Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu ukuran kesejahteraan petani nasional. Sebagai negara agraris, Indonesia masih tergantung pada lapangan perjuangan pertanian. Oleh alasannya itu, NTP setidaknya menjadi indikator apakah pelaku perjuangan pertanian ikut serta menikmati turbulensi ekonomi atau tidak.
Beberapa waktu lalu, BPS merilis angka NTP untuk bulan Juni 2017. Kabar baiknya sih, NTP Indonesia mengalami kenaikan lho, menjadi 100,53, naik sebesar 0,38% dari sebelumnya.
Namun demikian, bahwasanya NTP Juni kemudian justru mengatakan bahwa petani kita mengalami impas (jawa: Pakpok). Mengapa? Meski NTP naik, namun kenaikan indeks yang diterima oleh petani (it) kurang signifikan ketimbang indeks yang dibayar petani (ib).
Maklum saja, wong Juni kemudian bertepatan dengan momentum Idulfitri sehingga inflasi pun tercatat mencapai 0,69%. Inflasi sebesar itu merupakan angka inflasi perkotaan yang sedikit banyak menaikkan harga di perdesaan. Dengan demikian, petani kita memang rata-rata memperoleh untung, tetapi masih "dibayang-bayangi" oleh biaya hidup mereka yang terus meningkat. Ini tentu menjadikan tekanan ekonomi pada rumah tangga pertanian sekaligus menggerus daya beli mereka. Apalagi pendapatan yang mereka peroleh juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan hari raya.(*)
Sumber http://www.ngobrolstatistik.com/