DALAM beberapa hari terakhir kalimat ”Ayo Hormati Guru” menyebar di banyak sekali laman media sosial. Ajakan tersebut dibutuhkan menjadi pemantik biar masyarakat kembali menempatkan guru pada daerah yang semestinya sekaligus menandai peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tiap tanggal 25 Novmber, menyerupai hari ini.
Ajakan moral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut perlu kita apresiasi mengingat ketika ini penghormatan kepada guru semakin kendur. Sejumlah masalah murid atau orang renta memenjarakan guru menjadi cerminan kondisi tersebut.
Guru dalam kondisi galau sebab penghargaan dan santunan ketika menjalankan kiprah terkoyak. Guru sebagai sebuah profesi bekerjsama telah mempunyai payung aturan yang tegas. Negara berkewajiban melindungi guru dalam melakukan kiprah profesinya. Hal ini tertuang dalam Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2005 wacana Guru dan Dosen pasal 39 terkait santunan guru dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 wacana Guru.
Hanya patut disayangkan bahwa payung aturan tersebut rupanya belum mempan dalam melindungi guru dari pemenjaraan. Oleh sebab itu, patut dipertanyakan, di mana dan bagaimana kiprah negara dalam melindungi guru? Namun demikian, masalah maraknya guru dipenjara diyakini tidak sekadar sebab faktor tunggal hilangnya kiprah negara, tetapi juga sebab perkembangan sosial-budaya masyarakat yang kian dinamis.
Oleh sebab itu, membahas topik santunan guru harus dikaji secara komprehensif, mencari akar penyebabnya secara lebih mendalam untuk mencari solusi yang lebih akurat. Setidaknya, ada tiga akar duduk masalah yang yang memicu pemenjaraan guru.
Pertama, hambatan yuridis. Guru sebagai sebuah profesi bekerjsama telah mempunyai payung aturan yang tegas, negara berkewajiban melindungi guru dalam melakukan kiprah profesinya. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 wacana Guru dan Dosen pasal 39 terkait pelindungan guru dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 wacana Guru. Hanya patut disayangkan bahwa payung aturan tersebut rupanya belum mempan dalam melindungi guru dari pemenjaraan.
Dalam praktiknya, perangkat aturan tersebut seolah tidak berdaya di lapangan. Di hampir semua masalah kekerasan yang melibatkan guru dan penerima didik, jaksa menjerat guru dengan UU Perlindungan Anak (UU PA) dan KUHP. Dalam hal ini, guru seperti disandera oleh UU PA. Sikap polisi yang merujuk pada UU PA dan kitab undang-undang hukum pidana memang mengakibatkan polemik dan multitafsir.
Kendala Pedagogis
Kedua, hambatan pedagogis. Selain terkendala duduk masalah keadilan aturan yang belum tegak, praktik kekerasan yang melibatkan guru dan siswa juga tidak lepas dari hambatan pedagogis dan kultural. Jamal (2013) menyebutkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru amat terkait dengan kompetensi guru dalam mengelola kelas yang rendah.
Temuan ini juga sejalan dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, nilai rata-rata kompetensi bidang pedagogik guru secara nasional, yakni 48,94 jauh di bawah Standar Kompetensi Minimal (SKM), yakni 55. Hal inilah yang ditengarai turut andil dalam mengakibatkan meningkatnya tingkat kekerasan di sekolah. Guru dianggap kurang terampil dalam mengelola kelas dan otoritarian. Ketiga, hambatan kultural.
Kendala kultural terkait dengan dinamika masyarakat yang berubah dalam memersepsikan guru yang berakibat turunnya tingkat derajat penghargaan terhadap guru. Darmaningtyas (2016) menyebut problem sosiologis, yakni perubahan korelasi sosial dalam masyarakat yang tidak lagi menjadikan guru sebagai sumber referensi ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, ataupun inspirasi.
Guru kini dianggap sebagai sekadar pekerja dalam suatu industri sekolah. Suparlan (2010: 23) menggarisbawahi bahwa korelasi antara guru dan orang renta di masa modern lebih dilihat dari aspek untung rugi. Orang renta mau membayar guru untuk melakukan kiprah dan fungsinya, yakni mengajar anak-anaknya, baik di sekolah maupun guru tiba ke rumah.
Dalam konteks ini, tampak terang bahwa guru lebih dipandang menjadi subordinasi dari orang renta dan masyarakat. Guru dianggap sebagai ìorang gajiî, yang harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang renta dan masyarakat yang memandang dirinya sebagai majikan. Oleh sebab itu, perhargaan dan santunan terhadap guru dalam kehidupan masyarakat yang serbamaterialistis cenderung semakin lemah.
Hal penting yang perlu dicatat bahwa guru sebagai sebuah profesi mempunyai tanggung jawab yang besar. Ia mempunyai kiprah dan wewenang istimewa, yakni mendidik, membimbing, mengajar, dan melatih. Sudah sepantasnya kalau negara menjamin hak dan kewajiban guru dengan lebih adil. (47)
— Mardiyanto MPd, guru Sekolah Menengah Pertama 2 Sukoharjo Wonosobo