Galau merupakan perasaan yang tidak enak. Mengapa? Karena ketika galau, rasa-rasanya dunia ini sudah tidak berarti apa-apa. Galau bikin rasa di hati tidak enak, serba salah, terkadang pusing, dan menciptakan hirupan napas ini terasa berat.
Menurut psikolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Frederick Dermawan Purba dalam okezone.com, sejatinya gundah berawal ketika seseorang mempunyai banyak pikiran. Selanjutnya diungkapkan juga bahwa gundah merupakan tanda bahwa pikiran kita masih sehat. Kesehatan pikiran ini ditunjukkan dari kemampuan otak untuk berfikir. Galau merupakan produk pikiran, biasanya disebabkan lantaran apa yang dipikirkan tidak sama dengan apa yang dihadapi di dunia nyata. Sehingga kesimpulannya, gundah identik dengan adanya masalah.
Galau bisa memojokkan kepribadian diri. Yang tadinya mempunyai langsung positif, tiba-tiba menjelma negatif. Kenegatifan ini pun bisa menular dengan cepat lantaran didukung dengan adanya teknologi isu yang berkembang dengan pesat. Contoh kongkritnya ialah ketika kegalauan itu diposting di media social dalam bentuk kicauan di twitter ataupun update-an status di facebook.
Salah satu sumber kegalauan yang harus diwaspadai ialah kegalauan lantaran ditinggal kekasih hati. Ditinggal ini bisa diartikan dengan menjalani kekerabatan jarak jauh, bisa juga cemburu, terancam diputus, ditinggal selingkuh, ditinggal pergi piknik dengan cowok/ cewek lain dsb.
Kegalauan bisa dirasakan oleh semua orang. Bahkan, orang jago sekaliber Burhanuddin Jusuf Habibie (BJH) juga mencicipi kegalauan yang luar biasa dikala istrinya, Hasri Hainun Habibie (HAH) meninggal dunia. Kegalauan ini tampak jikalau kita membaca buku “Habibie & Ainun”.
Ahmad Watik Pratiknya dalam kata pengantar buku tersebut mengungkapkan kepergian almarhumah HAH terebut menjadikan BJH tiba-tiba ‘terperangkap’ dalam samudera emosional yang amat bergejolak, yang sewaktu-waktu sanggup ‘menghisap’ BJH ke pusaran yang amat deras dan ganas.
Pendapat tersebut menguatkan perkiraan bahwa kegalauan menimbulkan efek yang luar biasa. Bahkan efek terburuk dari kegalauan ialah kematian. Lantas bagaimana BJH menghadapi rasa kegalauannya sesudah ditinggal pecahan jiwanya?
Prof. Dr. Mathay seorang dokter dari Hamburg beserta tim dokter BJH yang berasal dari Jerman dan Indonesia menasihati BJH semoga terhindar dari “black hole”, yaitu suatu kondisi “psikosomatic malignan”, dimana gangguan emosional berdampingan negatif pada sistim organ vital manusia, sehingga menjadikan seseorang yang ditinggalkan pasangannya jatuh sakit yang progresif dan terminal, kemudian “menyusul” pasangannya menghadap Tuhan.
Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga alternatif yang disarankan tim dokter untuk mencegah BJH jatuh pada hisapan black hole tersebut, yaitu: (1) melaksanakan “curhat” (menceritakan dan mendiskusikan perasaan dan permasalahan yang dialami) kepada sejumlah teman dan teman BJH maupun HAH, semoga tekanan emosional BJH sanggup release; (2) menjalani terapi psikiatris (dengan psikoterapi dan minum obat); dan (3) melaksanakan aktivitas yang melibatkan secara intensif pikiran maupun emosionalnya, yaitu dengan menulis.
Munculnya buku Habibie & Ainun merupakan bukti bahwa BJH menentukan cara yang ketiga dalam menghadapi kegalauannya. Cara yang ketiga tidak melibatkan orang lain dan tidak memerlukan obat obat-obat psikotoprika. Keunggulannya ialah terapi diri (self healing) tersebut diperlukan sanggup lebih mendalam, lebih permanen dan tidak bersifat simtomatis.
BJH melalui buku “Habibie & Ainun” telah menunjukkan pola faktual kepada generasi muda Indonesia bagaimana cara menghadapi kegalauan dengan sebaik-baiknya. Banyak generasi muda Indonesia mengadapi kegalauan dengan minum minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan hingga bunuh diri. Padahal melalui aktivitas menulis ibarat yang sudah dibuktikan oleh BJH sanggup mengobati kegalauan dan menyehatkan hati, bahkan sanggup menunjukkan perhiasan finansial.