Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono & Diana, 2001: 5) memperlihatkan batasan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang bekerjasama dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Di pihak lain Gaspersz (2002: 4) memperlihatkan pengertian kualitas sebagai segala sesuatu yang bisa memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan; sedangkan Reksohadiprodjo (1996: 391) mendefinisikan kualitas sebagai ukuran seberapa akrab suatu barang atau jasa sesuai dengan standar tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Stamatis (1996: 6) bahwa kualitas didefinisikan dengan aneka macam cara oleh para pakar, antara lain didasarkan pada kesesuaian dengan permintaan, kecocokan untuk digunakan, perbaikan secara berkelanjutan, kerugian pada masyarakat, dan tidak ada cacat.
Stewart yang dikutip Stoner, Freeman & Gilbert (1995: 210) memperlihatkan definisi bahwa: “Quality is a sense of appreciation that something is better than something else”. Kemudian Feigenbaume (1992: 7) menyatakan bahwa kualitas yaitu keseluruhan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembikinan dan pemeliharaan yang menciptakan produk dan jasa yang dipakai memenuhi harapan-harapan pelanggan.
Para pakar juga cenderung memperlihatkan definisi kualitas sesuai latar belakang keilmuannya. Garvin (dalam Lovelock, 1995: 98) contohnya memandang kualitas ke dalam lima pendekatan, yang meliputi:
- Transcendence approach, yaitu pendekatan yang memandang kualitas sebagai innate excellence. Dalam hal ini, kualitas sanggup dirasakan atau diketahui tetapi sulit untuk didefinisikan atau dioperasionalisasikan.
- The product based approach, yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa kualitas merupakan karakteristik atau attribute yang sanggup dikuantitatifkan dan sanggup diukur. Perbedaan kualitas suatu produk diukur dari perbedaan sejumlah unsur atau atribut yang dimiliki produk.
- User based definitions, yaitu pendekatan didasarkan pada aliran bahwa kualitas suatu produk tergantung pada orang yang memakainya. Produk yang berkualitas tinggi bagi seseorang yaitu produk yang paling memuaskan persepsinya. Dengan demikian perspektifnya yaitu subyektif dan demand¬-based, alasannya yaitu tiap orang mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda beda.
- The manufacturing based approach, yaitu pendekatan yang bersifat supply based. Di sini, kualitas didefinisikan sebagai suatu kesesuaian dengan persyaratan (conformance to requirements). Pendekatan ini lebih bersifat operation driven dan cenderung berfokus pada adaptasi spesifikasi dan didorong oleh tujuan peningkatan efisiensi dan produktivitas.
- Value based definitions, yaitu pendekatan yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Maksudnya, kualitas suatu produk diukur dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja produk dan harganya, sehingga kualitas didefinisikan sebagai affordable excellence. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa kualitas bersifat relatif, sehingga produk yang mempunyai kualitas paling tinggi belum tentu merupakan produk yang paling bernilai yang merupakan produk yang paling sempurna untuk dibeli.
Lupiyoadi (2001: 144) mengatakan, konsep perihal kualitas intinya bersifat relatif yakni tergantung pada perspektif yang dipakai untuk menemukan ciri-ciri atau spesifikasinya. Menurut Lupiyoadi, intinya terdapat tiga orientasi kualitas yang seharusnya konsisten satu sama lain, yakni: (1) persepsi konsumen, (2) produk/jasa, dan (3) proses. Untuk yang berwujud barang, ketiga orientasi ini hampir selalu sanggup dibedakan dengan terang tetapi tidak untuk jasa. Untuk jasa, produk dan proses mungkin tidak sanggup dibedakan dengan jelas, bahkan produknya yaitu proses itu sendiri.
Menurut Fitzsimmons (1994:189), kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan (service quality) sanggup didefinisikan sbagai “perbandingan antara pelayanan yang dipersepsikan atau diterima dengan cita-cita pelayanan yang disukai”. Lebih lanjut Zethaml dan Bitner (1996:117) mendefinikan kualitas pelayanan sebagai “penyerahan atau penyampaian pelayanan secara relatif lebih unggul (excellent) atau superior terahadap cita-cita pelanggan (customer expectations)”. Zeithaml dan Bitner menekankan selain aspek hasil, maka yang tidak kalah pentingnya yaitu proses penyampaian pelayanan tersebut kepada pelanggan, dengan demikian definisi kualitas pelyanan mencakup kualitas pelayanan itu sendiri. Hal tersebut dipertegas lagi oleh (Gronroos dalam Hutt dan Spech, 1992 dan dalam Fandy Tjiptono (1998: 60) bahwa kualitas total suatu pelayanan terdiri dari tiga komponen utama yaitu :
- Technical quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas output (keluaran) pelayanan yang diterima pelanggan, menyerupai kecepatan, ketepatan, kerapian dan sebagainya.
- Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan cara penyampaian pelayanan.
- Corporate image, yaitu profit, reputasi, gambaran umum dan daya tarik khusus suatu perusahaan.
Komponen-komponen diatas merupakan dasar untuk output pelayanan serta cara penyampai pelayanan dalam menilai kualitas pelayanan.