Teori yaitu hasil daypikir logik terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu yang dirangkum menjadi suatu konsep gagasan, pandangan, perilaku dan atau cara-cara yang intinya menguraikan nilai-nilai dan tujuan tertentu yang teraktualisasi dalam proses korelasi situasional, korelasi kondisional, atau korelasi fungsional di antara hal-hal yang terekam dari fenomena atau realitas tersebut; dan hasil daypikir tersebut sanggup diterima khalayak sebagai suatu disiplin ilmu.
Fungsi Teori dalam penyusunan Proposal Penelitian, Tesis dan Disertasi adalah
Masalah penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian yang diramaikan dengan kutipan teori yaitu penempatan fungsi teori yang tidak tepat. Alasannya, teori itu bukan obyek penelitian. Karena fungsi Sub Bab Latar Belakang penelitian yaitu untuk mengungkapkan suatu fenomena yang dijadikan obyek penelitian, maka yang perlu dideskripsikan yaitu data faktual yang menyatakan fenomena; bukan mendeskripsikan teori-teori untuk menyatakan fenomena. Artinya, penempatan fungsi teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian tidak tepat. Mungkin ada pembenaran terhadap penempatan teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian, namun pembenaran itu justru memperlemah langkah awal Kandidat dalam membangun suatu konsep gagasan. Mengapa dikatakan demikian, alasannya yaitu konsep gagasan yang dibangun itu tidak berasal dari pemikiran logik Kandidat terhadap fenomena, tetapi berasal dari pemikiran teoritis. Konsep gagasan itu sebaiknya dibangun secara murni berdasarkan kekuatan daypikir logik terhadap hal-hal yang dikritisi.
Masalah teknis pengutipan teori yang kurang cermat muncul apabila Kandidat kurang memahami ketentuan teknis pengutipan teori. Teknis pengutipan teori ini meliputi penyebutan nama nara sumber, tahun penerbitan buku dan halaman pengukutipan serta tata cara penempatan kutipan teori. Masalah ini sanggup segera diatasi dengan mempelajari panduan teknis pengutipan teori, termasuk penyusunan daftar pustaka, yang diterbitkan oleh masing-masing program.
Masalah pokok dalam proses penerapan fungsi teori yaitu sulit menemukan teori-teori yang secara struktural sanggup dijadikan landasan teoritis untuk penyusunan definisi konseptual variabel penelitian, dimensi-dimensi kajian dan indikator-indikator penelitian yang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek penelitian. (Olalaah piye toh mbah, kulo juga mboten ngertos carane ngolah teori, mbok yaow memang ndak ada tuh pelajaran teori mengolah teori untuk menyusun usulan penelitian!)
Penggunakan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori yaitu salah satu kasus yang mungkin dihadapi Kandidat. Penggunaan teori ibarat ini biasanya timbul dari kalangan pemegang otoritas yang masih berpandangan konservatif. Terhadap obyek atau variabe-variabel tertentu pemaksaan teori itu mungkin sanggup diterima, alasannya yaitu rujukan teori untuk itu memang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail (secara struktural teori sanggup menunjukkan pemahaman konseptual, dimensi-dimensi kajian yang tercakup dalam pemahaman konseptual, dan indikator-indikator penelitian pada masing-masing dimensi kajian).
Namun kenyataannya sulit menemukan teori yang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail. Pada umumnya teori-teori hanya sanggup menunjukkan hal-hal yang sanggup dijadikan dimensi-dimensi kajian saja. Indikator-indikator penelitian yang tercakup dalam klasifikasi dimensi-dimensi kajian lebih banyak diciptakan atau ditemukan sendiri oleh Kandidat.
Mengapa demikian, alasannya yaitu teori-teori yang tercakup dalam disiplin ilmu-ilmu non eksata cenderung tidak bersifat universal. Karena cenderung tidak bersifat universal, maka teori-teori yang tercakup dalam ilmu-ilmu non eksata, terutama rumpun ilmu politik dan ilmu sosial, tidak sanggup dipaksakan untuk sepenuhnya dijadikan instrumen penggalian banyak sekali indikator yang tercakup dalam suatu obyek atau variabel penelitian yang memiliki aksara tersendiri.
Misalnya, obyek atau variabel Rumah Orang Kaya tentu memiliki tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang yang sangat berbeda dengan tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang pada variabel Rumah Orang Miskin. Meskipun kedua obyek tersebut sama-sama rumah, namun karakteristik masing-masing rumah tentu sangat berbeda. Makara tidak relevan memakai pendekatan teori rumah orang kaya untuk menilai obyek rumah orang miskin. Disamping itu ada keterbatasan jangkauan fungsi teori.
Sebagai misal, George R. Terry, Hennry Fayol dan pakar-pakar sosiologi lainnya memang menunjukkan fungsi-fungsi administrasi yang agak berbeda, namun fungsi-fungsi administrasi yang ditunjukan mereka itu masih bersifat umum. Ketika teori mereka itu digunakan untuk menyusun konsep operasional variabel Manajemen Warteg, maka dari mereka itu kita hanya sanggup mengambil fungsi-fungsi administrasi untuk ditetapkan menjadi dimensi-dimensi kajian.
Fungsi-fungsi yang dimaksud ibarat fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pengawasan (controling), fungsi penggerakan (directing), dan fungsi pelaporan (reporting). Pengambilan fungsi-fungsi itu pun harus diadaptasi dengan karakteristik Manajemen Warteg. Misalnya, fungsi organizing kurang relevan untuk dijadikan salah satu dimensi kajian, alasannya yaitu Manajemen Warteg menganut referensi pengorganisasian yang tidak terstruktur dan non formal.
Selanjutnya, alasannya yaitu para pakar sosiologi itu tidak menunjukkan indikator-indikator khusus untuk mengoperasionalkan variabel Manajemen Warteg, maka Kandidatlah yang harus menemukan indikator-indikator untuk masing-masing fungsi administrasi yang dikemukakan oleh para pakar itu, biar fungsi-fungsi administrasi yang dijadikan dimensi-dimensi kajian itu sanggup dioperasionalkan dan ”langsung nyambung” dengan hal-hal yang menjadi ciri karakteristik obyek atau variabel penelitian, yaitu Manajemen Warteg Mas Gimin.
Penggunaan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori memang diharuskan jika ilmu yang dipelajari termasuk ilmu-ilmu eksata, dan perkara-perkara yang diteliti pun memang bersifat eksata. Penggunaan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori untuk penelitian sosial memang agak janggal.
Penggunaan teori yang tidak relevan. Ada pemegang otoritas penyelesaian kiprah final studi yang memaksa Kandidat untuk memasukan teori-teori yang bekerjsama tidak relevan untuk dijadikan rujukan penyusunan konsep penelitian. Bila teori-teori yang tidak relevan itu dipaksakan juga untuk menjadi rujukan penyusunan konsep penelitian, maka kemungkinan yang terjadi yaitu bahwa konsep tersebut sanggup nggak nyambung dengan karakteristik obyek atau variabel penelitian. Ada juga pemegang otoritas yang memaksakan Kandidat harus merujuk sekian banyak teori, dan bahkan diwajibkan mengutamakan teori-teori dari penulis asing. Persoalannya bukan terletak pada seberapa banyak teori yang harus dirujuk, dan siapa penulis teori itu, tetapi terletak pada duduk kasus apakah teori-teori itu cocok untuk dijadikan instrumen pengungkapan karaktersitik obyek atau variabel penelitian. Artinya, teori-teori yang dirujuk hendaknya benar-benar fungsional untuk menyusun konsep penelitian yang sesuai dengan karateristik obyek atau variabel penelitian.
Cara pengelolaan teori yang tidak rasional. Ada pula kebijakan kegiatan yang mewajibkan Kandidat membaca sekian puluh buku dan hasil pembacaan buku itu disusun menjadi bab dari penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan ibarat ini dikenal dengan sebutan ”Reading Course”. Kebijakan ibarat itu berlaku pada kegiatan yang memang sangat menonjolkan jenis penelitian deskriptif. Dengan kebijakan yang demikian itu, fenomena yang dijadikan obyek penelitian dan judul penelitian terkesan didapat dari rujukan teori atau berdasarkan teori. Kebijakan kegiatan ibarat itu kurang tepat.
Karena pengelolaan teori yang tidak didasarkan pada suatu konsep gagasan yang terang dan niscaya justru sanggup mengaburkan fungsi teori dalam penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan ibarat itu sanggup juga dianggap tidak benar, alasannya yaitu sama saja dengan menyatakan bahwa proses pengajaran sekian banyak teori, termasuk metodologi penelitian, selama sekian tahun masa perkuliahan, dianggap percuma atau dianggap tidak efektif untuk membekali Kandidat. Sebaiknya teori yang dirujuk sudah didasarkan pada konsep gagasan yang terang dan pasti. Sebagai misal, variabel X yaitu Motivasi dan variabel Y yaitu Kinerja, maka dengan sendirinya teori-teori yang dirujuk yaitu teori motivasi dan teori kinerja. Di luar kedua teori tersebut tidak ada gunanya.

Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.comFungsi Teori dalam penyusunan Proposal Penelitian, Tesis dan Disertasi adalah
- Sebagai Pengantar Pemahaman Variabel Penelitian
- Landasan Teoritis Penyusunan Konsep Penelitian
- Rujukan Pembahasan Hasil Penelitian
Masalah penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian yang diramaikan dengan kutipan teori yaitu penempatan fungsi teori yang tidak tepat. Alasannya, teori itu bukan obyek penelitian. Karena fungsi Sub Bab Latar Belakang penelitian yaitu untuk mengungkapkan suatu fenomena yang dijadikan obyek penelitian, maka yang perlu dideskripsikan yaitu data faktual yang menyatakan fenomena; bukan mendeskripsikan teori-teori untuk menyatakan fenomena. Artinya, penempatan fungsi teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian tidak tepat. Mungkin ada pembenaran terhadap penempatan teori dalam penyusunan Sub Bab Latar Belakang penelitian, namun pembenaran itu justru memperlemah langkah awal Kandidat dalam membangun suatu konsep gagasan. Mengapa dikatakan demikian, alasannya yaitu konsep gagasan yang dibangun itu tidak berasal dari pemikiran logik Kandidat terhadap fenomena, tetapi berasal dari pemikiran teoritis. Konsep gagasan itu sebaiknya dibangun secara murni berdasarkan kekuatan daypikir logik terhadap hal-hal yang dikritisi.
Masalah teknis pengutipan teori yang kurang cermat muncul apabila Kandidat kurang memahami ketentuan teknis pengutipan teori. Teknis pengutipan teori ini meliputi penyebutan nama nara sumber, tahun penerbitan buku dan halaman pengukutipan serta tata cara penempatan kutipan teori. Masalah ini sanggup segera diatasi dengan mempelajari panduan teknis pengutipan teori, termasuk penyusunan daftar pustaka, yang diterbitkan oleh masing-masing program.
Masalah pokok dalam proses penerapan fungsi teori yaitu sulit menemukan teori-teori yang secara struktural sanggup dijadikan landasan teoritis untuk penyusunan definisi konseptual variabel penelitian, dimensi-dimensi kajian dan indikator-indikator penelitian yang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek penelitian. (Olalaah piye toh mbah, kulo juga mboten ngertos carane ngolah teori, mbok yaow memang ndak ada tuh pelajaran teori mengolah teori untuk menyusun usulan penelitian!)
Penggunakan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori yaitu salah satu kasus yang mungkin dihadapi Kandidat. Penggunaan teori ibarat ini biasanya timbul dari kalangan pemegang otoritas yang masih berpandangan konservatif. Terhadap obyek atau variabe-variabel tertentu pemaksaan teori itu mungkin sanggup diterima, alasannya yaitu rujukan teori untuk itu memang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail (secara struktural teori sanggup menunjukkan pemahaman konseptual, dimensi-dimensi kajian yang tercakup dalam pemahaman konseptual, dan indikator-indikator penelitian pada masing-masing dimensi kajian).
Namun kenyataannya sulit menemukan teori yang sanggup merepresentasikan karakteristik obyek atau variabel secara mendetail. Pada umumnya teori-teori hanya sanggup menunjukkan hal-hal yang sanggup dijadikan dimensi-dimensi kajian saja. Indikator-indikator penelitian yang tercakup dalam klasifikasi dimensi-dimensi kajian lebih banyak diciptakan atau ditemukan sendiri oleh Kandidat.
Mengapa demikian, alasannya yaitu teori-teori yang tercakup dalam disiplin ilmu-ilmu non eksata cenderung tidak bersifat universal. Karena cenderung tidak bersifat universal, maka teori-teori yang tercakup dalam ilmu-ilmu non eksata, terutama rumpun ilmu politik dan ilmu sosial, tidak sanggup dipaksakan untuk sepenuhnya dijadikan instrumen penggalian banyak sekali indikator yang tercakup dalam suatu obyek atau variabel penelitian yang memiliki aksara tersendiri.
Misalnya, obyek atau variabel Rumah Orang Kaya tentu memiliki tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang yang sangat berbeda dengan tata ruang dan indikator-indikator setiap ruang pada variabel Rumah Orang Miskin. Meskipun kedua obyek tersebut sama-sama rumah, namun karakteristik masing-masing rumah tentu sangat berbeda. Makara tidak relevan memakai pendekatan teori rumah orang kaya untuk menilai obyek rumah orang miskin. Disamping itu ada keterbatasan jangkauan fungsi teori.
Sebagai misal, George R. Terry, Hennry Fayol dan pakar-pakar sosiologi lainnya memang menunjukkan fungsi-fungsi administrasi yang agak berbeda, namun fungsi-fungsi administrasi yang ditunjukan mereka itu masih bersifat umum. Ketika teori mereka itu digunakan untuk menyusun konsep operasional variabel Manajemen Warteg, maka dari mereka itu kita hanya sanggup mengambil fungsi-fungsi administrasi untuk ditetapkan menjadi dimensi-dimensi kajian.
Fungsi-fungsi yang dimaksud ibarat fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pengawasan (controling), fungsi penggerakan (directing), dan fungsi pelaporan (reporting). Pengambilan fungsi-fungsi itu pun harus diadaptasi dengan karakteristik Manajemen Warteg. Misalnya, fungsi organizing kurang relevan untuk dijadikan salah satu dimensi kajian, alasannya yaitu Manajemen Warteg menganut referensi pengorganisasian yang tidak terstruktur dan non formal.
Selanjutnya, alasannya yaitu para pakar sosiologi itu tidak menunjukkan indikator-indikator khusus untuk mengoperasionalkan variabel Manajemen Warteg, maka Kandidatlah yang harus menemukan indikator-indikator untuk masing-masing fungsi administrasi yang dikemukakan oleh para pakar itu, biar fungsi-fungsi administrasi yang dijadikan dimensi-dimensi kajian itu sanggup dioperasionalkan dan ”langsung nyambung” dengan hal-hal yang menjadi ciri karakteristik obyek atau variabel penelitian, yaitu Manajemen Warteg Mas Gimin.
Penggunaan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori memang diharuskan jika ilmu yang dipelajari termasuk ilmu-ilmu eksata, dan perkara-perkara yang diteliti pun memang bersifat eksata. Penggunaan teori secara mutlak berdasarkan apa adanya teori untuk penelitian sosial memang agak janggal.
Penggunaan teori yang tidak relevan. Ada pemegang otoritas penyelesaian kiprah final studi yang memaksa Kandidat untuk memasukan teori-teori yang bekerjsama tidak relevan untuk dijadikan rujukan penyusunan konsep penelitian. Bila teori-teori yang tidak relevan itu dipaksakan juga untuk menjadi rujukan penyusunan konsep penelitian, maka kemungkinan yang terjadi yaitu bahwa konsep tersebut sanggup nggak nyambung dengan karakteristik obyek atau variabel penelitian. Ada juga pemegang otoritas yang memaksakan Kandidat harus merujuk sekian banyak teori, dan bahkan diwajibkan mengutamakan teori-teori dari penulis asing. Persoalannya bukan terletak pada seberapa banyak teori yang harus dirujuk, dan siapa penulis teori itu, tetapi terletak pada duduk kasus apakah teori-teori itu cocok untuk dijadikan instrumen pengungkapan karaktersitik obyek atau variabel penelitian. Artinya, teori-teori yang dirujuk hendaknya benar-benar fungsional untuk menyusun konsep penelitian yang sesuai dengan karateristik obyek atau variabel penelitian.
Cara pengelolaan teori yang tidak rasional. Ada pula kebijakan kegiatan yang mewajibkan Kandidat membaca sekian puluh buku dan hasil pembacaan buku itu disusun menjadi bab dari penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan ibarat ini dikenal dengan sebutan ”Reading Course”. Kebijakan ibarat itu berlaku pada kegiatan yang memang sangat menonjolkan jenis penelitian deskriptif. Dengan kebijakan yang demikian itu, fenomena yang dijadikan obyek penelitian dan judul penelitian terkesan didapat dari rujukan teori atau berdasarkan teori. Kebijakan kegiatan ibarat itu kurang tepat.
Karena pengelolaan teori yang tidak didasarkan pada suatu konsep gagasan yang terang dan niscaya justru sanggup mengaburkan fungsi teori dalam penyusunan Proposal Penelitian. Kebijakan ibarat itu sanggup juga dianggap tidak benar, alasannya yaitu sama saja dengan menyatakan bahwa proses pengajaran sekian banyak teori, termasuk metodologi penelitian, selama sekian tahun masa perkuliahan, dianggap percuma atau dianggap tidak efektif untuk membekali Kandidat. Sebaiknya teori yang dirujuk sudah didasarkan pada konsep gagasan yang terang dan pasti. Sebagai misal, variabel X yaitu Motivasi dan variabel Y yaitu Kinerja, maka dengan sendirinya teori-teori yang dirujuk yaitu teori motivasi dan teori kinerja. Di luar kedua teori tersebut tidak ada gunanya.
Masalah penerapan fungsi teori