Sunday, October 1, 2017

√ Shit In The Wardrobe: A Story Of Munaroh

Sebelumnya perkenalkan, namanya Munaroh. Yang terang nama samaran. Seperti judulnya, inilah kisah wacana si Munaroh itu sendiri, bocah tak berdaya yang sampai kini tak berdaya.


Suatu sore, sepulang kami Anak Balok dari kampus, singgahlah kami ke kosan Munaroh sebelum pulang ke kosan masing-masing. Kami berteduh di situ sekitar beberapa jam. Seperti biasanya, kami menghabiskan banyak waktu berkumpul bersama sambil bercerita banyak hal. Waktu itu ada aku, si Munaroh, Yanuar, Geri, Bli, dan Naba.


Seperti biasanya juga, kami mengeluarkan suara-suara bising yang bisa mengganggu tetangga dan bapak-ibu pemilik kosan. Tapi kali ini, mungkin alasannya ialah mereka udah jera sehabis Kegilaan si Geri terjadi, tak ada yang berani menegur kami. Mungkin udah stress berat mendengar teriakan Geri yang kala itu tiba-tiba saja menggelegar.


Baiklah, sebelum masuk ke kisah intinya, izinkanlah saya mendeskripsikan bagaimana si Munaroh ini, alasannya ialah kisah ini ialah kisahnya dan kisah ini dipersembahkan untuknya.


Munaroh (bukan nama sebenarnya), merupakan anak dari keluarga Tiong Hoa – Batak-Belanda. Bayangkan, betapa tampannya anak ini (seharusnya) dari hasil perpaduan multi-etnis tersebut. Dari antara kami Anak Balok yang memang bergaul dalam bendera multi-etnis dan multi-agama, Munaroh-lah simbol kami, alasannya ialah dirinya ‘sebongkah’ itu pun ialah multi-etnis. Kalo bahasa Inggrisnya: He, himself, is multi-ethnic. Jangan protes!


FYI, si Munaroh ini asal ke kampus jarang kali mandi. Jangankan mandi, sekedar basuh muka atau gosok gigi aja jarang kali, makanya jangan heran kalo penampilan ia ke kampus masih lengkap dengan belek yang tertempel rapi di sekitar matanya. Gigi panjang-sebelahnya juga masih dihiasi dengan sisa makanan tadi malam yang ngga nyampe perut. Soal pakaian? Ya pakaian kemarin, yang dia pake pas tidur, dia pake juga pas kuliah besoknya.


Begitulah si Munaroh. Tapi gitu-gitu juga, dia itu terkenal lho di fakultas kami. Ngga ada yang ngga kenal dia, mahir kan? Tapi yaaaaa…………… kalian juga tau kenapa dia terkenal di kampus.


Nah, lanjut ke kisah intinya. Kala itu obrolan semakin jauh menembus pribadi kami semua. Makara masing-masing kami terpancing untuk semakin membuka diri, membuka hati, guna saling bertukar kisah satu dengan yang lain, sekaligus membuka dompet masing-masing untuk patungan beli rokok. Munaroh sebagai tuan rumah yang bertugas membelikan rokok ke warung.


Setibanya ia dari kwajibannya, ternyata bukan hanya rokok yang dibelinya. Ia juga membeli susu kotak untuk dirinya sendiri, dengan catatan; uang hasil patungan kami tadi untuk membeli rokok dikurangin khusus untuk membeli susu-nya. Kampret si Munaroh!, tapi tak apalah demi sekotak susu sang buah hati.


Hingga larut malam kami berteduh di kosan Munaroh, kami pun tetapkan untuk pindah tongkrongan ke kosan Yanuar, yang kemudian menjadi markas kami seterusnya sampai beberapa semester ke depan. Kami semua tetapkan diri untuk menyambangi kosan Yanuar lengkap dengan si Munaroh sendiri.


Sejak meninggalkan kosannya kala itu dan ikut dengan kami ke kosan Yanuar, ia tak lagi pernah pulang ke kosannya itu sampai berbulan-bulan setelahnya, bahkan sampai dua semester. Pernah satu kali Munaroh pulang ke kosannya untuk mengambil sehelai pakaian dan kebetulan bertemu dengan si bapak kosan, terjadilah obrolan mirip ini:


“Eh, Munaroh. Kemana aja? Kok jarang keliatan nih sekarang?”


“Bapak.. Ah saya di sini terus kok, bapak aja yang jarang keliatan.”


Si bapak kosan pun seketika stress berat dan tak melanjutkan obrolan lagi.


Setelah dua semester meninggalkan kosan, Munaroh lupa kalo susu kotak yang dibelinya sudah terbuka kotaknya, dan dibiarkan menganga di kamarnya yang pengap alasannya ialah jendelanya tidak dibuka selama satu tahun. Susu itu pun dibiarkan menganga di situ selama setahun, lebih. Selama setahun itu juga ia menginap di kosan Yanuar tak pernah pulang lagi.


Akhirnya susu itu pun membusuk dan menebarkan basi ke seluruh penjuru kamar Munaroh. Baunya ibarat basi tai. Ketika kami ‘sekali lagi dan untuk terakhir kali’ berkunjung ke kosan Munaroh, satu-satu di antara kami nyaris tumbang mencium basi tersebut. Entah kenapa emosi kami meningkat, dan sebagai bentuk pelampiasannya, kami pun membuat cerita-cerita lucu seputar Munaroh dan kamarnya yang basi tai itu. Isi kisah tersebut mirip ini:


“Pernah suatu ketika, si Munaroh kebelet boker dan kebetulan kamar mandi di seluruh kosan sedang ada penggunanya, termasuk juga toilet pribadi di dalam rumah bapak pemilik kosan. Makara sangkin kebeletnya, dan kebetulan pula ia menemukan sekantong plastik di bawah daerah tidurnya, ia pun memuaskan hasratnya itu ke dalam plastik tersebut. Dan alasannya ialah galau mau ditaro kemana kantongan isi tinjanya itu, ia pun menyimpannya di lemari pakaiannya. Lemari pakaian kecil tersebut menjadi brankas khusus untuk tai-nya Munaroh.”


Niat kami menceritakan kisah di atas hanya untuk lucu-lucuan, dan jujur aja kisah itu hanya untuk konsumsi kami-kami aja sesama Anak Balok. Ya kami juga taulah si Munaroh ngga segoblok dan setolol itu. Tapi entah kenapa, kisah tersebut tersiar luas ke fakultas kami sebagai konspirasi, sampe kini ngga tau siapa yang nyebarin isu itu.


Jadi, setiap kali si Munaroh ke kampus, tiba-tiba aja orang ngelilingi dia dengan sejuta pertanyaan kolam wartawan yang hendak mewawancarai Sule. Bahkan cewek tercantik dan terpintar di kampus kami kala itu, namanya Inri, bertanya dengan polosnya ke Munaroh: “Naroh, emang bener ya kau nyimpen tai di lemari?”


Cewek terpintar itu tiba-tiba jadi bodoh. Iya, soalnya dia percaya sama kisah goblok yang kami ciptakan. Tapi dia tetap yang tercantik, alasannya ialah pas bibirnya mengucapkan ‘tai’, tetep aja keliatan bagus dan seci.


Selain si Inri yang ingin tau dengan kisah tersebut, muncullah Seran, salah satu Anak Balok, eksklusif mendatangi kosan Munaroh. Ia sangat percaya dengan kisah buatan itu, dan yang paling membuatnya percaya ialah si Munaroh sendiri. Tampang mabuk khas-nya dan gaya jalan letoy-nyalah yang menjadikan kenapa kisah itu benar-benar cocok untuknya, dan sangat mungkin kalo Munaroh bisa melaksanakan tindakan menjijikkan itu.


Kebetulan di kosan Munaroh kala itu ada Bli. Seran tiba dengan beban rasa penasarannya dan eksklusif meluncurkan pertanyaan:


“Naroh, lu nyimpen tai di lemari ya?” dan dengan gobloknya Munaroh malah mengiyakan pertanyaan itu.


“Iya!” katanya dengan mantap sambil tertawa alasannya ialah kegoblokan pertanyaannya itu.


“Masih ada di lemari?”


“Udah gua buang di daerah sampah.”


Kemudian Seran mencari-cari daerah sampah mana yang dimaksud oleh Munaroh. Tak usang matanya mencari, ia menemukan satu daerah sampah sempurna di depan kamar Munaroh. Ia pun membongkar daerah sampah itu untuk memastikan isu tersebut. Tong sampah yang berisikan pembalut, sampah sisa makanan lengkap dengan tulang-belulang dan duri-deduri, ia bongkar satu-satu demi rasa ingin taunya yang tinggi.


Di sisi lain, Munaroh dan Bli nyaris saja tewas alasannya ialah tertawa terlalu terbahak-bahak melihat agresi Seran kolam detektif tersebut. Seran pun harus kecewa alasannya ialah tak juga berhasil mendapati kantongan plastik berisi tai yang dimaksud oleh isu hangat kampus. Kemudian, dengan tangannya yang tak terang lagi warnanya sehabis mengorek-ngorek keranjang sampah, ia menepuk bahu Munaroh sembari berkata.


“Naroh, lu kalo butuh sabun, butuh sikat gigi, pasta gigi, sampo, ato apalah, bilang aja ke gue.” katanya dengan tulus.


“Oke bro.” kata Munaroh sambil melanjutkan tawanya dan sambil mikir, “sebenernya tangan lu yang butuh sabun, bro.”


Akhirnya Seran pun pergi meninggalkan Bli dan Munaroh. Tampak lisan kecewa membentuk raut wajahnya. Bli dan Munaroh pun melanjutkan tawa mereka.


Shit in the Wardrobe, begitulah judul kisah yang kami ciptakan untuk kamar Munaroh yang basi tai alasannya ialah susu yang membusuk. Bayangkan setahun lebih susu tersebut dibiarkan membusuk dengan kotak yang menganga di kamarnya yang nyaris tak ada udara di dalamnya.


Berbicara wacana kisah Munaroh, ini hanya satu bab kecil saja. Munaroh selalu membuat kisah di tengah-tengah kami, dan kalo sanggup izin lagi untuk nyeritain kisahnya, bakal banyak yang akan tertulis di blog ini.



Sumber https://walterpinem.me