Sunday, May 5, 2019

√ Pertama Kali Menjadi Pembina Upacara Di Sd Unggul

Pagi ini matahari terlihat sangat cerah. Semilir angin mengiringi langkahku berangkat ke sekolah. Sejuk udara pagi dengan lembut masuk ke hidung. Sesampainya di sekolah, saya diminta menjadi pembina upacara. Menjadi pembina upacara yakni momentum langka bagiku. Mengingat di sekolah sebelumnya hampir tujuh bulan saya tidak menerima kesempatan menjadi pembina upacara. Entah sebab apa saya tidak tahu dan tidak mau juga mempermasalahkan kenapa saya tidak mempunyai kesempatan menjadi pembina upacara.

Saya memandang bahwa kesempatan langka ini dihentikan disia-siakan.  Menjadi pembina upacara di SD unggul merupakan hal yang istimewa. Akhirnya waktu upacara telah dimulai. Pak Pur selaku guru olahraga yang gres juga mengikuti upacara ini untuk pertama kalinya. Setelah rangkaian awal tata upacara bendera berjalan. Tibalah saatnya bagiku untuk memberikan amanat upacara.

Upacara bendera terlihat sangat gaduh. Banyak siswa yang berbicara dengan temannya. Bahkan ada juga yang saling dorong-mendorong. Oleh karenanya ketika MC menawarkan kepada saya untuk memberikan amanat upacara saya memulainya dengan membisu sejenak. Kemudian berkata “amanat pembina upacara hanya akan disampaikan ketika seluruh penerima upacara sanggup tertib. Tidak ada yang berbicara sendiri, mengobrol dengan teman, atau mengganggu sahabat di sampingnya.

Alhamdulillah, tidak memerlukan waktu yang relatif lama. Seluruh upacara sanggup terkondisikan. Akhirnya kuucapkan salam pembuka. Salam penghormatan kepada seluruh penerima upacara yang berasal dari unsur guru, karyawan, dan siswa dari kelas satu hingga kelas enam.  Materi utama yang saya sampaikan berkaitan dengan ketertiban ketika mengikuti upacara dan menjaga kebersihan sekolah. 

Isi Amanat Pembina Upacara
Saya sampaikan kepada seluruh penerima upacara bahwa untuk melakukan kegiatan upacara ibarat ketika ini membutuhkan waktu yang sangat banyak. Bangsa Indonesia membutuhkan waktu 350 tahun ditambah 3,5 tahun supaya sanggup melakukan upacara bendera. Karena dulu setiap kali ada orang Indonesia yang mengibarkan bendera merah putih harus berhadap-hadapan dengan tentara penjajah.

Kini kita tinggal menikmati apa yang diperjuangkan pendekar kita dulu. Kita kini tidak perlu berhadap-hadapan dengan tentara penjajah untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Kita kini hanya butuh bangun sebentar dan menahan diri selama 15 menit dalam rangka mengikuti upacara bendera dengan khidmat. Namun apa yang terjadi kini jauh dari keinginan itu. Banyak siswa yang lebih bahagia berbuat menyimpang sehingga upacara tidak berjalan dengan khidmat.

Amanat pembina upacara yang kedua berkaitan dengan kebersihan sekolah. Saya awali amanat ini dengan dongeng bahwa kita tinggal di sekolah ini mulai dari jam 07.00 hingga 12.30 WIB. Kalau ada les, sanggup hingga lebih sore lagi. Apabila diambil citra waktu yang pertama tadi, kita tinggal di sekolah selama lima setengah jam. Lama waktu ini bukanlah waktu yang singkat.

Oleh karenanya, mari kita jadikan sekolah kita ini sebagai rumah kedua bagi kita. Buat rumah kedua ini senyaman mungkin. Cara supaya sekolah ini sanggup ditempati dengan nyaman yakni dengan dengan menjada ketertiban dan kebersihan sekolah. Kebersihan ini sanggup tercipta dari kiprah serta seluruh warga sekolah. Apabila kau melihat sampah, eksklusif saja diambil dan masukkan ke keranjang sampah.

Sampai amanat ini akan berakhir, masih ada siswa yang gaduh. Saya terpaksa menyebut nama dan kelas si anak yang gaduh sebagai bentuk peringatan. Namun sama saja, tidak ada bedanya. Kegaduhan masih saja terjadi. Ya walau hanya di satu gerombolan saja namun menciptakan hatiku tidak nyaman. Mengapa upacara sanggup ibarat ini. Akhirnya dengan rendah hati, saya mengakui bahwa sayalah yang menimbulkan upacara jauh dari khidmat ini. Penyampaian saya sebagai pembina upacara mungkin belum sanggup menciptakan siswa tertarik. Namun sulit juga menghilangkan faktor penyebab kegaduhan ketika upacara. Misal dari kebiasaan siswa setiap kali upacara, belum adanya hukuman yang terang bagi siswa yang gaduh.

Pada alhasil kuakhiri tugasku sebagai pembina upacara. Dan hanya sanggup berharap semoga di upacara yang akan tiba semua penerima sanggup memahami bahwa upacara bukanlah hal yang biasa dan sederhana. Karena untuk upacara butuh pengorbanan nyawa, darah dan air mata dari para pendekar yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini.

Borobudur, 26 Maret 2018


Sumber http://rahmahuda.blogspot.com