Pasar dalam teori ekonomi didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli yang melaksanakan transaksi jual-beli barang atau jasa pada waktu tertentu dengan memakai alat pembayaran yang sah. Pasar menempati posisi sentral dalam kehidupan kita sehari-hari, alasannya apa yang kita butuhkan sebagian besar sanggup terpenuhi dengan adanya pasar.
Apa yang kita makan, kita pakai atau kita gunakan, lebih banyak didominasi tersedia di pasar. Tanpa pasar, sirkulasi finansial tidak akan terjadi. Tanpa pasar, tidak akan terjadi keluh kesah masyarakat lantaran tak bisa membeli sesuatu.
Jaminan ketersediaan barang dan jasa di pasar selain memengaruhi besar kecilnya pengeluaran, juga terhadap struktur pengeluaran kita. Atau sekelompok tempat tertentu. Bila di pasar adanya cuma barang A, B dan C, maka struktur pengeluaran masyarakat termasuk kita kemungkinan besar ya barang A, B dan C. Ketersediaan barang atau jasa dalam pasar menunjukkan restriksi atau batasan hambatan impian kita yang tak terbatas. Sebetulnya kita bisa saja ingin membeli barang D di pasar, tapi lantaran tidak ada, mungkin kita merelakannya. Dalam hal ini, pasar yang dimaksudkan yaitu pasar offline.
Tak hanya tempat saja yang memengarugi struktur pengeluaran kita, tetapi pendapatan juga ikut andil. Bila pendapatan kita sehari hanya Rp. 100.000,- paling-paling jumlah barang atau jasa yang sanggup kita beli sekitar 1 hingga 10 jenis saja. Sebaliknya, kalau pendapatan kita tak lebih dari itu, maka heterogenitas barang jasa yang mungkin sanggup kita beli justru berkurang. Kondisi ini harus pas, pas ada barang, pas ada uang, pas ada impian untuk memiliki.
Lantas, apakah struktur pengeluaran masyarakat diharuskan sangat bervariasi? Bukan diharuskan. Sebab, di Indonesia ini budaya setempat juga memengaruhi struktur pengeluaran lho. Aspek budaya menyebabkan rujukan undangan terhadap suatu jenis barang juga unik, bahkan jauh dari ekspektasi bahwa pengeluaran harus bervariasi. Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/