Guru yang mengabdi di final masa ke-20 mengajari siswa beberapa pilihan profesi yang ada di era itu. Tak sedikit guru memperlihatkan siswanya semoga di kemudian hari berprofesi sebagai dokter, bidan, perawat, guru, pemadam kebakaran dan beberapa profesi yang lain menyerupai yang tertulis di buku teks pelajaran kala itu. Profesi-profesi inilah yang menjadi impian siswa di final masa ke-20. Akhir masa ke-20 merupakan era dimana informasi masih sulit diperoleh lantaran terbatas jarak dan waktu.
Perkembangan teknologi dan informasi menyajikan era gres yang disebut sebagai era digital. Era digital ini ditandai dengan booming informasi yang membanjiri setiap sendi kehidupan. Informasi akan gampang diperoleh lantaran ditemukannya perangkat yang sanggup menghubungkan seseorang ke dunia luar melalui jaringan internet. Era digital inilah yang mendorong adanya profesi gres yang tidak ada di era sebelumnya. Sehingga guru yang mengajar di final masa ke-20 tidak mengira bahwa anak didiknya ketika ini berprofesi sebagai manajer sosial media, andal SEO, penjual online, dan sejenisnya.
Menurut survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia memperlihatkan bahwa 90,3 persen responden menyebut hoax yakni gosip bohong yang disengaja. Sehingga disinyalir adanya sebuah profesi gres yang berkembang di era digital ini, yaitu menjadi pengelola gosip hoax. Beberapa sumber menyebutkan pekerjaan yang bersinggungan dengan hoax ini menjanjikan pendapatan yang fantastis, dihitung dari adsense page per view dan page by click saja bisa mencapai 600 milyar per tahun, ini belum kalau si pengelola hoax tersebut menerima pesanan dari pihak tertentu untuk melaksanakan provokasi, menjatuhkan lawan politik dengan cara mengeksploitasi gosip bohong yang berkaitan dengannya. Bahkan hoax pun menyerang minuman serbuk. Hoax minuman serbuk berupa isu yang menyampaikan bahwa minuman serbuk mempunyai kandungan berbahaya, mengakibatkan batuk dan pengerasan otak.
Setiap guru yang mengetahui mantan muridnya menjadi pengelola gosip hoax niscaya akan terkejut. Karena telah terbukti bahwa hoax yang biasa diartikan sebagai gosip bohong, apabila disebar secara sistematis akan menjadikan pengaruh bola salju yang sanggup meruntuhkan kerukunan insan dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Berita bohong ini dalam hitungan detik akan menjadi viral, lantaran dilihat jutaan orang, dibagikan oleh banyak orang dan kemudian diyakini menjadi gosip yang mengandung kebenaran. Sungguh kondisi yang tak pernah dibayangkan oleh guru yang mengabdi di final masa ke-20. Hal ini bahkan masih sulit dibayangkan oleh sebagian besar guru yang ketika ini masih aktif mendidik generasi muda.
Pemerintah sudah melaksanakan banyak sekali perjuangan untuk melawan hoax yang merajalela ini. Misalnya dengan melaksanakan pemblokiran situs-situs penyebar hoax, meluncurkan aplikasi pelaporan hoax, bahkan pemerintah melalui kepolisian memperkuat tugas subdiksus cyber. Namun cara-cara ini dinilai hanya sekedar permukaan dan belum bisa menuntaskan akar permasalahan. Hoax tidak bisa dicegah hanya dengan aktivitas seremonial, namun harus melalui tindakan yang terstruktur dan kultural yang memangkas akar akar penyebab berkembangnya hoax ini.
Hoax berkembang lantaran nalar kritis masyarakat kita masih rendah. Masyarakat masih gampang mendapatkan informasi secara pribadi dan mentah-mentah. Siti Badriyah (2017) menyebutkan bahwa orang akan pribadi mendapatkan informasi disebabkan oleh keterikatan identitasnya, baik identitas ras, suku, agama hingga afiliasi politik. Segala informasi yang membela identitasnya akan dipercaya sebagai kebenaran tanpa menimbang apakah informasi ini hoax atau bukan. Oleh karenanya, peningkatan nalar kritis masyarakat bisa dilakukan melalui jalur pendidikan. Sehingga guru memiiki posisi strategis untuk melawan hoax secara struktural dan kultural.
Peran Guru
Guru mempunyai susukan pribadi kepada generasi pelajar yang sangat mahir memainkan gadget. Melalui gadget inilah kemampuan memakai jaringan internet terasah. Generasi ini biasa memakai internet hanya untuk sekedar memainkan game hingga menebar sensasi di media sosial. Generasi pelajar yang hampir selalu bersinggungan dengan internet ini juga bisa disebut dengan istilah “generasi layar”. Karena selalu berpindah dari satu layar ke layar yang lain. Mulai dari layar HP, berpindah ke layar komputer kemudian hingga ke layar TV.
Generasi layar inilah yang akan di hidup di masa depan. Suatu masa dimana pekerjaan menjadi pengelola gosip hoax terbuka lebar dengan segala iming-iming pendapatan besarnya. Oleh akhirnya guru yang mengajar di era ini harus melek informasi dan kemajuan teknologi. Sehingga tantangan perkembangan teknologi dan informasi sanggup teratasi. Namun guru jangan mengatasi tantangan teknologi informasi ini dengan melarang siswanya memakai gadget atau jaringan internet. Karena upaya ini hanya akan menciptakan generasi muda gaptek dan gagal mengikuti kemajuan zaman.
Pada kesempatan inilah guru harus menyadari dan bisa membekali anak dengan pendidikan karater yang diimbangi dengan pendidikan literasi. Pendidikan abjad ini sebagai penguatan nilai keyakinan semoga dikemudian hari siswa tidak melaksanakan tindakan yang merugikan sesama umat manusia, menyerupai membuatkan gosip hoax. Guru juga harus mau merevitalisasi pendidikan literasi. Pendidikan literasi merupakan pedoman untuk melatih nalar kritis generasi muda semoga tidak gampang percaya dengan segala informasi yang membanjiri media ketika ini. Generasi pelajar di kemudian hari diperlukan mempunyai integritas moral dalam rangka menjaga kesatuan bangsa serta tidak gampang percaya dengan informasi yang tidak tentu kebenarannya.
*Artikel ini ditulis untuk lomba menulis artikel anti hoax
Sumber http://rahmahuda.blogspot.com