Tujuan dari suatu sistem kompensasi akan mungkin tercapai apabila dilandasi oleh filsafat dan prinsip-prinsip tertentu. Filsafat sistem kompensasi dibangun atas dasar kebutuhan dan kondisinya sendiri yang berlaku dalam organisasi. Dengan melihat pada problem yang lebih luas, suatu pernyataan filsafat yang berkembang dengan baik mungkin meliputi tujuan sistem ini, memperlihatkan kerangka untuk menciptakan keputusan kompensasi dan berusaha menampung variabel yang relevan, ibarat kondisi bursa kerja, kondisi perekonomian umum, perubahan teknologi dan kesempatan yang sama. Menurut Boyd dan Salamin, filsafat yang mengatur sistem kompensasi adalah: imbalan yang layak dan adil; ratifikasi atas arti penting setiap pertolongan pegawai bagi organisasi, meskipun ternyata sulit mengukur pertolongan ini secara obyektif; dan paket kompensasi atas penawaran harus bersaing dalam bursa kerja eksternal untuk menarik dan memertahankan staf yang cakap (McKenna, 2006: 608). Hal ini menegaskan bahwa sistem kompensasi harus layak dan adil, mengacu pada ratifikasi atas arti penting kerja, dan memertimbangkan bursa kerja (di luar organisasi). Ini berarti bahwa sistem komensasi harus dinamis, dalam arti senantiasa memertimbangkan kondisi internal dan eksternal organisasi secara terus menerus dan berkesinambungan.
Selain itu, sistem kompensasi juga perlu mengindahkan prinsip-prinsip aktivitas kompensasi yang baik, yang berdasarkan Hiam (1999: 187) meliputi: (1) imbalan hendaknya mengatakan timbal balik positif bagi setiap orang; (2) imbalan hendaknya mengatakan timbal balik wacana kinerja, bukan orang; dan (3) imbalan hendaknya mengatakan timbal balik sementara yang akurat dan bisa dicapai.
Selain itu, Kreitner dan Kinicki (2004: 338) mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan dalam sistem kompensasi, yakni: norma, kriteria distribusi dan hasil sistem yang diinginkan. Terkait dengan norma, dalam teori persamaan, korelasi majikan-pegawai bisa dipandang sebagai korelasi pertukaran. Pegawai menukarkan waktu dan bakatnya demi imbalan. Idealnya, empat norma alternatif memilih sifat pertukaran ini. Dalam bentuk murni, masing-masing mengarah pada sistem distribusi imbalan yang sangat berbeda, yaitu: memaksimalkan keuntungan, keadilan, persamaan, dan kebutuhan.
Mengenai kriteria distribusi, terdapat tiga kriteria yang dianjurkan, yakni: (1) kinerja: hasil (kinerja individu, kelompok atau organisasi; kuantitas dan kualitas); (2) pelaksanaan: tindakan dan perilaku, seperti: kerja tim, kerjasama, pengambilan risiko, dan kreativitas; dan (3) pertimbangan di luar pekerjaan: tipe kerja, sifat kerja, keadilan, usang kerja, tingkatan dalam hirarki dan sebagainya, dihargai (Kreitner dan Kinicki, 2004: 339).
Lebih dari itu, penelitian secara luas juga memperlihatkan kemampuan imbalan memotivasi individu atau tim bagi kinerja tinggi yang tergantung pada enam faktor, yakni: persediaan (imbalan harus tersedia), ketepatan waktu (diberikan secara teratur), satuan kerja (dikaitkan dengan kerja khusus), daya tahan (bertahan lebih lama), kesamaan (jujur dan adil), daya pandang (imbalan terlihat di seluruh organisasi), (Slocum & Hellriegel, 2007: 435).
Uraian mengenai prinsip-prinsip ini memerlihatkan bahwa sistem imbalan harus dirancang, dibangun, dan diberikan berdasarkan prinsip-prinsip khusus yang mengacu dan sekaligus menjamin kepentingan/kebutuhan individu (pegawai) dan tercapainya tujuan organisasi.
Sumber http://tesisdisertasi.blogspot.com