunan DR tidak terlepas dari peranan pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus menggalakkan agenda “2 anak, cukup” bagi seluruh lapisan masyarakat. Tercatat semenjak tahun 2004 hingga 2013 saja, Total Fertility Rate(TFR) Indonesia berkisar pada angka 2. Artinya, setiap wanita usia subur di Indonesia rata-rata melahirkan anak sebanyak 2 orang hingga selesai masa reproduksinya.

Hasilnya pun tampak signifikan menekan angka kelahiran dan nilai DR pun perlahan kurang dari 50 persen semenjak tahun 2011. Menurut guru besar Demografi UI, Prof. Dr. Sri Moertiningsih A., Indonesia telah memasuki zona Bonus Demografi semenjak tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2020 – 2030. Bonus Demografi akan terjadi apabila DR berada pada rentang 40 hingga 50 persen. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung penduduk usia non-produktif sebanyak 40 – 50 jiwa.

 Sampah menumpuk kehilangan tempat  penampungannya √ Bonus Demografi atau Zonk Demografi
Proyeksi struktur penduduk Indonesia 2010 - 2035, BPS, BPPN, PBB (Dok.Pri)

Terlihat pada grafik bahwa jumlah penduduk usia 0 – 14 tahun yang diproyeksikan dari tahun 2010 hingga 2035 di Indonesia terus menurun secara berarti. Hal ini merupakan simulasi nasional apabila agenda Keluarga Berencana (KB) dan “2 anak, cukup” secara konsisten terus disosialisasikan oleh pemerintah dan pada waktunya akan mendidik masyarakat untuk lebih bijak dalam perencanaan keluarga. Data BPS juga menyebutkan bahwa hingga 2014, jumlah wanita usia subur yang memakai alat KB semakin meningkat menyentuh angka 75 persen. Kesehatan wanita usia subur tetap terjaga, tingkat kelahiran pun sanggup dikontrol dengan baik.

Capaian ini sangat akrab kaitannya dengan keberhasilan pendidikan. Aspek pendidikan merupakan tataran pokok dalam membentuk referensi pikir masyarakat. Melalui prosedur pendidikan, kerangka pikir masyarakat mulai meninggalkan paradigma usang yang menjadi ancaman fase Bonus Demografi. Dulu, kita niscaya mengenal yang namanya “banyak anak, banyak rezeki.” Pernyataan ini begitu memengaruhi masyarakat ketika itu.

Namun, sejalan dengan majunya pendidikan, kesadaran akan partisipasi sekolah kian meningkat seiring tuntutan globalisasi ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pun terus meningkat hingga menyentuh 70 poin di tahun 2015 (BPS, 2016). Selaras dengan itu, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan juga kian meningkat, terlihat bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia telah menyentuh 70,1 tahun. Ini menjadi syarat perlu bagi Indonesia dalam mengarungi fase Bonus Demografi lantaran kesiapan di bidang pendidikan merupakan salah satu bekal menentukan seberapa usang Bonus Demografi itu sanggup dinikmati oleh Indonesia. Lantas, apakah Bonus Demografi itu benar-benar sebuah bonus, ataukah sedekar zonk belaka?.

Bonus, atau Sekedar Zonk?

Para andal demografi menyebutkan bahwa Bonus Demografi mengandung sebuah fase yang disebut sebagai The Window of Opportunity (jendela kesempatan/peluang). Nampak pada grafik sebelumnya, proyeksi terjadinya Bonus Demografi di Indonesia akan berakhir pada tahun 2030. Ditandai dengan naiknya kembali angka DR Indonesia sekaligus memperlihatkan sinyal akan ancaman Baby Bloom atau ledakan kelahiran penduduk.

Perlu untuk diketahui oleh kita semua bahwa Bonus Demografi merupakan fenomena yang terjadi sekali. Yang namanya bonus, niscaya merugikan jikalau tidak sanggup ‘diambil’ atau dimanfaatkan. Layaknya “pedang bermata dua” Bonus Demografi juga akan menjadi Zonk Demografi bila disia-siakan momentumnya. Sebab, pada fase inilah suplai tenaga kerja yang berkualitas akan tercipta.

Pada fase ini, iklim investasi di Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh modal asing sanggup tergantikan oleh modal dalam negeri lantaran meningkatkan akumulasi modal kapital dan tabungan masyarakat (public saving). Bonus Demografi memperlihatkan ‘angin segar’ untuk merehabilitasi dan mentransformasi struktur demografi sehingga bisa mengurangi jumlah pengangguran.

Tak ayal pula, Bonus Demografi juga bisa membuat Good Governance dalam rangka perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik. Pada hilirnya, Bonus Demografi dibutuhkan bisa mendorong luasnya lapangan kerja untuk menampung seluruh suplai tenaga kerja atau full employement yang menjadi kunci meningkatnya pendapatan per kapita dan tumbuh pesatnya ekonomi nasional.

Apa Upaya Preventif Terjadinya Zonk Demografi?

Indonesia telah berprestasi soal kondisi demografinya. Indonesia telah berhasil dalam satu dekade terakhir bisa mengurangi tingkat kelahiran. Menekan tingkat kelahiran ini menjadi kunci dalam membuka gerbang The Window of Opportinity Bonus Demografi. Namun sebaliknya, bila Indonesia gagal memanfaatkan momentum emas ini, Zonk Demografilah yang akan terjadi. Angka DR memang menurun, tetapi pertumbuhan ekonomi masih melambat atau yang lebih ekstrem justru negatif.

Tingkat kelahiran memang menurun, tetapi tingkat kematian justru bertambah. Lapangan pekerjaan boleh jadi semakin luas dan terbuka, tetapi tingkat pengangguran terbuka masih menjadi parasit nasional. Pertumbuhan ekonomi boleh jadi meningkat tetapi tidak berkualitas lantaran daya serap tenaga kerjanya sangat kurang sehingga berdampak kemiskinan makin merajalela. Sebagai upaya preventif, terdapat beberapa prosedur yang setidaknya menjadi rekomendasi kepada seluruh elemen bangsa Indonesia.

Upaya pertama yaitu melalui pendidikan. Pendidikan yang berkualitas merupakan kunci pokok dalam membina generasi muda Indonesia supaya lebih siap di dalam menghadapi persaingan kala global. Pendidikan yang berkualitas dibutuhkan bisa membentuk abjad dan kerangka pikir kelompok penduduk usia muda supaya sewaktu telah menginjak usia produktif, mereka dibutuhkan bisa berkarya secara nyata di dalam meningkatkan nilai tambah perekonomian negara.

Tak hanya itu, melalui pendidikan, kualitas mental dan spiritualitas juga harus dibangun supaya di masa depan tidak terjerumus dan hanyut dalam lingkungan dan ajaran yang merugikan bangsa dan negara. Pendidikan itu mencakup banyak sekali bidang, baik sains dan teknologi maupun di bidang kesehatan reproduksi guna menjamin kesehatan hidupnya sekaligus memproteksinya terhadap lingkungan bermental buruk. Dengan pendidikan yang berkualitas, pada waktunya akan membuat abjad insan yang sadar dan peduli terhadap lingkungan sehingga pertumbuhan penduduk tak lagi menjadi sumber kumuh dan rusaknya lingkungan.

Upaya kedua yaitu dengan pembekalan soft skill pada seluruh elemen masyarakat. Tidak terbatas pada kalangan usia muda, pembekalan soft skill juga bisa diberikan sedini mungkin kepada penduduk usia menjelang non-produktif. Pembekalan soft skill sanggup mencakup eksplorasi kapasitas pribadi, semisal pendalaman hobi atau bakat, atau dengan membekali sebuah ilmu mudah yang masih sanggup dilakukan untuk mereka yang berusia lanjut, contohnya menulis buku, menjahit, menenun, atau membuat dekorasi-dekorasi sederhana. Dengan demikian, setidaknya akan meningkatkan jangka waktu Bonus Demografi berlangsung lantaran akan tetap mengurangi angka DR Indonesia.

Upaya ketiga yaitu secara konsisten menggalakkan agenda Keluarga Berencana (KB) kepada seluruh lapisan masyarakat serta agenda “2 anak, cukup.” Bahkan agenda ini bisa ditingkatkan levelnya menjadi “1 anak, cukup.” Hal ini sanggup terus dilanjutkan mengingat dampaknya telah terbukti ampuh mengurangi tingkat kelahiran di Indonesia.

Upaya keempat yaitu mengubah mainset perusahaan atau industri di Indonesia. Dengan adanya teknologi, selama ini tingkat peresapan tenaga kerja di Indonesia masih dianggap kurang. Hal itu disebabkan lantaran faktor teknologi menjadikan semakin naiknya seruan kualitas tenaga kerja dalam kualifikasinya. Demand lantaran teknologi menjadikan kebutuhan tenaga kerja perusahaan menurun tetapi dengan kualitas tenaga kerja yang terjaring yang tinggi.

Pada posisi ini, dari segi Supply tenaga kerja yang tersedia masih tidak bisa untuk memenuhi seruan tersebut. Alhasil, meskipun terdapat banyak penduduk usia produktif, tetapi bila ia hanya lulusan SMA, apalagi ke bawah, tidak terjaring sebagai tenaga kerja sesuai seruan perusahaan. Pemerintah tentunya dibutuhkan memiliki cara mengatasi kondisi ibarat ini, contohnya melaksanakan intervensi perusahaan-perusahaan dalam negeri atau asing yang berada di dalam negeri untuk mengutamakan indikator usia produktif di dalam sistem perekrutan tenaga kerja, pegawai atau karyawan.

Upaya kelima yaitu meningkatkan iklim investasi di luar Jawa, terutama di Indonesia pecahan Timur. Dalam rangka pemerataan ekonomi nasional, pemerintah melalui bidang perdagangan, industri dan pariwisata sanggup melaksanakan upaya menstimulus timbulnya lahan-lahan investasi yang sehat di kawasan Indonesia Timur. Dengan cara meningkatkan promosi nasional maupun internasional dan percepatan pembangunan infrastruktur ekonomi, tentunya akan menjadi peluang memperbaiki iklim investasi dalam negeri, termasuk ketimpangan pembangunan ekonomi.

Upaya keenam yaitu menjamin kesehatan masyarakat dan jaminan hari tua. Mekanisme ini secara eksklusif akan menjamin kontinuitas struktur demografi nasional sehingga tingkat mortalitas atau kematian tetap bisa ditekan dan sanggup menjamin segala kebutuhan masyarakat di usia lanjutnya kelak. Implementasinya sudah terlihat semenjak kini dengan maraknya agenda pertolongan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jamkesda, Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Ketenagakerjaan serta dana pension bagi pegawai negeri.

Upaya ketujuh yaitu merangsang tumbuhnya industri kreatif. Mengingat ketika ini fase Bonus Demografi Indonesia dihadapkan pada kondisi persaingan ekonomi bebas kala Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka percepatan tumbuh dan pesatnya industri berbasis kreativitas menjadi kunci utama.

Orientasi industri kreatif yang padat karya dibutuhkan selain memiliki backward lingkagedan forward lingkage yang tinggi, juga bisa mendongkrak kualitas pertumbuhan ekonomi nasional. Daya serap industri kreatif terhadap suplai tenaga kerja yang terbilang tinggi menjadi sektor ini sangat potensial menurunkan angka DR Indonesia secara signifikan. Dengan begitu, daya tahan Bonus Demografi yang terjadi di Indonesia akan tinggi, bahkan mungkin tidak hingga tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara maju dan sejajar dengan negara lainnya.

Upaya kedelapan yaitu meningkatkan riset dan penggembangan atau Research and Development(R & D) di bidang Demografi. Upaya ini merupakan kiprah dari BKKBN dan pihak lainnya yang terkait kependudukan Indonesia untuk terus melaksanakan penelitian dan pengembangan program, baik reformasi agenda maupun penemuan program. Upaya itu tidak lain bertujuan untuk melaksanakan banyak sekali rekayasa demografi Indonesia, terutama dari segi struktur penduduknya sekaligus melaksanakan banyak sekali simulasi demografi untuk perencanaan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.

Makara jelaslah bahwa Bonus Demografi itu hendaknya kita manfaatkan secara maksimal. Itu memerlukan banyak sekali upaya dan perencanaan. Sebab, bila tidak demikian, yang timbul justru Zonk Demografi atau kesia-siaan alias kegagalan demografi. Hal itu tentu bukanlah harapan. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa dan negara Indonesia ini harus ‘hadir’ di dalam menyukseskan momentum Bonus Demografi ini supaya bisa mencapai harapan nasional, yaitu kesejahteraan.

Sumber referensi:

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta: BPS.

BPPN, BPS dan PBB. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035. Jakarta: BPS.

Bank Dunia. 2011. Indonesia’s Intergovermental Transfer : Response of Demograhpic and Urbanization Shifts.

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI. 2015. Analisis Bonus Demografi Sebagai Kesempatan Memacu Percepatan Industri di Indonesia. [Jurnal Kependudukan]. Jakarta: Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN.

Jalal, Fasli. 2014. Peranan Gizi dalam Memanfaatkan Bonus Demografi. [Seminar Ilmiah Kongres PERSAGI XV disampaikan di Yogyakarta 25 November 2014].

Konadi, Win dan Iba, Z. 2011. Bonus Demografi Modal Membangun Bangsa yang Sehat dan Bermartabat. [Jurnal Variasi]. Vol.2.No.6.h.18 – 23. ISSN: 2085.

OECD. 2015. Ikhtisar Survei Ekonomi OECD Indonesia 2015.

Purba, E.T.F. 2016. Analisis Dampak Bonus Demografi Terhadap Ketersediaan Lapangan Kerja di Kota Medan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/