Sumber foto:http://www.sascommunity.org/planet/blog/category/proc-reg/
Ekonometrika begitu dekat kaitannya dengan statistika. Sebab, ekonometrika mengkolaborasikan antara fenomena ekonomi dengan instrumen statistik untuk menghasilkan suatu model perekonomian. Pada cuilan awal pembahasan model ekonometrika, kita telah mengetahui bahwa perkiraan dasar sebuah penelitian ialah ketidakpercayaan terhadap teori ekonomi yang ada. Dengan alasan realita atau fenomena ekonomi, teori menjadi sebuah kondisi ideal yang (masih) perlu diuji kebenarannya.
Landasan awal itu melahirkan apa yang disebut sebagai hipotesis awal. Bahasa umumnya orang menyampaikan sebagai hipotesis nol. Sebagai anggapan sementara, hipotesis menjadi titik pangkal diadakannya sebuah penelitian. Jika akibatnya mendapatkan hipotesis awal, maka akan semakin memperkuat teori. Namun sebaliknya, bila akibatnya menolak maka menjadi suatu “pengurang” kekuatan teori sebelumnya sebagai teori “baru”.
Kasus mudahnya ketika hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat korelasi antara biaya iklan terhadap volume penjualan. Kerangka ini memicu kita mempunyai sifat ilmiah sehingga memunculkan rasa tidak percaya dengan statemen itu. Minimal diri kita mengatakan, “Benarkah?” atau “Apa benar demikian?”. Sifat itulah yang menjadi dorongan besar lengan berkuasa bagi kita untuk menunjukan sebuah kebenaran teori.
Berangkat dari motif itu, penelitian dilakukan. Dalam banyak sekali literatur umum, diketahui bahwa kesalahan penelitian perlu diperhatikan ialah kesalahan tipe I.
Mengapa?.
Kesalahan tipe I merupakan salah satu kesalahan yang lumrah terjadi dikala pengujian hipotesis. Kesalahan tipe I didefinisikan sebagai kesalahan pengambilan keputusan menolak hipotesis awal, padahal hipotesis awal itu benar. Selain kesalahan tipe I, ada pula kesalahan tipe II, yaitu kesalahan yang terjadi lantaran mendapatkan hipotesis awal, padahal bekerjsama hipotesis awal itu salah. Lantas, mengapa banyak sekali penelitian yang ada selalu memakai kesalahan tipe I dibandingkan kesalahan tipe II?.
Bila kita amati kembali, kesalahan tipe I merupakan kesalahan lantaran menolak hipotesis awal. Dasar penolakan itu, sebagai penguji, kita telah berbekal data atau info numeris. Dari hasil pemungutan data itulah, hipotesis awal kita uji kebenarannya. Data atau info itu pula yang melandasi keilmiahan bila akibatnya menolak hipotesis awal.
Logikanya, kita benar-benar bisa mengukur sekaligus mengetahui peluang kesalahan uji kita dengan data yang ada. Pun, ukuran besarnya peluang kesalahan itu sanggup kita nyakini, alasannya ialah aspek teknis dan metodologis terkandung dalam data serta bagaimana data tersebut didapatkan.
Sangat berbeda bila kita memakai kesalahan tipe II sebagai dasar menolak atau mendapatkan hipotesis awal. Dari definisinya, kesalahan tipe II sangat sulit diukur alasannya ialah kebenaran hipotesis awal sendiri belum terbukti tanpa melaksanakan uji berdasar data atau info yang tersedia. Bagaimana mungkin telah terjadi kesalahan mendapatkan hipotesis awal padahal bernilai salah?. Tentu, untuk mendapatkan hipotesis awal, dibutuhkan adanya landasan berupa data atau info dahulu.
Saat pernyataan biaya iklan mempunyai efek terhadap volume penjualan bernilai salah, pada kondisi ini, tidak terdapat inferensi yang mendukungnya. Selain itu, keterbatasan info tidaklah cukup bisa menjustifikasi bahwa pernyataan tersebut benar. Situasi inilah yang menjadi rujukan penggunaan kesalahan tipe I dalam penelitian dibanding kesalahan tipe II. Penelitian yang diadakan motifnya ingin menolak, apa dasarnya? Ya, data atau info yang kemudian diuji memakai statistik uji yang relevan. Hasilnya, bila kenyataannya menerima, maka menjadi “kemakluman” lantaran teori terbentuk dari hasil kebanyakan penelitian sebelumnya. Namun sebaliknya, apabila akibatnya menolak, kita pun mempunyai dasar, yaitu hasil uji hipotesis terhadap data.
Kesalahan tipe I begitu tampak terperinci lantaran mempunyai landasan data, begitu pula besarannya pun sanggup diatur sedemikian rupa. Menurut Walpole (1995), kesalahan tipe I sanggup diminimalkan dengan jalan menambah jumlah sampel atau amatan data. Dalam kaidah pengujian hipotesis pada umumnya, ukuran sampel atau amatan data yang semakin bertambah menawarkan peluang besar bagi kita bahwa kesalahan tipe I yang terjadi sanggup diperkecil. Bila kesalahan tipe I itu disimbolkan sebagai α, maka peluang kita ialah sebesar 1 – α.
Ekonometrika begitu dekat kaitannya dengan statistika. Sebab, ekonometrika mengkolaborasikan antara fenomena ekonomi dengan instrumen statistik untuk menghasilkan suatu model perekonomian. Pada cuilan awal pembahasan model ekonometrika, kita telah mengetahui bahwa perkiraan dasar sebuah penelitian ialah ketidakpercayaan terhadap teori ekonomi yang ada. Dengan alasan realita atau fenomena ekonomi, teori menjadi sebuah kondisi ideal yang (masih) perlu diuji kebenarannya.
Landasan awal itu melahirkan apa yang disebut sebagai hipotesis awal. Bahasa umumnya orang menyampaikan sebagai hipotesis nol. Sebagai anggapan sementara, hipotesis menjadi titik pangkal diadakannya sebuah penelitian. Jika akibatnya mendapatkan hipotesis awal, maka akan semakin memperkuat teori. Namun sebaliknya, bila akibatnya menolak maka menjadi suatu “pengurang” kekuatan teori sebelumnya sebagai teori “baru”.
Kasus mudahnya ketika hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat korelasi antara biaya iklan terhadap volume penjualan. Kerangka ini memicu kita mempunyai sifat ilmiah sehingga memunculkan rasa tidak percaya dengan statemen itu. Minimal diri kita mengatakan, “Benarkah?” atau “Apa benar demikian?”. Sifat itulah yang menjadi dorongan besar lengan berkuasa bagi kita untuk menunjukan sebuah kebenaran teori.
Berangkat dari motif itu, penelitian dilakukan. Dalam banyak sekali literatur umum, diketahui bahwa kesalahan penelitian perlu diperhatikan ialah kesalahan tipe I.
Mengapa?.
Kesalahan tipe I merupakan salah satu kesalahan yang lumrah terjadi dikala pengujian hipotesis. Kesalahan tipe I didefinisikan sebagai kesalahan pengambilan keputusan menolak hipotesis awal, padahal hipotesis awal itu benar. Selain kesalahan tipe I, ada pula kesalahan tipe II, yaitu kesalahan yang terjadi lantaran mendapatkan hipotesis awal, padahal bekerjsama hipotesis awal itu salah. Lantas, mengapa banyak sekali penelitian yang ada selalu memakai kesalahan tipe I dibandingkan kesalahan tipe II?.
Bila kita amati kembali, kesalahan tipe I merupakan kesalahan lantaran menolak hipotesis awal. Dasar penolakan itu, sebagai penguji, kita telah berbekal data atau info numeris. Dari hasil pemungutan data itulah, hipotesis awal kita uji kebenarannya. Data atau info itu pula yang melandasi keilmiahan bila akibatnya menolak hipotesis awal.
Logikanya, kita benar-benar bisa mengukur sekaligus mengetahui peluang kesalahan uji kita dengan data yang ada. Pun, ukuran besarnya peluang kesalahan itu sanggup kita nyakini, alasannya ialah aspek teknis dan metodologis terkandung dalam data serta bagaimana data tersebut didapatkan.
Sangat berbeda bila kita memakai kesalahan tipe II sebagai dasar menolak atau mendapatkan hipotesis awal. Dari definisinya, kesalahan tipe II sangat sulit diukur alasannya ialah kebenaran hipotesis awal sendiri belum terbukti tanpa melaksanakan uji berdasar data atau info yang tersedia. Bagaimana mungkin telah terjadi kesalahan mendapatkan hipotesis awal padahal bernilai salah?. Tentu, untuk mendapatkan hipotesis awal, dibutuhkan adanya landasan berupa data atau info dahulu.
Saat pernyataan biaya iklan mempunyai efek terhadap volume penjualan bernilai salah, pada kondisi ini, tidak terdapat inferensi yang mendukungnya. Selain itu, keterbatasan info tidaklah cukup bisa menjustifikasi bahwa pernyataan tersebut benar. Situasi inilah yang menjadi rujukan penggunaan kesalahan tipe I dalam penelitian dibanding kesalahan tipe II. Penelitian yang diadakan motifnya ingin menolak, apa dasarnya? Ya, data atau info yang kemudian diuji memakai statistik uji yang relevan. Hasilnya, bila kenyataannya menerima, maka menjadi “kemakluman” lantaran teori terbentuk dari hasil kebanyakan penelitian sebelumnya. Namun sebaliknya, apabila akibatnya menolak, kita pun mempunyai dasar, yaitu hasil uji hipotesis terhadap data.
Kesalahan tipe I begitu tampak terperinci lantaran mempunyai landasan data, begitu pula besarannya pun sanggup diatur sedemikian rupa. Menurut Walpole (1995), kesalahan tipe I sanggup diminimalkan dengan jalan menambah jumlah sampel atau amatan data. Dalam kaidah pengujian hipotesis pada umumnya, ukuran sampel atau amatan data yang semakin bertambah menawarkan peluang besar bagi kita bahwa kesalahan tipe I yang terjadi sanggup diperkecil. Bila kesalahan tipe I itu disimbolkan sebagai α, maka peluang kita ialah sebesar 1 – α.
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/