KEBIJAKAN DAN PRESTASI KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB ASADULLAH
Menjelang berakhirnya kepemimpinan khalifah Usman bin Affan tersebar fitnah yang keji di tengah-tengah kaum muslimin di daerah-daerah kekuasaan Islam, khususnya di Basrah, Mesir dan Kuffah. Fitnah yang sangat keji itu disebarkan oleh orang-orang munafik yang dimotori oleh Abdullah bin Saba’. Dia bergotong-royong orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. upaya Abdullah bin Saba’ ternyata membuahkan hasil, banyak kaum muslimin yang terpengaruh hasutan itu untuk mengadakan pemberontakan dan memaksa khalifah Usman bin Affan biar mundur sebagai khalifah.
Keadaan menjadi kacau dan posisi khalifa Usman bin Affan sangat terjepit, tetapi dia tetap menola untuk dikawal secara khusus sebagaimana usul para sahabatnya. Para pemberonta semakinbergelombang dan jadinya sanggup menyerbu kediaman khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, khalifah Usman bin Affan sedang menjalankan ibadah puasa sunnah dan membaca al Qur’an. Meski demikian orang-orang munafik itu tak peduli dan berhasil membunuh beliau. Sebelum insiden itu khalifah Usman bin Affan tela bermimpi bertemu dengan rasulullah saw yang meminta biar dia menjalankan puasa sunnah dan akan diajak berbuka bersama rasulullah saw. Ternyata mimpi itu merupakan kode bagi khalifah Usman bin Affan yang dikala Rasulullah saw masih hidup termasuk sahabat yang paling setia mendampingi dalam suka dan duka.
Sepeninggal khaifah Usman bin Affan, masyarakat dalam keadaan kacau. Untuk mengendalikan situasi, beberapa kalangan kaum muslimin mengusulkan biar posisi kekosongan pemimpin itu segera diisi dengan mengngkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Tetapi usul itu ditolak oleh sebagian kaum muslimin, terutama Muawiyah bin Abi Sufyan. Kebanyakan dari kaum muslimin yang menola itu ialah para gebernur dan pejabat yang masih kerbat khaifah Usmanbin Affan.
Di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan, mereka menuntut biar orang yang membunuh khalifah Usman bin Affan ditemukan dan dieksekusi terlebih dahulu, gres kemudian membahas perihal pergantian kekuasaan. Sementara itu, piha Ali bin Abi Thalib lebih mementingkan adanya pemimpin untuk meredam kekacauan, sehabis itu mengejar para pemberontak dan pembunuh khalifah Usman bin Affan. Dua pendapat yang berbeda tersebut, jadinya memicu perpecahan di kalangan umat Islam. Apalagi sehabis Ali bin Abi Thalib ditetapkan sebagai khalifah menggantikan kepemimpinan yang kosong. Meski demikian, khalifah Ali bin Abi Thalib berhasil memutuskan beberapa kebijakan dan menorehkan beberapa prestasi semasa menjabat sebagai khalifah, antara lain sebagai berikut:
1. Pergantian Pejabat pemerintahan
Salah satu penyebab utama meunculnya reaksi protes dari kalangan pemberontak terhadap khalifah Usman ialah ketidaksukaan mereka terhadap kebijakan khalifah Usman mengangkat para pejabat yang berasal dari keluarganya. Terlebih lagi, mereka menganggap bahwa pejabat-pejabat itulah yang telah memicu munculnya gerakan pemberontakan. Oleh alasannya itu, kebijakan pertama yang diambil oleh kalifah Ali bin Abi Thalib ialah melenyapkan bibit reaksi masyarakat, yaitu dengan memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak disenangi kaum muslimin, alasannya kurang memperlihatkan prestasi dalam bekerja.
Berikut ini beberapa gubernur yang diangkat sebagai pengganti pejabat di masa khalifa Usman bin Affan:
• Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syiria
• Umrah bin Shihab sebagai Gubernur Kufah
• Usman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah
• Ubaidah bin Abbas sebagai Gubernur Yaman
• Qais bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir
Selain itu, khalifah Ali bin Abi Thalib juga mengangkat beberapa pejabat sebagai berikut:
• Abdullah bin Arqam sebagai Pejabat Perbendaharaan Negara (Baitul Mal)
• Zaid bin Tsabit sebagai Kepala Secretariat Negara (Ad Dawawin)
• Qutsam bin Tsabit sebagai kepala daerah (al Amil) Makkah al Mukarramah
• Tammam bin Abbas sebagai kepala Daerah (al Amil) Madinah al Munawarah
2. Penarikan Tanah Milik Negara
Selama pemerintahan khaifah Usman bin Affan, banyak para pejabat yang menguasai harta Negara. Saat itu, mereka memang diberi ragam akomodasi oleh khalifah. Tida sedikit dari mereka yang hidup mewah, bergelimang harta benda. Sejalan dengan itu, khalifah Ali bin ABi Thaib mengambil kebijakan untuk menarik smeua harta yang dianggap menjadi milik Negara. Hal itu sengaja dilakukan oleh khaifah untuk mebersihkan pemerintahannya.
3. Membenahi Keuangan Negara (Baitul Mal)
Langkah awal pembenahan keuangan negara ini dilaukan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib dengan menyita harta hasil korupsi dari para pejabat kemudian memecatnya. Harta hasil korupsi itu kemudian dimasukkan ke Baitul Mal untuk dikelola secara professional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan taraf hidup masyarakat.
4. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam bidang ini mencerminkan sedemikian tingginya kecintaan dia terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya, kawasan kekuasaan yang semakin luas, tentunya banyak wilayah yang tidak mengerti bahasa Arab. Padahal fatwa Islam disampaikan dengan memakai bahasa Arab. Keprihatinan inilah yang kemudian mendorong khalifah Ali untuk mensistematisasikan bahasa Arab.
Dalam pelaksanaannya, Abu al Aswad ad Duali diperintahkan untuk memperlihatkan tanda baca pada huruf-huruf Arab. Selain itu, dia juga diperintah untuk menulis buku yang berisi pokok-pokok pikiran ilmu nahwu (kaidah bahasa Arab). Dengan demikian, kaum muslimin yang bukan berasal dari bangsa Arab juga bisa mempelajari al Qur’an dan hadis Rasulullah saw dengan baik. Untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, khaifah Ali juga membangun dan menata sebuah kota gres di Kufah. Kota itulah yang jadinya dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu pengembangan ibarat Nahwu, Tafsir, Hadis dan sebagainya.
5. Bidang Pembangunan
Bidang pembangunan sangat digalakkan pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, terutama kota Kuffah untuk menjadi kota pusat kebudayaan Islam, yaitu pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu dan aneka macam macam ilmu pengetahuan lainnya. Sebenarnya kota Kuffah telah dipersiapkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai pusat pemerintahan.
6. Menghadapi Para Pemberontak
Sepanjang pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib setidaknya tela terjadi dua kali perang saudara, yaitu:
a. Perang Jamal
Satu tahun setela Ali menjadi khalifah, terjadi perang jamal. Perang ini terjadi pada tahun 36 H/657 M antara pasukan Ali dengan Pasukan Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar. Perang ini terjadi alasannya Aisyah Ummul Mukminin, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah kecewa dengan kebijakan khalifah Ali yang tidak kunjung menegakkah hokum syari’at Islam, khususnya yang terkait dengan pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Mereka menilai bahwa jikalau hokum ini tidak ditegakkan, maka tragedy serupa akan terjadi di masa yang akan datang. Pasukan Ali berhasil meredam pemberontakan ini dan Aisyah dipulangkan ke Madinah.
b. Perang Siffin
Perang siffin merupaka perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 37 H/658 M, Muawiyah tidak mau membai’at khalifah Ali, sekaligus menolak pencopotannya sebagai Gubernur Syam oleh khalifah Ali. Di samping itu, Muawiyah bin Abi Sufyan juga menganggap Ali tidak bisa menegakkan Syari’at Islam alasannya tidak bisa menghukum para pembunuh Usman bin Affan. Bahkan ia menuduh Ali berada di belakang tragedy pembunuhan Usman. Jika perang Jamal berhasil dimenangkan oleh khalifah Ali, akan tetapi perang Siffin tidak. Bahkan, perang inilah yang kemudian menjadi akar terbunuhnya khalifah Ali dan final dari kekhilafahannya.
Setelah mempersipakan pasukannya di dataran Siffin, Ali masih memperlihatkan kesempatan kepada Muawiyah untuk berunding. Lama beunding, Muawiyah tetap pada pendiriannya. Mereka tidak mau membai’at Ali sebagai khalifah. Sebaliknya, ia menuntut Ali dan para pengikutnya untuk mengangkatnya sebagai khalifah. Perang pun tidak bisa dihindarkan. Masing-masing pasukan bergerak maju untuk saling menyerang. Korban berjatuhan. Sejarah mencatat banyak korban dari pihak Ali dan Muawiyah. Ketika pasukan Muawiya terdesak, Amr bin Ash menganjurkan berdamai dengan mengangkat al Qur’an sambil berseru, “Marilah bertahkim (melandaskan hokum) kepada Kitabullah.” Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Tahkim.
Anjuran untuk berdamai disikapi secara bermacam-macam oleh pasukan Ali. Khalifah berketetapan untuk melanjutkan peperangan, sementara sebagian lainnya berkata, “Seandainya mereka sudah meminta bertahkim kepada Kitabullah, apakah layak bagi kita untuk tidak menerimanya?” Atas desakan para sahabatnya, jadinya Ali mendapatkan permintaan untuk berdamai. Dalam perdamaian tersebut disepakati untuk diadakan perundingan. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sedangkan di pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari.
Dalam perundingan, keduanya sepakat untuk menyuruh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah mundur dari jabatannya masing-masing. Selanjutnya, khalifah akan diputuskan menurut janji umat Islam. namun, sebagai seorang yang populer cerdas, Amr bin Ash berhasil mengelabuhi Abu Musa Al Asy’ari. Ia meminta Abu Musa Al Asy’ari berpidato terlebih dahulu alasannya lebih tua. Abu Musa pun naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan kemunduran Ali dari bangku kekhalifahan. Setelah itu, giliran Amr bin Ash naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan persetujuannya terhadap pendapat Abu Musa Al Asy’ari. Kemudian, Amr bin Ash menyatakan kemunduran Muawiyah bin Abi Sufyan dari kekhalifahan. Namun demikian, Amr bin Ash pribadi mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah yang sah.
Semenjak peritiwa itu, terjadi perpecahan di kelompok Ali bin Abi Thalib. Sebagian dari mereka menyatakan keluar dari Ali bin Abi Thalib dan menamakna dirinya sebagai kelompok khawarij (keluar) berjumlah sekitar 12.000 orang. Bahkan mereka, menyampaikan bahwa Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash (orang-orang yang terlibat dalam perundingan) ialah kafir. Pada tahun 38 H/659 M, Ali mengajak mereka berdialog tetapi gagal alasannya mereka tetap pada pendirian bahwa mendapatkan tahkim ialah kafir.
Setahun kemudian, Ali berhasil memerangi kaum Khawarij, tetapi beberapa orang yang melarikan diri bersepakat untuk membunuh ketiga tokoh yang terlibat dalam insiden tahkim tersebut. Pada tahun 39 H/660 M terjadi perdamaian antara Muawiyah dan khalifah Ali dengan syarat Ali tidak mencampuri wilayah Syam. Pada 16 Ramadhan tahun 40 H/661 M sebelum fajar, dua orang khawarij mengikuti Ali dari belakang. Ketika Ali hingga di depan pintu masjid agung Kufah, keduanya membunuh Ali. Nama pembunuh khalifah Ali ialah Abdurrahman ibn Muljam, seorang Khawarij. Kaum muslimin pribadi mengepung dan menangkap kedua pembunuh tersebut. Mereka bertanya kepada Ali, “Apa yang harus kami perbuat terhadap mereka berdua?” Ali menjawab, “Jika saya bertahan hidup, saya memiliki perhitungan tersendiri, jikalau saya mati, saya menyerahkan kepada kalian. Jika kalian membalas dendam, balaslah satu pukulan dengan satu pukulan serupa, tetapi jikalau kalian memaafkan, maka hal itu lebih erat kepada ketakwaan.”
Pada tanggal 19 Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum meninggal, Ali bin Abi Thalib berpesan, “Speninggalku, janganlah kalian memerangi kaum khawarij. Sungguh orang yang mencari kebenaran tetapi tidak terjebak dalam kekeliruan berbeda dengan orang yang menonjolkan kepalsuan dan terus mempertahankannya.” Kemudian, seiring dengan wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib, berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin. Terhitung mulai dari khalifah pertama hingga terakhir, hamper selama tiga puluh tahun lamanya. Dari semua itu, banyak hal yang bisa dipelajari dan diteladani, yang baik dijadikan materi perbaikan karakter.
Demikian pembahasan perihal kebijakan dan prestasi yang ditorehkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. Intisari yang bisa disimpulkan dari pembahasan ini antara lain sebagai berikut:
1) Bidang pemerintahan
a. Menerapkan system pemerintahan yang efektif dan efesien dengan mengadakan perombakan para gubernur dan pejabat yang tidak bisa bekerja dengan baik yaitu tida memperlihatkan prestasi, tidak adil dan berakhlak culas. Mereka ini kebetulan masih family khalifah Usman bin Affan. Adapun pengganti mereka yang diangkat oleh khalifah Ali bin Abi Thalib antara lain:
• Sahl bin Hanif sebagai Gubernur Syiria
• Umrah bin Shihab sebagai Gubernur Kufah
• Usman bin Hanif sebagai Gubernur Basrah
• Ubaidah bin Abbas sebagai Gubernur Yaman
• Qais bin Sa’ad sebagai Gubernur Mesir
Selain itu, khalifah Ali bin Abi Thalib juga mengangkat beberapa pejabat sebagai berikut:
• Abdullah bin Arqam sebagai Pejabat Perbendaharaan Negara (Baitul Mal)
• Zaid bin Tsabit sebagai Kepala Secretariat Negara (Ad Dawawin)
• Qutsam bin Tsabit sebagai kepala kawasan (al Amil) Makkah al Mukarramah
• Tammam bin Abbas sebagai kepala Daerah (al Amil) Madinah al Munawarah
b. Mengembalikan tanah milik Negara dan harta Baitul Mal yang diambil dengan cara tidak benar oleh pejabat dan family khalifah Usman bin Affan. Meski banyak dikecam oleh para pejabat lama, tetapi khalifah Ali bin Abi Thalib tetap melakukan kebijakannya demi kepentingan Negara dan masyarakat lemah.
2) Bidang Politik dan Militer
Ketika masih muda Ali bin Abi Thalib populer cerdas dan gagah berani. Kemampuan lain sehabis menginja dewasa, Ali ialah seorang yang mahir dalam taktik perang, penasehat yang bijaksana, penegak hokum yang adil, berbudi luhur baik kepada mitra maupun lawan. Kebaikan Ali itu justru sebagai titik lemah beliau. Ketika perang siffin Muawiyah mengajak hening dengan memberi kode menempatkan Al Qur’an di ujung tombak, tetapi Ali menolak permintaan hening tersebut alasannya menganggap ha itu ialah kelicikan Muawiyah. Di lain pihak dia mendapat desakan dari para sahabat, sehingga twaran tersebut diterima. Padahal Ali tah kalau Muawiyah hanya menerapkan tipu muslihat.
3) Bidang Ilmu Pengetahuan/Bahasa
Daerah kekuasaan Islam dikala khalifah Ali bin Abi Thalib memerintah sudah merambah hingga ke Sunagi Eufrat, Tigris dan mencapai daratan Indus (India). Hal itu menjadikan masyarakat yang berasal dari luar Jazirah Arab banyak memeluk agama Islam. konsekuensi dari perkembangan tiu ialah adanya kesalahan fatal dalam memperdalam al Qur’an dan hadits. Mencermati hal itu khalifah Ali bin Abi Thalib menunjuk Abul Aswad al Duali untuk menyusun kaida atau pokok-pokok ilmu Nahwu (Qoida Nahwiyah) sehingga kaum muslimin yang berasal dari luar Arab sanggup membaca, memahami dan memperdalam al Qur’an dan Hadits.
4) Bidang Pembangunan
Khalifah Ali bin Abi Thalib membangun kota Kuffah yang rencananya akan dijadikan ousat pemerintahan oleh Muawiyah bin ABi Sufyan, dengan demikian dia selalu erat dengan orang yang selalu mentangnya. Dengan dibangunnya kota Kuffah, dia gampang memantau kota SYiria yang merupakan sentral kekuatan Muawiyah. Kota Kuffah dibangun untuk membuatkan ilmu pengetahuan. Kuffah dijadikan sebagai pusat pengembangan Ilmu Nhawu, Tafsir, Hadits dan ilmu pengetahuan lainnya.
SUMBER REFRENSI :
- Subchi, Imam. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam; Kurikulum 2013. Semarang: PT Karya Toha Putra
- Kementrian Agama RI. 2014. Buku Siswa; Sejarah Kebudayaan Islam kelas X; Kurikulum 2013. Jakarta: Kemenag RI
- MGMP PAI Madrasah ALiyah. 2018. Modul Sejarah Kebudayaan Islam kelas X
Sumber http://nderesmaning.blogspot.com