Kita sebagai orang jawa seharusnya gembira dengan leluhur kita. Karena banyak pemikirian-pemikiran dari leluhur kita yang masih relevan dengan keadaan dikala ini. Makara tidak salah bagi kita untuk sedikit menyisihkan waktu dan menyelami lebih dalam budaya, pemikiran dan filsafat yang bersumber dari leluhur kita.
Untuk menyelami hal tersebut, kita harus mempunyai sumber yang sesuai dan masih murni tanpa campur tangan budaya hasil perubahan zaman. Oleh karenanya, sumber yang paling pas dan paling sesuai yaitu dari kisah wayang purwa baik dari kisah Mahabarata maupun Ramayana. Wayang Purwa merupakan kebudayaan hasil dari budaya Jawa yang telah mengakar berpengaruh di kehidupan masyarakat Jawa. Biasanya sebelum dalang wayang kulit purwa memulai lakon pewayangan, Sang Dalang menyampaikan Sabdha Pandhita Ratu Tan kena Wola Wali.
Bawalaksana
Sabdha Pandhita Ratu tan kena wola-wali mempunyai arti bahwa setiap perkataan ulama/ ratu/ pemimpin/ dihentikan berbolak-balik. Atau lebih mudahnya perkataan tersebut dihentikan esuk dhele sore tempe(baca; mencla-mencle). Perkataan ini memang harus dijaga alasannya yaitu perkataan pemimpin yang akan menjadi dasar dan panutan pengikutnya untuk melaksanakan aktivitas.
Ungkapan lain yang masih berkaitan yaitu Dene utamaning nata berbudi bawa laksana. Maksudnya yaitu seorang raja haruslah bermurah hati dan bawalaksana. Bawa laksana merupakan prinsip hidup yang benar-benar dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan dari perilaku bawa laksana itu sangatah berat dan sulit. Sehingga orang yang bisa bersikap bawalaksana secara tepat sebagai orang yang mempunyai ilmu yang mumpuni.
Bawalaksana dalam kamus jawa sering tidak disebutkan, akan tetapi arti kata bawalaksana sanggup ditemukan di kamus jawa yang terbit dikala penjajahan jepang. Menurut kamus tersebut bawalaksana yaitu melaksanakan sesuai ujaran. Artinya kita harus melaksanakan dan konsekuen terhadap apa yang sudah kita ucapkan. Entah itu berupa janji, sumpah atau hanya ucapan biasa. Budaya jawa telah memberikan bahwa perilaku bawa laksana dijunjung tinggi melebihi perilaku atau nilai yang lain. Jadi, bawalaksana harus ditegakkan walau harus melanggar norma dan nilai yang ada.
Salah satu lakon pewayangan yang sanggup menggambarkan betapa dijunjung tingginya perilaku bawa laksana yaitu kisah penjemputan Dewi Durgandini oleh Bisma. Ketika itu Bisma diutus oleh Ayahya, Prabu Sentanu, untuk menjemput Dewi Durgandini yang hendak ia jadikan istri. Bisma mengiyakan kiprah dari Ayahnya dan sebagai seorang ksatria ia harus berhasil melaksanakan kiprah tersebut. Akan tetapi ketika Bisma dan Dewi Durgandini bertemu dan Bisma memberikan maksud kedatangannya. Sang Dewi mengajukan syarat semoga keturunannyalah yang akan menduduki tahta kerajaan Prabu Sentanu dan bukan Bisma. Sehingga untuk meyakinkan Dewi Durgandini dan untuk keberhasilan kiprah dari ayahnya, Bisma bersumpah untuk Wadad, yaitu tidak pernah kawin selama hidupnya. Wadad dilakukan untuk meyakinkan Sang Dewi semoga keturunannya yang melanjutkan kepemimpinan Prabu Sentanu.
Sungguh suatu pengorbanan yang luar biasa. Dan sebagai pahlawan utama Bisma memang konsekuen memenuhi pengiyaan terhadap kiprah dari Ayahnya untuk memboyong Sang Dewi serta memenuhi sumpah Sang Dewi. Dan kisah inilah yang menjadi bukti betapa perilaku Bawalaksana benar-benar dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.
Oleh karenanya, kita harus bawalaksana. Bukan hanya alasannya yaitu kita dari suku jawa. Akan tetapi secara kebutuhan kita memang harus menegakkan prinsip tersebut. Jika prinsip bawalaksana ditegakkan maka akhir instan yang didapat yaitu kita menjadi orang yang jujur dan berwibawa. Jujur yang berarti menyampaikan yang hitam memang hitam dan yang putih memang putih. Serta berwibawa yang artinya mempunyai harga diri serta kehormatan untuk menegakkan kebenaran dan konsekwen melaksanakan apa yang sudah dikatakan.
Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe dapat diartikan bahwa dalam melaksanakan sesuatu hendaknya kita tidak terlalu memikirkan apa yang akan kita sanggup dan tidak banyak bicara. Akan tetapi melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Penjelasan lebih lanjut yaitu dalam bekerja kita tidak terlalu memikirkan imbalan/ pamrih. Pamrih sedikit tidak apa, asalkan sepi-sepi saja. Dan kalau dibandningkan dengan pelaksanaan tugasnya/ gawe maka haruslah lebih ramai.
Sehingga dalam pelaksanaannya prinsip sera memang membutuhkan keikhlasan yang sangat tinggi. Ikhlas untuk tidak menceritakan kebaikan yang sudah kita lakukan, bekerja tidak untuk dipuji dan tetap bekerja tanpa pengawasan/ perhatian dari orang lain.
Kemudian apa yang sudah menjadi komitmen dan tanggung jawabnya tetap dilaksanakan tanpa memperhitungkan imbalan ataupun kebanggaan dari orang lain. Bukankah kebanggaan itu hanya udara yang bergetar dan hiang begitu saja? Bukankah imbalan dari insan itu hanya berlaku di dunia saja dan tidak berkhasiat di akhirat?
Ketika kita berprinsip Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe, sudah barang niscaya kita tidak koar-koar menyebutkan kebaikan- kebaikan kita dan menyebut-menyebut pekerjaan/ kekurangan orang lain. Karena mungkin orang lain yang kita anggap kerjanya kurang itu mlah lebih banyak kerja dari pada kita. Mungkin juga kerjanya di balik layar dan memang tidak mau dilihat oleh kebanyakan orang. Kalau sesuai dengan pola ini, kini siapa yang Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe?
Islam, Bawalaksana dan Sera
Konsep Sera dikaitkan dengan Agama, maka kita akan mengingat salah satu kunci utama dalam beribadah, yaitu ikhlas. Sedangkan Bawalaksana dibuktikan dalam Surat As-Shaff ayat 2-3 “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kau menyampaikan apa yang tidak kau perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kau menyampaikan apa-apa yang tiada kau kerjakan.” Harapannya sesudah menegakkan prinsip ini kita sanggup berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjadi insan yang terbaik.
Cara yang paling bijak untuk melaksanakan prinsip Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe dan bawalaksana adalah tidak terlalu memikirkan/ mempermasalahkan apa yang sudah dilakukan orang lain. Tapi merenung, merefleksi dan mengintropeksi apa yang sudah kita lakukan dan berikan. Mari kita laksanakan kata-kata yang selalu kita ucapkan diakhir rapat atau kegiatan-kegiatan kita. Mari bawalaksana dengan konsekuen melaksanakan apa yang diucapkan, yuk tegakkan prinsip Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe!
Sumber: Kitab Sabdha Pandhita Ratu dan diskusi kecil dengan Ayah tercinta, Padma Hadi, S.Pd.
Semarang, 15 April 2012
Sumber http://rahmahuda.blogspot.com
Wednesday, July 10, 2019
√ Prinsip Kerja: Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
✔
aku nyerah kyone
Diterbitkan July 10, 2019