Monday, November 12, 2018

√ Fatwa Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Puebi)


Ejaan yang Disempurnakan (EYD) belum usang ini mengalami perubahan menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Perubahan ini dilakukan sebagai imbas meluasnya ranah pemakaian bahasa seiring kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan seni.

Ada tiga hal perubahan yang terjadi pada PUEBI. Perubahan tersebut mencakup penambahan karakter diftong, penggunaan karakter tebal, serta penggunaan karakter kapital.
Huruf diftong yang ditambahkan ke PUEBI ialah ‘ei’. Penambahan ini, berdasarkan Kepala Bidang Pemasyarakatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, Drs Mustakim, M.Hum, terjadi alasannya bahasa Indonesia banyak menyerap istilah dari bahasa asing, sehingga sekarang ada empat diftong dalam bahasa Indonesia yakni ai, au, ei, dan oi.

"Diftong ‘ei’ ditambahkan alasannya bahasa Indonesia menyerap kosakata dari aneka macam bahasa absurd dan banyak istilah absurd tersebut yang pakai ‘ei’, menyerupai pada kata ‘survei’. Jadi, sudah seharusnya diftong ini diserap," ujarnya.

Selain diftong, perubahan juga terjadi pada penggunaan karakter tebal. Penggunaan karakter tebal ini belum diatur pada ejaan bahasa Indonesia sebelumnya. Pada PUEBI, karakter tebal ini digunakan untuk menegaskan penggalan goresan pena yang ditulis miring serta untuk menegaskan bagian-bagian karangan, menyerupai judul buku, bab, atau subbab.

"Dulu belum diatur penggunaan karakter tebal. Sekarang di PUEBI sudah diatur. Digunakan untuk dua hal. Untuk judul atau sub-sub pada sebuah teks dan digunakan untuk menegaskan pada sebuah goresan pena atau istilah yang telah dimiringkan," terperinci Mustakim.

Perbedaan PUEBI dengan EYD yang terakhir terletak pada karakter kapital. Pada ejaan bahasa Indonesia sebelumnya tidak diatur bahwa unsur julukan ditulis dengan awal karakter kapital. Kini, hukum tersebut terdapat pada PUEBI. 

Sekadar diketahui, perubahan sistem ejaan bahasa Indonesia sudah terjadi beberapa kali. Pada 1947, bahasa Indonesia memakai sistem Ejaan Soewandi, lalu sistem Ejaan Melindo pada 1959, dan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) pada 1972 sampai 2015. (news.okezone.com)

Bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sebagai imbas kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Penggunaannya pun semakin luas dalam bermacam-macam ranah pemakaian, baik secara verbal maupun tulis. Oleh alasannya itu, kita memerlukan buku acuan yang sanggup dijadikan pedoman dan pola aneka macam kalangan pengguna bahasa Indonesia, terutama dalam pemakaian bahasa tulis, secara baik dan benar. Sehubungan dengan itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Pedoman ini disusun untuk menyempurnakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD). Pedoman ini dibutuhkan sanggup mengakomodasi perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat. Semoga penerbitan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia secara eksklusif atau tidak eksklusif akan mempercepat proses tertib berbahasa Indonesia sehingga memantapkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Penyempurnaan terhadap ejaan bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyempurnaan tersebut menghasilkan naskah yang pada tahun 2015 telah ditetapkan menjadi Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 wacana Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ditinjau dari sejarah penyusunannya, semenjak peraturan ejaan bahasa Melayu dengan karakter Latin ditetapkan pada tahun 1901 berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuijsen dengan derma Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, telah dilakukan penyempurnaan ejaan dalam aneka macam nama dan bentuk. Pada tahun 1938, pada Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo, disarankan semoga ejaan Indonesia lebih banyak diinternasionalkan.
Pada tahun 1947 Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada masa itu, memutuskan dalam surat keputusannya tanggal 19 Maret 1947, No. 264/Bhg.A bahwa perubahan ejaan bahasa Indonesia dengan maksud menciptakan ejaan yang berlaku menjadi lebih sederhana. Ejaan gres itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan Republik. Kongres Bahasa Indonesia Kedua, yang diprakarsai Menteri Moehammad Yamin, diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Kongres itu mengambil keputusan supaya ada tubuh yang menyusun peraturan ejaan yang mudah bagi bahasa Indonesia. Panitia yang dimaksud yang dibuat oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 19 Juli 1956, No. 44876/S, berhasil merumuskan patokan-patokan gres pada tahun 1957. Sesuai dengan laju pembangunan nasional, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang pada tahun 1968 menjadi Lembaga Bahasa Nasional, lalu pada tahun 1975 menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, menyusun aktivitas pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh. Di dalam kekerabatan ini, Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia IX Mangunpranoto, semenjak tahun 1966 dalam surat keputusannya tanggal 19 September 1967, No. 062/1967, menyusun konsep yang ditanggapi dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.

Dokumen PUEBI berformat PDF lengkap sanggup di unduh di Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)


Sumber http://mialislamiyahkroya.blogspot.com