Monday, May 20, 2019

√ Guru Memasuki Kala Meritokrasi

Bulan November tahun kemudian ketika acara seminar nasional guru dikdas berprestasi di Jakarta, aku bertemu dengan sobat usang yang pernah sama-sama aktif di Ikatan Mahasiswa PGSD Indonesia. Namanya Adit, pria asal Wonogiri yang dulu kuliah di PGSD Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Setelah lulus kuliah, ia tetap bertahan di ibukota.

Pada pertemuan kali ini, aku menerima pelajaran yang sangat berharga. Dunia kerja guru SD di ibukota sangatlah berbeda dengan di daerah. Sekedar menjadi guru wiyata bakti di SD negeri tidaklah mudah. Harus melalui proses lamaran di tingkat sekolah dan diputuskan pribadi oleh kepala sekolah. Setelah lamaran lolos dan dinyatakan diterima,  akan disodori surat kontrak kerja. Surat kontrak kerja ini akan diperbaharui setiap satu tahun sekali.

Mau tidak mau, guru wiyata bakti di Jakarta harus mempunyai "keterampilan lebih" biar kontraknya sanggup diperpanjang. Keterampilan lebih biasanya berupa skill di bidang seni maupun kekarya ilmiahan. Keterampilan yang tidak hanya mengajar atau mengelola siswa di dalam kelas. Secara tidak langsung, tuntutan guru wiyata bakti ini seolah melebihi tuntutan guru yang berstatus PNS.

Keadaan menyerupai ini tercipta sebab lulusan sekolah tinggi tinggi melimpah ruah sedangkan jumlah sekolah yang ada sangatlah terbatas. Sehingga persaingan menjadi guru wiyata bakti sangatlah ketat. Suka tidak suka, lulusan PGSD yang ingin bertahan di Jakarta sebagai guru SD harus terus mencar ilmu meningkatkan kemampuan biar mempunyai nilai lebih untuk dipertahankan. Luar biasa, jika dulu siapa saja bisa jadi guru asal mau. Namun kini tidak bisa jadi guru jika modalnya hanya asal mau.

Merambah ke Daerah
Pola-pola rekruitmen guru wiyata bakti menyerupai di Jakarta sudah mulai terasa merambah ke daerah. Apalagi semenjak tahun 2010 kemudian setiap sekolah tinggi tinggi hampir di semua kawasan seolah berlomba-lomba membuka jurusan PGSD. Dan jumlah mahasiswa barunya tidak tanggung-tanggung. Setiap kali penerimaan mahasiswa baru, kuotanya sanggup mencapai 200-400 kursi. Bayangkan, berapa lulusan PGSD yang mencari kerja setiap tahunnya.

Jumlah pencari kerja yang tidak sebanding dengan jumlah sekolah ini menciptakan kepala sekolah berada di atas angin. Kepala sekolah tidak ada rasa segan lagi untuk mengakhiri guru yang menurutnya "tidak produktif". Bahkan bisa saja menolak guru pindahan dari sekolah lain padahal membawa surat kiprah resmi dari instansi terkait.

Banyak modus yang digunakan kepala sekolah untuk menolak guru pindahan. Misalnya, alokasi dana BOS untuk tenaga pendidik dan kependidikan sudah melebihi 15%. Ada juga yang menolak dengan alasan jika gurunya sudah cukup. Padahal cara mencukupinya dengan mengubah kiprah guru mapel menjadi guru kelas.

Permisalan di atas tidak bisa menggambarkan apa yang gotong royong terjadi. Karena bisa saja kepala sekolah menolak sebab menilai guru pindahan tersebut tidak mempunyai kelebihan. Bahkan mungkin saja ditolak sebab semenjak awal memang tidak suka dengan guru pindahan tersebut.

Hak Menolak
Kepala sekolah memang meiliki hak penuh untuk menolak guru pindahan maupun guru yang melamar di sekolahnya. Namun perlu diingat apabila kepala sekolah tersebut bekerja di tempat yang jauh dari jangkauan simber daya insan yang berkualitas. Perlu juga melaksanakan analisis sosial wilayah setempat, kira-kira ada tidak calon guru di wilayah sekitar sekolah.

Hal di atas penting diperhitungkan. Memang dikala ini jumlah guru di sekolah tersebut terpenuhi. Namun ketika tiba-tiba jumlah guru berkurang, apakah ada yang bisa menggantikan? Karena suatu ketika ada guru yang dipindah, diangkat menjadi kepala sekolah ataupun cuti sebab hamil. Hal ini bertambah sulit, jika kemungkinan ketidakcukupan guru tersebut benar-benar terjadi. Sudah menolak lamaran atau guru pindahan, eh ternyata tidak ada calon guru di kawasan sekitar. Ingat, tak sembarang orang mau bekerja menjadi guru di tempat yang jauh. Apalagi dengan honor yang pas-pas-an.

Era Meritokrasi
Uraian kisah di atas menunjukkan pesan yang tersirat kepada kita semua. Terutama kepada orang-orang yang berprofesi menjadi guru. Ternyata kita sudah hingga di kala meritrokrasi, kala di mana roda birokrasi dijalankan atas dasar kemampuan/ kompetensi. Strategi yang paling sempurna untuk bertahan di kala ini yaitu dengan cara selalu mencar ilmu dalam rangka menyebarkan kompetensi. Kompetensi dikembangkan biar mengakibatkan diri kita mempunyai nilai jual yanh lebih daripada yang lain. Kompetensi inilah yang akan menciptakan kita dipertahankan, diharapkan dan tidak dibuang atau ditolak di tempat kerja. Jadi, sebagai guru tidak hanya mengajar di dalam kelas namun juga menyebarkan skill di bidang lain yang menunjang profesi keguruan.

Tulisan ini ditulis sebagai hasil kontemplasi diri biar menjadi pelajaran yang berarti.
BKIA Borobudur, 21 Februari 2018


Sumber http://rahmahuda.blogspot.com