Sunday, July 7, 2019

√ Kelolalah Murka Dengan Bijak



“Tiga macam sifat orisinil yang ada pada diri insan untuk penyempurnakan watak hewaniyahnya, yaitu: (1) Kecenderungan (2) Marah (3) Mementingkan diri sendiri.” (Hamka, 1984, hal 101)

Manusia dianugerahi banyak sekali macam sifat oleh Tuhan. Salah satunya yakni marah. Marah identik dengan berang dan gusar. Sehingga KBBI menjelaskan murka sebagai keadaan sangat tidak bahagia (krn dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb).
Seseorang murka lantaran dihina, diperlakukan tidak sepantasnya, dsb. Pada pada dasarnya kemarahan itu disebabkan oleh adanya masalah. Masalah diartikan sebagai kesenjangan antara impian dan kenyataan. Ketika kenyataan yang dihadapi insan tidak sejalan dengan apa yang diharapkan, insan mempunyai kecenderungan untuk marah. Entah murka kepada diri sendiri atau orang lain.
Berdasarkan pendapat Prof. Dr. Hamka murka merupakan sifat yang manusiawi. Karena sifat murka dimiliki oleh semua manusia. Buktinya, semua orang niscaya pernah mencicipi marah. Baik dimarahi atau memarahi. Sehingga aristoteles beropini “Siapa pun sanggup marah. Marah itu mudah. Tetapi, murka pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah”.
Sebagian orang beropini bahwa ketika kau marah, maka obat yang paling sempurna untuk menghilangkan rasa kesal lantaran murka yakni dengan cara melampiaskan kemarahannya. Manusia melampiaskan kemarahan dengan banyak sekali macam cara. Misalnya ada yang membanting apa yang ia pegang, menghancurkan apa yang ada di hadapannya, dsb. Namun di zaman yang serba modern ini, kemarahan seringkali dilampiaskan melalui status di banyak sekali media sosial. Tak jarang status facebook banyak berisi cemoohan dan hujatan yang isinya kata-kata yang kurang pantas untuk disampaikan kepada khalayak.
Daniel goleman dalam bukunya yang sangat populer: Emotional Intelligence, mengutip hasil riset Diane Tice, spesialis psikologi dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan satu cara terburuk untuk meredakannya (dalam Kompasiana).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa ledakan murka biasanya memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang akan menjadi lebih murka dan kehilangan rasionalitas. Melampiaskan murka justru memperpanjang suasana marah. Sehingga sanggup dikatakan kalau melampiaskan murka yakni tindakan yang tidak tepat.
Lantas bagaimana caranya mengahadapi marah? Daniel Goleman menawarkan saran dengan cara menenangkan diri dan memaafkan. Karena memaafkan bukan berarti menunda kemarahan, namun memperbolehkan diri mencicipi amarah. Merasakan murka tidak menciptakan sesorang menjadi lebih murka sehingga rasionalitas tidak menghilang.
Namun, ada cara yang lebih konstruktif dan terarah. Yaitu dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.  Nabi SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian murka ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring.” (HR Ahmad). Kemudian dijelaskan murka yakni api setan yang sanggup mengakibatkan mendidihnya darah dan terbakarnya urat syaraf. (Syekh Sayyid Nada dalam media.zoya.co.id) sehingga disarankan untuk wudhu atau mandi.
Mario Teguh pernah mengingatkan, “Setan membesarkan rasa murka di hati kita dan menambahi nikmat dalam pelampiasannya semoga kita mengkasarkan kata-kata dan mengkejikan tindakan, sehingga rusak hubungan kita dengan keluarga dan sahabat.”
Kesimpulannya yakni murka merupakan sifat yang pernah dirasakan oleh semua manusia. Menghadapi murka dengan cara melampiaskannya yakni cara yang tidak tepat. Cara yang sempurna yakni dengan menenangkan diri. Proses penenangan dan memaafkan ini dilakukan dengan cara mendudukkan (ketika marahnya ketika berdiri) dan kalau belum reda dengan cara berbaring. Bisa juga dengan berwudhu atau mandi.
Mari kelola murka dengan cara yang sempurna dan bijak. Karena imbalan yang diberikan bagi orang yang sanggup mengendalikan amarahnya begitu istimewa. “Barang siapa yang sanggup menahan amarahnya, sementara ia sanggup meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap makhluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya menentukan bidadari nirwana dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki.” (HR Ahmad).



Referensi: Hamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Pustaka Panjimas
 
Sumber http://rahmahuda.blogspot.com