
Diary Sintesa #2 – Sorry, judul lengkap artikel ini adalah Muslim Harus Kaya, Kalau Miskin Berarti Bukan Muslim … yang Kaya. Serius.
Ini yakni artikel ke-2 perihal Pesantren Sintesa – Pondok Pesantren Paling Modern Kuadrat, yang mungkin agak sedikit kurang. Lengkapnya ibarat ini: Pesantren Sintesa – Pondok Pesantren Paling Modern Kuadrat dan Moderat Berlipat-lipat.
Sip? Sip aja!
Artikel-artikel Diary Sintesa ini akan secara khusus dimuat di bakul tags dengan nama yang sama. Makara … klik aja link di atas kata-kata ini.
Mohon maaf apabila di awal-awal tulisan, banyak kurangnya, maklum penilaian mingguan hari ini berlangsung dramatis, ibarat drama korea Descendants Of The Sun – Izinkan Aku Menikahi Puteri Bapak! dengan durasi yang mengalahkan sinetron Cinta Fitri …
Hai, Fitri, boleh kenalan? Aku single, kau siapa?
… sementara perut belum teroptimasi. Heu
Tetapi, alhamdulillaah ‘alaa kulli hal, kami lebih beruntung dari mereka yang sudah berpeluh keringat sepagi ini hanya demi nasi yang aking.
Baik, perkenankan saya di artikel ke-2 perihal Universitas Sintesa ini tidak merangkum aktivitas selama seminggu ibarat yang saya tulis di artikel sebelumnya. Bukannya ingkar, tetapi saya merasa tidak pernah memberi kepastian … jadi silakan nikah aja duluan dimaklumi, ya?
Sebagai gantinya, saya akan menulis apa yang telinga ini tangkap dari mahaguru; mas(tah) Vatih ketika menunjukkan kuliah perdananya pada kita, mahasantri angkatan 4.
Muslim Harus Ka(r)ya Raya

Lagi-lagi maaf, maksud saya … jadilah Muslim yang ka(r)ya.
Hidup yakni rangkaian ibadah, amanah, dan gesekan sejarah. Menjadi KAYA dengan KARYA yang tak pernah kenal karat menebar manfaat.
Bergeraklah!
Dalam bulat amal kebaikan untuk mencapai keridhaanNya, menimbulkan setiap detik dalam produktivitas amal terbaik sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya. Menuai setiap jejak usaha paling hamba dalam persembahan hidup kita.
*Muhamad Mulkan Fauzi/2013
Seingat saya, mas Vatih memulai taujihnya dengan memperkenalkan nama website yang relevan dengan materi ucapnya, yakni urusandunia.com.
Secara secama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dia menjelaskan bahwa, intinya, seorang muslim itu harus kaya; alasannya yakni kemiskinan berkerabat bersahabat dengan kekufuran bahkan kekafiran.
Ada satu hadits yang dihukumi dhaif berkata,
Hampir-hampir, kafakiran (kemiskinan) menjadi kekafiran.
Kita memang tidak dianjurkan untuk menisbatkan hadits dhaif pada Rasulullaah saw., tetapi sebagai pesan yang tersirat … tentu kita boleh memakainya.
Kenapa? Karena perkataan di atas ternyata maujud di lingkungan kita. Betapa banyak masyarakat Indonesia yang imannya seharga Mie Indomie atau nasi bungkus. Hanya demi mengisi kekosongan perutnya, dalil paling inti dari Islam digadaikan. Maha Suci Allah.
Uang memanglah urusan dunia, tetapi tanpa uang … benteng pertahanan kita hilang satu lapis. Setan itu juga punya metode ‘dakwah’nya sendiri dan sama-sama tadarruj, bertahap.
Kali pertama yang setan serang yakni finansial, kemudian keluarga, dan yang terakhir menyerang fisik. Bila kesemua itu tidak mempan, setan akan memusatkan semua energinya untuk menarik hati hati.
Bila kita sedikit saja lebih damai dalam mencari makna dari ayat, maka Nabi Ayyub as. lah yang kemudian mengisi lembaran-lembaran sejarah, betapa organisasi penghuni neraka itu rapi sekali meruntuhkan benteng-benteng iman.

Nabi Ayyub yang kaya … dimiskinkan oleh Iblis atas seizin Allah.
Setelah miskin … anak-anaknya dimatikan.
Dirinya diberi penyakit.
Lalu,
dikucilkan.
Dari tahap-tahap penghancuran iktikad di atas, Iblis dan bala tentaranya mengambil semua tugas yang ada. Tetapi Nabi Ayyub as. tetap teguh menggenggam imannya.
Setan itu jenius dan konsisten dalam mengajak insan untuk mengikuti jalan kebenarannya. Maksudnya, benar berdasarkan setan. Serangan fajar dikala pilkada mah, kalah jauh.
Bila kemudian Setan gagal menyesatkan insan dengan finansial, keluarga, bahkan fisik, maka dia akan memusatkan seluruh energinya untuk menggelincirkan insan dengan bisikan-bisikan halus.
Namun nyatanya, setan tetap gagal merusak iktikad Nabi Ayyub as. meskipun segala cara telah dilakukan.
Sebab, dikala semua miliknya hilang tak terganti, sakit di jasadnya kian hari kian menggeregoti, pinta Ayyub, “Ya Allah, sisakan saya sebuah hati, semoga tetap dapat mengingatMu sebelum mati.”
Nah, siapalah kita menandingi Nabi Ayyub as.? Maka, seorang Muslim haruslah kaya semoga punya berlapis-lapis perisai yang menghalangi serdadu jahannam sebelum merusak hati kita.
Hati. Benteng terakhir keimanan, tapi apakah hati kita seteguh Ayyub as.? mungkin seujung kukunya pun tidak.
Lantas, bila kekayaan yakni benteng terluar … kenapa banyak orang kaya tetapi tidak taat? Maka, kita kembalikan ini pada kamus setan. Sukses menurut setan dalam menghancurkan finansial, tidak hanya berbentuk kebangkrutan atau kemiskinan …
… tetapi juga dalam bentuk finansial yang banyak namun melalaikan. Seperti yang Allah swt. rekam di dalam al-Qur’an,
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka melongo putus asa. (QS. al-An’am: 44)
Kebayang?
Seni Membatasi Diri

Pesantren Sintesa kemudian hadir, berdasarkan saya, untuk menguatkan benteng pertama keimanan tadi. Dengan finansial yang tumpah-tumpah, namun tidak melalaikan. Aamiin.
Bahkan lebih dari itu … bermanfaat untuk masyarakat.
Oleh alasannya yakni itu tagline Pesantren Sintesa: al-Qur’an dan Bisnis Online. Mencari dunia tetapi tidak melalaikan akhirat. Eh, kebalik. Mencari alam abadi dengan tidak mengesampingkan dunia.
Mas Vatih pernah bilang gini,
Niat insan sering berubah. Pejabat, nun di gedung glamor sana bukanlah orang yang bodoh. Mereka tahu mana yang salah, mana yang benar. Tetapi jika sudah kenal uang, semua niat baik dapat berubah.
Urusan dunia memang melalaikan, tapi bukan untuk dihindari. Melainkan diurusi semoga memberi efek sebaliknya, menambah rasa syukur dan ketaatan pada Allah.
Kemudian dia berkata lagi,
Cari uang itu gampang. Gampang banget. Asal tahu caranya. Di sini, di Sintesa, kalian akan diajari cara itu.
Tapi sebelum ke sana, mas Vatih ingin menguatkan pondasi kita terlebih dahulu. Sebab, bila pondasi hati kita tidak kuat, nafsu akan mengambil alih. Katakanlah dikala ini kita dapat hidup dengan uang 3jt sebulan, tapi yakin, usang kelamaan uang sebesar itu akan terasa kurang …
… kesudahannya berambisi untuk terus meningkatkan penghasilan, sampai kesudahannya masuk pada fase Hubbuddunya; cinta dunia. Ini yang paling mas Vatih tidak inginkan.

Saya terkagum-kagum dengan prinsip beliau. Mas Vatih membatasi uang bulanan untuk keluarga (1 istri, 2 anak) sebanyak sekian. Kita semua tahu penghasilan dia lebih dari itu, buktinya Pesantren Sintesa tidak dikenakan biaya sepeser pun untuk jumlah santri yang sedemikian.
Tetapi kelebihan uang tersebut tidak kemudian melalaikan beliau, malah dia berkata, kami cukup dengan sekian, bila ada lebih … ya harus dibuang-buang untuk ummat.
Buatlah batasan untuk diri sendiri, meskipun penting untuk terus berambisi ‘naik kelas’; hanya satu yang harus diingat, semuanya hanya titipan untuk kemudian dipakai untuk kebermanfaatan.
Kenapa penting untuk berambisi meningkatkan penghasilan? Agar benar-benar tahu, bahwa dunia memanglah hanya permainan dan tidak ada apa-apanya.
Inilah seninya, inilah cantiknya, inilah kaya yang sebenarnya; yang senantiasa merasa cukup dengan sekian bahkan dikala kelebihan. Kalau merasa cukup ketika kekurangan, sih, dapat dua niat; terpaksa alasannya yakni memang tidak punya, dan murni alasannya yakni sifat mulia.
Izinkan saya menutup Diary Sintesa ke-2 ini dengan dua kutipan yang mendapat ‘yes’ dari saya, gak tahu jika mas Anang. Kutipannya ibarat ini,
Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih miskin daripada mereka yang hanya mempunyai uang.
(anonymous alasannya yakni lupa)
Barangsiapa yang bersandar pada harta, ketahuilah bahwa sewaktu-waktu ia akan miskin. Barangsiapa yang bersandar pada harga diri, ketahuilah bahwa suatu dikala ia akan hina. Barangsiapa yang bersandar pada akalnya, maka ia akan tersesat.
Barangsiapa yang bersandar pada Allah, sesungguhnya dia tidak akan pernah miskin, hina, atau tersesat.
(‘Ali ibn Abi Thalib)
Sumber https://satriabajahitam.com