Sunday, June 3, 2018

√ Menggantungkan Harapan Di Ujung Layar Bahtera Sandeq, Peninggalan Budaya Suku Mandar

Aroma garam yang dibawa oleh angin maritim begitu tajam menusuk hidung saya. Rasa lengket di kulit yang semakin coklat sudah semakin terasa. Lelah berjalan, saya sandarkan badan sejenak di sebuah bahtera kayu yang tidak terlalu kelihatan kokoh dan besar. Kulepaskan kacamataku dan sesekali memotret keadaan sekitar.


Ini kali pertamanya saya menjajal sebagai seorang solo backpacker. Rasanya? Lebih sepi dari yang dipikirkan, tidak ada sobat bersenda gurau, hanya berbincang dengan orang gres yang hanya sepintas kemudian pergi.


“Riri, sudah kubilang, kamu tak boleh duduk di sini, ini kesayanganku”, lamunanku buyar ketika Tobo menegurku sambil menepuk bahuku. Ia ialah sobat baruku selama di Mandar, saya lebih menentukan tinggal di salah satu rumah warga dibandingkan harus mencari penginapan. Selain untuk menghemat, tujuan utamanya semoga saya sanggup lebih bersahabat berbaur dengan warga di Suku Mandar.


“Dari pada kamu di sini, ayo kita jalan-jalan ke sana, kita lihat ada paman yang akan menentukan kayu” ucapnya sembari menarik tanganku. Sambil berjalan menjauhi pantai, Tobo menceritakan perihal mimpinya untuk sanggup menjadi seorang passandeq nasional, sehingga ia sanggup pergi ke beberapa negara untuk menampilkan kebolehannya sebagai passandeq, sebutan untuk awak bahtera sandeq.


Saya pernah menyaksikan program televisi yang menampilkan kebolehan para passandeq ketika Hut Kemerdekaan RI. Olah raga ini memang sudah begitu tersohor. Pantas saja ia begitu getol berlatih fisik dan merawat sandeq peninggalan almarhum ayahnya yang juga seorang passandeq.


“Kau tau Ri, bila saya sanggup menjadi pemenang di perlombaan ini, saya sanggup mengangkat derajat keluargaku, saya sanggup mewujudkan harapan ayahku yang belum tercapai, dan tentunya saya akan populer sebagai laki-laki jantan”. Kata-katanya seketika membuatku terdiam, ia mempunyai keinginan begitu gigih untuk meraih mimpinya.


Aku jadi teringat ucapan kindo, sebutan untuk ibu. Beliau menyampaikan bahwa bahtera sandeq ialah pujian suku Mandar, alat transportasi ini tidak hanya difungsikan untuk mencari ikan dan mengantarkan dagangan. Perahu ini ialah warisan nenek moyang yang mengandung nilai-nilai adat.


Tak terasa sesudah kami berbincang kesudahannya kami hingga di sebuah hutan yang bersahabat dengan pantai, rupanya di sini suasana sudah sangat ramai. Ada seorang lelaki separuh baya yang tampak berdoa terhadap salah satu pohon.


“Riri, kamu harus perhatikan, itu ialah bab penting dari ritual sebelum menciptakan sandeq”, timpanya sambil menunjuk bapak-bapak tersebut. Sang bapak tampak meletakkan makanan kemudian berdoa dan menyentuh pohon.


Tak tahan dengan rasa penasaran, kesudahannya saya bertanya pada Tobo, ia menjelaskan cukup singkat dan jelas. Rupanya ini ialah ritual dengan pilihan hari baik untuk meminta izin pemotongan pohon liar semoga ketika pembuatan sandeq terhindar dari hal-hal jelek dan aura jahat. Sedangkan makanan sendiri rupanya untuk persembahan bagi penunggu pohon sebagai wujud dari penghormatan.


Dari sini, saya sadar begitu berharganya sandeq bagi warga Suku Mandar, sebongkah kayu dirangkai menjadi sebuah kerangka, sehingga sanggup membentuk sebuah identitas budaya dan status sosial seseorang.


“Nenek Moyangku Seorang Pelaut…” lirik lagu yang benar-benar menggambarkan warga Suku Mandar. Ketangguhan perjaka untuk berlomba-lomba mencapai impian mendai seorang passandeq, junjungan nilai-nilai budaya yang tak ditinggalkan warga dalam hingga kini, keindahan dan kecepatan sandeq yang telah tersohor di nusantara, meyakinkan saya bahwa inilah kearifan budaya lokal yang sesungguhnya, citra maritim dari Indonesia.


Memandang Tobo dan sandeq-sandeq yang berbaris di pinggir pantai, rasa rindu mungkin mungkin akan membanjiri ketika saya datang di Semarang. Mungkin suatu saat, saya akan mengajak anakku kelak untuk berkunjung kemari dan menyaksikan seorang laki-laki gagah menjadi pemimpin awak sandeq, sehingga ia akan tahu betapa indahnya negeriku, negeri kita.


Baca juga artikel : 7 Cara Sakti Untuk Menjadi Seorang Solo Traveler



Sumber https://phinemo.com