Inflasi dan Arus Transaksi Perdagangan, sumber foto: https://jalantikus.com/amp/tips/cara-mendapatkan-uang-dari-smartphone/
Inflasi tak ubahnya menjadi "pengusik" perekonomian suatu negara, khususnya Indonesia. Bila negara dipandang sebagai sebuah "rumah tangga", maka tentu setiap harinya tak lepas dari yang namanya kebutuhan. Kebutuhan itu harus terpenuhi dengan baik serta secara kontinu.
Kebutuhan mendorong adanya kegiatan jual dan beli, pengeluaran dan pemasukan. Antara jual dan beli atau pemasukan dan pengeluaran, itu haruslah terjaga semoga minimal tetap seimbang. Tapi, inflasi menjadikan terjadinya usikan-usikan sehingga kedua hal tersebut menjadi tak seimbang. Lantas, sebagai sebuah rumah tangga, apa yang harus dilakukan jikalau kondisi tak seimbang?
Seperti pada umumnya, transaksi jual atau beli begitu bersahabat dengan yang namanya neraca. Kalau dalam konteks negara, namanya neraca perdagangan. Bagaimana bila inflasi menganggu keseimbangan?
Inflasi itu kan rupiah terhadap mata uang absurd semisal dolar lebih rendah nilainya. Otomatis, barang jasa domestik harganya mahal. Kalau mahal, Indonesia haruslah mengimpor barang dari luar negeri dong, yang lebih murah. Akibatnya, nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor Indonesia ke luar negeri. Inilah yang lalu disebut defisit neraca perdagangan.
Inflasi menjadikan nilai riil rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini diistilahkan bahwa rupiah terdepresiasi. Sentimen pasar uang untuk memegang rupiah buruk, pelaku perjuangan takut pegang rupiah. Mereka lebih menentukan dolar.
Namun sebaliknya, bila nilai riil rupiah lebih dari dolar, kondisi ini diistilahkan bahwa rupiah sedang terapresiasi. Pasar uang memandang bahwa, ooo mending pegang rupiah lebih aman. Indonesia pun merasa bahwa komoditas domestik sedang murah nih, wah lebih baik diekspor saja, kan lebih mahal. Kondisi ini mengatakan bahwa nilai ekspor lebih besar dari impor dan lalu disebut sebagai neraca perdagangan Indonesia sedang mengalami surplus.
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/